Rabu 12/05/2010 – Kamis, 18 Februari 2010
www.mediaindonesia.com
Oleh: Tantowi Yahwa (Anggota Komisi I DPR)

Memasuki awal 2010, sebuah era baru akan dimulai. Dalam waktu tiga bulan ke depan, setelah pada 1999 keran kebebasan pers dibuka dengan terbitnya UU Pokok Pers No 40 Tahun 1999, tahun ini (tepatnya Mei 2010), Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) akan diberlakukan. UU yang disahkan pada 30 April 2008 ini merupakan salah satu terobosan besar DPR periode 2004-2009 dalam memperkuat demokratisasi di Indonesia yang semakin matang. Mengapa?

Pertama, UU KIP memberi jaminan terbukanya akses informasi bagi masyarakat terhadap badan publik yang mendapat alokasi dana dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), bantuan luar negeri, dan dari himpunan dana masyarakat. UU KIP mewajibkan badan publik untuk memberi dan membuka akses informasi kepada masyarakat dengan pengecualian yang terbatas. Tidak ada alasan bagi badan publik untuk tidak melayani permintaan informasi yang menjadi milik publik. Sanksi pidana menanti, jika badan publik tidak menjalankan amanat UU KIP.

Kedua, keberadaan UU KIP ini semakin menegaskan bahwa akses publik terhadap suatu informasi merupakan hak asasi manusia yang diakui juga oleh UUD 1945 Pasal 28 F. Hadirnya UU KIP akan meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik serta pengawasan atas pelaksanaan roda pemerintahan. Terbukanya akses publik terhadap informasi bertujuan memotivasi badan publik bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan yang sebaik-baiknya.

Ketiga, dengan UU KIP upaya mewujudkan pemerintahan yang terbuka dan transparan dapat dipercepat. Langkah itu merupakan upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance), dan partisipatoris dalam seluruh proses pengelolaan kenegaraan, termasuk seluruh proses pengelolaan sumber daya publik sejak dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta evaluasinya.

Ringkasnya, hadirnya UU KIP memang sudah menjadi keharusan di tengah derasnya arus tuntutan transparansi di segala bidang. Lewat asupan informasi yang baik dan mudah diakses, masyarakat bisa memberikan kontribusi dan partisipasinya dalam setiap kebijakan publik sehingga interaksi dan kerja sama antarkeduanya bisa terjalin baik. Sebaliknya, tanpa informasi, publik akan kesulitan untuk berpartisipasi, memberi saran, dan melontarkan kritik terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan badan publik. Jika hal itu terjadi, cita-cita mewujudkan prinsip-prinsip good governance tentunya akan sulit tercapai.

Menanti keseriusan pemerintah
Setelah melalui proses yang panjang dan seleksi yang ketat di DPR, sesuai dengan amanah UU KIP, pemerintah telah mengangkat tujuh komisioner pusat (KI) berdasarkan Kepres No 48/P/2009 tanggal 2 Juni 2009. Ketujuh komisioner yang dilantik pada 16 Juli 2009 menandai bahwa secara hukum KI pusat terbentuk.

Kini, delapan bulan sejak pelantikan atau tiga bulan menjelang implementasi UU KIP (Mei 2010), tidak ada tanda-tanda keseriusan pemerintah mempersiapkan pemberlakuan UU KIP. Setidaknya, hal itu tecermin dari belum terbitnya beberapa peraturan pemerintah (PP) yang dapat dirujuk dan dijadikan pedoman oleh badan publik mengenai implementasi UU KIP. Akibatnya, sampai saat ini hampir semua badan publik masih bingung menghadapi pelaksanaan UU KIP. Ketidaksiapan badan publik mengimplementasikan UU KIP juga pernah terdeteksi dari survei Institut Studi Arus Informasi (ISAI) pada 2008.

Ketidakseriusan pemerintah juga terlihat dari lemahnya sosialisasi UU KIP. Sebagai kementerian teknis yang bertanggung jawab terhadap sosialisasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika sebenarnya telah intensif menyosialisasikan UU KIP di berbagai daerah. Namun, karena sosialisasi tidak dilaksanakan secara sistematis dan terintegrasi, hasilnya kurang berdampak luas. Masih banyak lembaga pemerintah maupun nonpemerintah di tingkat pusat maupun daerah yang belum memahami secara utuh substansi yang terkandung UU KIP.

Upaya pemerintah yang tidak segera memfasilitasi terbentuknya Sekretariat KI pusat yang menjadi pendukung kinerja KI sebagaimana diamanatkan UU KIP juga menjadi bukti lain ketidakseriusan pemerintah. Sebagai Menkominfo baru, Tifatul Sembiring akhir Desember lalu memang telah mengirim surat ke Menteri Negara PAN setelah mendapat laporan dari para Komisioner KI. Namun, pembentukan Sekretariat KI sampai saat ini pun belum bisa dipastikan kapan.

Ketiadaan dan ketidakjelasan soal sekretariat membuat kinerja para Komisioner KI menjadi tidak maksimal. Kerja-kerja yang harus mereka lakukan dalam rangka persiapan implementasi UU KIP menjadi terbengkalai. Sampai saat ini misalnya, baru Provinsi Jawa Tengah yang sudah merekrut calon-calon anggota KI provinsi. Sementara itu, beberapa provinsi lainnya seperti Gorontalo dan Sumatra Selatan baru memasuki tahap persiapan dan sebagian provinsi lainnya masih belum jelas.

Hal itu tentu saja menjadi sebuah ironi. Saat pemerintah menggembar-gemborkan pentingnya reformasi birokrasi dan menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan kerja 100 hari pertama kabinet, para birokrat kita ternyata tidak siap dan menunjukkan kelambanannya. ***

Oleh Tantowi Yahya, Anggota Komisi I DPR