Badan Publik Belum Siap Menjalankan UU Keterbukaan Informasi

Rabu 21/07/2010 – “Kami belum menetapkan Standar Operasional Pelayanan dan PPID”, demikian pengakuan salah seorang perwakilan badan publik pada fasilitator forum diskusi beberapa saat lalu.

Sejak disahkan 30 April 2008 Kementerian Komunikasi dan Informatika diberikan mandat untuk sosialisasi UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Sosialisasi ini semestinya dilakukan ke berbagai pemangku kepentingan. Tidak terkecuali badan publik. Dari dua tahun kegiatan sosialisasi yang dilakukan kesimpulan sementara yang diperoleh yaitu badan publik belum siap menjalankan UU KIP.

Dari riset pemetaan kesiapan badan publik yang dilakukan oleh Yayasan Kelompok Kerja Visi Anak Bangsa (VAB) diperoleh hasil akhir bahwa lebih dari 90 persen badan publik tidak siap menjalankan UU KIP. Riset ini dilakukan dengan menggunakan metodologi Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang sekitar 30 badan publik yang terdiri dari sampling pemerintah propinsi DKI Jakarta, institusi layanan dasar, penegak hukum, lembaga kuasi negara dan BUMN. Padahal, terhitung sejak tanggal 30 April 2010 lalu UU KIP berlaku secara efektif sebagai suatu produk UU.

Kesiapan
Sebagai negara ke-64 di dunia yang memiliki UU KIP tampaknya kesiapan implementasi UU ini bukanlah hal yang mudah. Terutama bila berbicara tentang kesiapan badan publik. Padahal badan publik memiliki posisi krusial sebagai obyek yang diatur dalam melayani permintaan informasi publik.

Sesuai pasal 3 Peraturan Komisi Informasi Pusat (PERKIP) Nomor 1 Tahun 2010 badan publik yang dimaksud terdiri atas eksekutif, legislatif, yudikatif, organisasi non-pemerintah, partai politik, BUMN, atau badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Baik sebagian atau seluruh dananya berasal dari APBN dan/ atau APBD.

Bila merujuk pada PERKIP aspek-aspek kesiapan yang harus dimiliki badan publik antara lain ketersediaan hardware (infrastruktur teknis) maupun software (Standar Operasional Prosedur) di lapangan. Sayangnya dari sebagian besar badan publik yang pernah mengikuti proses sosialisasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika ternyata mereka masih belum mempersiapkan aspek-aspek tersebut secara optimal. Ini terungkap dari pelaksanaan FGD yang berlangsung. Beberapa fakta penting berbicara yaitu:

Pertama, seluruh badan publik telah mengetahui keberadaan UU KIP yang harus dijalankan. Sayangnya, tingkat awareness ini tidak berbanding lurus dengan tingkat pemahaman substansi UU. Beberapa poin yang menjadi permasalahan besar antara lain tentang penetapan klasifikasi informasi yang harus dibuka dan dinyatakan rahasia, peletakan fungsi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan terkait penerapan sanksi.

Peserta yang cukup baik tingkat pemahamannya berasal dari cluster penegak hukum. Seperti KPK dan layanan dasar, seperti Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Sementara beberapa peserta laim masih rancu menyandingkan UU KIP dengan UU Penyiaran.

Kedua, hanya beberapa badan publik yang telah memiliki draft aturan tentang Standar Operasional Pelayanan (SOP) Informasi Publik. Beberapa peserta yang sudah menyiapkan draft SOP UU KIP, antara lain Kementerian Kesehatan, Arsip Nasional Republik Indonesia, dan KPK meskipun modifikasi SOP disesuaikan dengan karakteristik kelembagaan yang dimiliki.

Sementara peserta dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta mengaku masih menunggu keluarnya Peraturan Gubernur DKI Jakarta terkait impementasi UU KIP. Padahal SOP merupakan pedoman yang harus dimiliki badan publik dan aparaturnya dalam menjamin pelaksanakan UU KIP. Dari titik inilah awal kesiapan hardware dan software badan publik dalam mewujudkan standar layanan informasi kepada publik.

Ketiga, masih rendahnya political will dari masing-masing pimpinan badan publik untuk mempersiapkan lembaganya dalam menjalankan UU KIP. Meski sadar bahwa reformasi birokrasi dapat didorong, tetapi banyak pimpinan badan publik belum melakukan klasifikasi informasi dan penetapan PPID hingga saat ini.

Keempat, resistensi penolakan BUMN sebagai badan publik yang wajib melaksanakan UU KIP masih besar. Argumentasi yang dikemukakan masih sama yaitu UU KIP dapat melemahkan bisnis BUMN dan dunia usaha. Alasan paling klise adalah tidak dicantumkannya BUMN sebagai badan publik yang diatur dalam pasal 3 UU KIP tentang definsi badan publik.

Komisi Informasi
Berdasarkan temuan di atas, maka tugas Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) sebagai lembaga negara yang dibentuk untuk menjalankan UU KIP tidaklah ringan. Malah bertambah berat karena sampai saat ini baru terbentuk Komisi Informasi Propinsi di Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Padahal keberadaan Komisi ini ditingkat propinsi sangat strategis dalam melakukan efisiensi penyelesaian sengketa informasi di tingkat lokal.

Sayangnya dengan permasalahan infrastruktur kelembagaan yang dimiliki cukup sulit berharap banyak pada KI Pusat untuk bergerak cepat menyelesaikan permasalahan di atas. Ada beberapa tantangan besar yang harus dihadapi.

Dari aspek badan publik tantangan terbesar terletak pada kuatnya budaya ketertutupan yang masih mengurung badan publik. Sedang dari aspek pemerintah pusat dan kota terletak pada komitmen yang masih sebatas lips service tanpa adanya tindakan nyata. Contohnya, banyak gubernur yang belum menetapkan SK proses seleksi Komisi Informasi tingkat propinsi.

Kondisi ini sebenarnya tidak menegaskan kerja KI Pusat yang telah dilakukan sejak mereka dibentuk 2009 lalu. Komisioner KI terpilih telah melakukan asistensi ke beberapa badan publik yang dinilai strategis.

Hasilnya beberapa badan publik yang telah memiliki SOP dan peletakkan struktur PPID dalam internal badan publik bersangkutan. Beberapa badan publik yang dimaksud antara lain Polri, MA, MK, Kementerian Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum, Kemenkominfo, BPKP, dan DPR RI.

Sayangnya dari segilintir badan publik di atas masih lebih banyak lagi yang tidak siap. Akibatnya publik mengalami beberapa kejadian nyata kendala pelayanan informasi. Antara lain sulitnya memperoleh informasi anggaran APBD di provinsi Banten, Kota Serang, dan Kabupaten Merauke.

Begitu pula ketika Koalisi untuk Keadilan Korban Lapindo menerima beberapa penolakan atau pemberian informasi yang tidak lengkap ketika mengajukan permintaan informasi kepada sekitar 25 badan publik di Jakarta, Surabaya, dan Sidoarjo. Kendala mendapatkan informasi migas, lingkungan, dan pendidikan juga dialami oleh publik ketika bertemu dengan badan publik terkait.

Dengan kondisi demikian tidak ada cara lain publiklah kunci utama yang dapat mendorong implementasi UU KIP ini. Publik harus segera diberikan kesadaran bahwa pemberlakuan UU KIP merupakan pondasi terhadap partisipasi nyata masyarakat dalam mengawasi tata kelola pemerintahan serta kehidupan berbangsa dan bernegara.

Partisipasi nyata ini dapat dilakukan dengan berbondong-bondong meminta berbagai informasi sesuai yang diatur dalam UU KIP. Bila kesadaran publik tidak segera dibangun maka reformasi birokrasi yang disampaikan Presiden SBY akan benar-benar menjadi wacana pencitraan belaka saja.

Amin Shabana
Vila Inti Persada Blok C6/32
Pamulang Timur Tangerang Banten
amin@visianakbangsa.com
081382969602

Yayasan Kelompok Verja Visi Anak Bangsa

PERKEMBANGAN ARUS INFORMASI TERHADAP MASYARAKAT

Rabu 14/07/2010 – Media Informasi dan Masyarakat

Sebelum zaman kemerdekaan Indonesia media-media massa telah lahir. Media massa dijadikan sebagai media informasi oleh publik, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Namun, sejak zaman sebelum kemerdekaan itu hingga saat ini media massa kita belum dapat dikatakan dalam keadaan baik. Padahal pembangunan suatu negara yang mencapai taraf kesejahteraan adalah, salah satunya, perbaikan informasi secara menyeluruh ke bebagai daerah.

Pada tahun 80-an pemerintahan rezim Soeharto pernah mencanangkan Koran Membangun Desa (KMD). Namun buruknya orientasi dari KMD tersebut adalah modernisasi di desa-desa sebagai orientasi pembangunan, tidak dapat dibenarkan sesuai keadaan ekonomi maupun sosial pada saat itu. Penyuplaian koran ke desa-desa sebenarnya suatu langkah menyebarkan informasi secara menyeluruh di berbagai daerah, tetapi KMD tidak tepat karena orientasi tersebut dan mungkin dapat dikatakan gagal. Kegagalan ini dapat dibuktikan, misalnya di Cianjur Selatan, seperti yang dialami penulis di tahun 2009, media massa cetak hanya ada seminggu sekali di suatu kecamatan kabupaten Cianjur.

Tidak beberapa lama sejak program pemerintah tersebut berjalan muncul pula media elektronik, yakni televisi. Media ini dijadikan sarana utama oleh banyak keluarga, yang dinilai lebih canggih dari media non-elektronik, khususnya adalah media massa. Masa-masa transisi dari media non-elektronik ke media elektronik, di akhir tahun 80-an dan 90-an, saluran televisi masih ditangani oleh pemerintah dengan satu saluran sentral, yakni TVRI.

Hadirnya media massa elektronik ini memperlihatkan prioritas dalam tradisi masyarakat Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia tidak sesuai dengan tradisi baca dan tulis. Efesiensi adalah faktor utamanya bila dibandingkan dengan tradisi dengar dan tutur. Tradisi baca dan tulis sejak zaman sebelum kemerdekaan di Indonesia pun tidak berkembang di masyarakat, sehingga hal ini mempengaruhi budaya masyarakat saat ini. Pun secara otomatis mempengaruhi tradisi penerimaan informasi saat ini, bahwa masyarakat lebih memilih media televisi. Padahal dengan tradisi baca dan tulis dalam pengembangan informasi akan berdampak pada daya intelektualitas yang didasari oleh penalaran. Seperti terlihat pada statistik BPS di tahun 1993, sebanyak 66% masyarakat kita memilih tontonan televisi, sementara yang memilih baca koran/majalah hanya 22,25%.

Informasi dan Aspeknya

Hingga kini perkembangan media massa belum disesuaikan dengan berbagai aspek yang berdasarkan kondisi masyarakatnya. Ekonomi masyarakat masih dominan di bawah garis kemiskinan, namun perkembangan media massa justru media elektroniklah yang berkembang. Selain televisi, media elektronik kini telah memasuki “digitalisasi-informasi” yang lebih banyak mengeluarkan biaya.

Meskipun akibat baiknya dari perkembangan tersebut adalah terciptanya variasi perspektif informasi, tetapi dampaknya mengakibatkan ketidakmerataan penerimaan informasi di masyarakat. Aksesnya terlalu membatasi, belum terjadi sinkronisasi dengan latar pendidikan, dan apatisme masyarakat merupakan beberapa hal kendala perbaikan dalam perkembangan informasi. Aspek-aspek kehidupan pun, seperti ekonomi, politik, dan budaya, hanya menjadi kepentingan sekelompok masyarakat tertentu yang justru memiliki kepentingan ekonomis di balik tindakannya.

Melihat konteks masyarakat saat ini, maka pemerintah harus berani menekan pemilik (owner) media-media massa, khususnya media elektronik (televisi/internet) untuk menciptakan biaya akses yang sesuai kondisi masyarakat keseluruhan. Selain itu, beberapa pihak non-pemerintah pun harus mampu menciptakan media massa yang mencerdaskan masyarakat. Upaya oleh non-pemerintah ini pun diharapkan justru akan lebih menciptakan perkembangan informasi yang partisipatif, kontributif, obyektif, dan apresiatif dalam aspek-aspek sosial, budaya, politik, dan ekonomi terhadap kehidupan bernegara.

Fredy Wansyah*

* Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia-Unpad, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.www.prakarsa-rakyat.org

Humas, UU KIP, dan Bahasa

Jumat 09/07/2010 – Humas menyiapkan “mental” institusi untuk memahami kepentingan publik, serta mengevaluasi perilaku publik dan institusi untuk direkomendasikan kepada pimpinan. Kata lainnya, humas menyiapkan prakondisi untuk mencapai saling pengertian, saling percaya, dan saling bantu terhadap tujuan-tujuan publik institusi yang diwakilinya.

Humas itu sebenarnya tergolong makhluk aneh. Bentuknya dapat berubah-ubah, tergantung bagaimana sebuah instansi memosisikannya. Ada humas struktural (divisi, bagian, atau sub bagian), ada pula humas fungsional (tidak ada dalam struktur). Tugas, fungsi, dan peranannya sama, tetapi perlakuan kepada mereka kadang-kadang berbeda.

Banyak sekali fungsi humas, tetapi ada dua fungsi pokoknya, yaitu fungsi konstruktif (perata jalan) dan fungsi korektif (pemadam kebakaran). Sebagai “perata jalan”, humas merupakan garda terdepan. Di belakangnya, ada “rombongan” tujuan-tujuan institusi atau lembaga.

Fungsi konstruktif mendorong humas membuat aktivitas atau kegiatan terencana dan berkesinambungan. Dengan kata lain, humas bertindak preventif (mencegah).

Kalau “api” sudah telanjur menjalar dan “membakar” institusi, maka humas harus memadamkan api tersebut. Maksudnya, jika terjadi krisis atau masalah dengan publik, maka humas harus proaktif mengatasinya (kuratif).

Sering terjadi, humas dipanggil dan dibutuhkan kehadirannya pada saat ada masalah atau krisis, tetapi dalam kondisi “aman-aman saja”, humas seolah-olah tidak dibutuhkan. Tidak ada bedanya dengan petugas pemadam kebakaran. Humas juga kerap disalahkan jika terjadi masalah atau krisis yang berkaitan dengan publik.

Menghadapi penerapan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sejak 1 Mei 2010, humas pemerintahan dan humas lembaga-lembaga publik lainnya, pasti dituntut menjalankan kedua fungsi tersebut. Humas pasti diharapkan “meratakan jalan” dan menghindarkan terjadinya “kebakaran”.

Artinya, humas harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat atau publik sebagai bentuk pertanggungjawaban atas segala tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada institusi, serta menyiapkan segala informasi yang berkaitan kepentingan publik.

Pasal 13 UU KIP menekankan bahwa untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana, maka setiap Badan Publik harus menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, yang dibantu oleh pejabat fungsional.

Pejabat fungsional inilah yang biasa disebut humas. Pada sebagian besar instansi, apalagi instansi yang dibawahi oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, seperti Dinas atau Badan, humas bukan jabatan struktural, melainkan hanya fungsional. Artinya, hanya difungsikan sebagai humas, tetapi tidak ada dalam struktur instansi atau kepegawaian.

Inilah kendala umum yang dialami para humas. Di satu sisi, mereka diberi tugas dan tanggung-jawab yang cukup besar, mulai dari menyediakan informasi publik, memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang kegiatan instansi, hingga menciptakan citra positif instansi dan “menangkis” berbagai “serangan” informasi yang dapat merusak citra instansi.

Di sisi lain, humas tidak diberi kewenangan yang proporsional dan seringkali tidak dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Sekadar mengingatkan, humas atau hubungan masyarakat diadopsi dari bahasa Inggris, yakni public relations. Public relations (PR) adalah praktik mengelola komunikasi antara organisasi dengan publik atau masyarakatnya.

Dari pengertian tersebut, maka humas dapat diartikan sebagai seni berkomunikasi atau seni menciptakan pengertian publik yang lebih baik, sehingga dapat memperdalam kepercayaan masyarakat terhadap organisasi.

Dengan demikian, orang yang ditempatkan atau menempati posisi sebagai humas dalam sebuah instansi pemerintahan atau badan publik, harus memiliki jiwa seni dalam melaksanakan tugasnya. Tanpa jiwa seni itu, maka pejabat atau staf humas dapat mengalami stres dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, apalagi jika posisi humas hanya fungsional dengan tanggung jawab besar tanpa diimbangi fasilitas dan dana yang memadai.

UU KIP

Tidak perlu ada yang dikhawatirkan oleh para humas dengan terbit dan berlakunya UU KIP, apalagi jika para humas sudah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Humas tidak perlu menghafal mati seluruh 13 bab dan 64 pasal dalam UU KIP, karena hanya sebagian yang berkait langsung dengan tugas dan fungsi humas.

Pasal-pasal yang perlu dibaca, didiskusikan, dan dipahami oleh para humas dalam undang-undang tersebut, antara lain pasal 7 ayat (4), tentang kewajiban membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas Informasi Publik. Informasi publik dimaksud tentu saja yang benar adanya dan tidak menyesatkan.

Humas juga perlu membaca dan memahami BAB IV tentang informasi yang wajib disediakan dan diumumkan, yakni informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta, serta informasi yang wajib tersedia setiap saat.

Setiap tahun, humas juga wajib mengumumkan layanan informasi yang meliputi jumlah permintaan informasi yang diterima, waktu yang diperlukan Badan Publik dalam memenuhi setiap permintaan informasi, jumlah pemberian dan penolakan permintaan informasi, dan atau alasan penolakan permintaan informasi (pasal 12).

Humas dapat menolak memberikan informasi yang dikecualikan, karena hal tersebut diatur dalam Bab IV tentang informasi yang dikecualikan, khususnya pasal 17. Namun pasal 19 mengingatkan para humas agar melakukan pengujian dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan informasi publik tertentu yang dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang.

Pastilah tidak semua informasi publik dapat begitu saja diberikan kepada setiap orang atau setiap pemohon, karena ada mekanisme yang mengaturnya, yaitu pada Bab VI tentang mekanisme memperoleh informasi.

Bahasa

Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mengingkatkan satu hal tentang pentingnya pengetahuan dan pemahaman bahasa bagi para humas. Penulis yakin sudah banyak pejabat dan staf humas yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi, sudah banyak yang mengelola media internal (buletin, tabloid, majalah, radio, website, blog), serta mahir membuat berita untuk media internal atau untuk siaran pers.

Penulis juga yakin sudah banyak pejabat dan staf humas yang telah mengikuti pelatihan jurnalistik dan mungkin sering mengikuti kegiatan yang diadakan Bakohumas.

Meskipun demikian, penulis merasa perlu mengingatkan kepada rekan-rekan sesama pejabat atau staf humas tentang pentingnya mempelajari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan, karena Informasi Publik harus disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami. (*)

Oleh: Asnawin
(Humas Kopertis Wilayah IX Sulawesi)
Artikel ini dimuat Harian Fajar, Makassar
Rabu, 7 Juli 2010

EITI, Keterbukaan untuk Demokrasi dan Anti Korupsi

Rabu 21/07/2010 – Tidak banyak yang tahu bahwa masalah keterbukaan pelaporan pendapatan kegiatan tambang oleh perusahaan tambang dan penerimaan negara atas usaha itu, telah menimbulkan celah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat tinggi. Belum lagi menyebut dampak ekologisnya bagi alam dan berbagai konflik horizontal yang telah menimbulkan masalah sosial, politik dan ekonomi bagi masyarakat asli yang lahan dan hutannya dijadikan areal kegiatan usaha tambang atau dikenal sebagai usaha ektraktif industri.

Hal ini terungkap dalam pertemuan Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Social Organization/CSO) Internasional, se-ASEAN yang membahas tentang Inisiatif Keterbukaan Ekstraktif Industri (The Extractive Industry Transparency Imitative (EITI), di Inter Continental, Jakarta (28/2). Acara ini dihadiri CSO dari Timor Leste, Kamboja, Vietnam, Philipina, dan Indonesia sebagai tuan rumah, yang dipandu langsung oleh Oxfam Amerika dan RWI (Revenue Watch Institute). Pertemuan ini sendiri dimaksudkan sebagai persiapan CSO se-ASEAN dalam menghadapi Konfrensi EITI se-Asia yang akan (telah berlangsung) di Shangrila, Indonesia, awal Maret 2010.

Kendati tidak semua CSO sepaham dalam melihat persoalan EI bisa terselesaikan lewat EITI, namun sejumlah CSO sudah mendorong upaya hal ini untuk terus dilakukan seiring dengan berbagai advokasi persoalan EI lainnya. Para CSO juga melihat bahwa ketiadaan tatakelola yang baik dalam hal mengatur keterbukaan usaha EI telah melemahkan tanggungjawab pemerintah yang harusnya secara terbuka memperlihatkan kepada publik pendapatan yang diterima dalam usaha EI ini. Termasuk kekhawatiran semakin tidak terkontrolnya eksplorasi sumber daya alam yang berakibat pada rusaknya ekologis, dan penderitaan rakyatnya.

“Sebagai contoh saja di Indonesia. Di kawasan Asia Tenggara, produksi batu bara Indonesia adalah terbesar kedua. Ironisnya daerah-daerah yang menghasilkan batu bara ini justru adalah daerah yang dikenal paling miskin dan tertinggal untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini erat kaitannya dengan isu aktivitas korupsi yang tinggi, isu lingkungan, HAM dan juga kemiskinan,” jelas Fabby Tumiwa, Executive Director of Institute for Essential Services Reform (IeSR), Indonesia yang mempresentasikan gambaran umum tentang peta masalah EITI di kawasan ASEAN.

Ironis lagi, negara ASEAN yang kaya akan sumber daya alam tambang dan mineralnya seperti Indonesia, Laos, dan Philipina yang pengelolaannya sebagain besar “dikuasai” perusahaan asing seperti Petronas, Chevron dan Pertamina ini justru mendapatkan pendapatan GDP di sektor EI lebih kecil dibandingkan sektor lainnya.

“Sebagai contoh di Indonesia pendapatan dari sumber mineral sangatlah kecil jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Di sektor tambang, bahkan, pemerintah hanya dapat royaltinya saja dan bukan pendapatannya,” jelas Fabby lagi.

CSO Asean menyebut situasi yang disebut Fabby sebagai ”Resource Curse”. Di Philipina misalnya yang dikenal sebagi penghasil mineral metalik (kromit, tembaga, emas, besi dan nikel) nomor satu dunia, juga penghasil bauksit terbesar, hanya mendapatkan kontribusi di sektor ini sebesar 1,1% dan 1,2% (1997 dan 2007) untuk GDP mereka. Saat ini ada 24 proyek tambang yang beroperasi di Philipina (2006).

“Itu hanya 2% dari total eksportnya Philipina,” jelas Lord Byron Abadeza, Koordinator Project Transparency and Accountability Network, Philipina.

Senada juga ditambahkan oleh Ridaya Laodengkowe, Koordinator Koalisi Nasional Publish What You Pay, Indonesia. Dalam kasus di Riau misalnya, provinsi yang dikenal kaya sumber minyak ini, 25% penduduknya justru tidak bisa menyelesaikan Sekolah Dasar.

Fenomena semacam ini menurut peserta CSO Meeting disebabkan sangat minimnya kesadaran perusahaan EI dan pemerintah masing-masing Negara dalam melakukan keterbukaan pelaporan pendapatan dan penerimaan hasil usaha EI. Sehingga rentan akan praktek korupsi, dan keuntungan dari hal itu ternyata memang tidak membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.

Salah satu kasus nyata di Indonesia adalah ketika ICW (Indonesia Corruption Watch), telah menemukan pelanggaran tentang kasus penggelapan pajak yang dilakukan perusahaan batu bara milik anak perusahaan tokoh politik dan penguasa berpengaruh di Indonesia (media advisory – bisa dilihat di “ICW Ungkap Manipulasi Penjualan Batu Bara Grup Bakrie” diakses dari http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2010/02/15/brk,2010…).

Di antara Negara Asean lainnya, hanya Timor Leste yang memastikan bahwa 80% hasil minyak buminya merupakan pendapatan utama Negara setelah kopi (20%) dengan pertanggungjawaban yang cukup terbuka. Mericio Akara, Direktur dari NGO Luta Hamutuk (semacam ICW-nya Indonesia-red), Timor Leste menyebutkan bahwa pengelolaan sumber daya minyak Timor memang dikelola JPDA (Joint Petroleum Development Area) dengan pembagian yang cukup adil, Timor mendapatkan 90% sementara Australia 10%, termasuk 5% pembayaran royaltinya.

Rentan Konflik

Ketidakterbukaan pertanggungjawaban laporan pendapatan perusahaan EI dan penerimaan yang diperoleh pemerintah ini pula yang dianggap CSO Meeting sebagai salah satu matarantai penting yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah konflik sosial dan ekonomi yang cukup tinggi.

Di Indonesia, dalam catatan Koalisi Nasional Publish What You Pay, Indonesia, konflik vertikal selalu terjadi di wilayah yang dikenal sebagai penghasil EI tertinggi seperti di Papua, Kalimantan dan NAD. Seperti disebut di atas, wilayah ini justru menjadi provinsi yang tertinggal dan miskin di antara provinsi lainnya.

Dalam cerita di Kamboja terungkap berbagai usaha EI di area sekitar Danau Tonle Sap telah menimbulkan berbagai konflik yang cukup tinggi. Area itu kini telah “diramaikan” blok-blok izin usaha berbagai kegiatan EI. Salah satu areanya yang disebut area Blok A dikuasai oleh Chevron.

“Telah banyak di area lahan-lahan di Kamboja semakin menunjukkan peningkatan eksplorasi sumberdaya alam yang semakin meningkat. Kebanyakan perusahaannya adalah dari Barat dan ini juga sarat dengan korupsi,” jelas Chhith Sam Ath, Direktur Ekesekutif dari The NGO Forum on Cambodia, Kamboja.

Ath juga menjelaskan bahwa saat ini ada 20 perusahaan minyak yang telah mendapatkan konsensi dari pemerintah. Emas merupakan pendapatan terbesar dibanding usaha EI lainnya di Kamboja. Kamboja berharap banyak pendapatan atas gas dan minyak bisa membuat mereka lebih independent dari ketergantungan donor. Namun demikian di sekitar wilayah tempat beroperasinya EI, selalu terjadi pelanggaran HAM, dan rusaknya ekologi yang sangat parah.

CSO dan EITI

Terkait dengan persoalan di atas para peserta CSO meeting menyadari benar bahwa kondisi tersebut akan jauh lebih baik jika perusahaan EI dan pemerintah bersungguh-sungguh mengimplementasikan apa yang mereka sebut dengan EITI (The Extractive Industries Transparency Initiative) secara sukarela. Di beberapa Negara, EITI telah diusung dan diterapkan seperti yang terjadi di Timor-Timor, sementara yang lainnya sudah pada upaya “memaksa” pemerintah dan pelaku usaha EI untuk memasukkan EITI sebagai salah satu standard yang harus dikuatkan secara hukum seperti yang terjadi di Indonesia. Sementara di beberapa negara lainnya masih berjuang untuk memperkenalkan EITI ini untuk tidak hanya dilihat sebagai wacana.

Di Kamboja seperti diungkapkan Chhith Sam Ath, Direktur Ekesekutif dari The NGO Forum on Cambodia, Kamboja, ketersediaan informasi terkait keterbukaan pertanggungjawaban usaha EI itu tidak ada. Baik itu berupa informasi kontrak, dan daftar pendapatan perusahaan EI. Lebih parah lagi belum ada legal aspek atau regulasi yang bisa dijadikan “pemaksa” untuk menjalani EITI.

Sementara di Indonesia kendati EITI telah dikenal baik oleh pemerintah dan pelaku usaha EI, menurut Koalisi Nasional Publish What You Pay, Indonesia, keterbukaan masih sangatlah kurang. Mereka juga mengalami kesulitan mendapatkan data yang update di anggaran Nasional terkait dengan EI. Sementara informasi terkait kontrak usaha EI bisa disediakan namun atas dasar permintaan itu pun tanpa disertai dokumen PSC termasuk POD, WP dan anggaran.

“Yang menyulitkan lagi adalah masih adanya perbedaan pandangan antara menteri Sumber Daya dan Energi vs Menteri Keuangan serta Menteri Lingkungan,”jelas Ridaya Laodengkowe, Koordinator Koalisi Nasional Publish What You Pay, Indonesia.

Sementara di Philipina menurut Lord Byron Abadeza, Koordinator Project Transparency and Accountability Network, Philipina mengakui bahwa masih belum banyak organisasi masyarakat atau ngo yang mendorong upaya EITI. Hanya NGO local bernama Bantay Kita yang cukup eksis memperjuangkan hal ini. Byron juga menyebutkan regulasi yang mengatur EI juga sangat lemah dan payah. Transparansi hanya difokuskan pada lisensi berupa kontrak berjangka yan klausanya bersifat rahasia, operasional dan kepatuhan, pendapatan, serta endapatan belanja publik dari industri. Ini merupakan kegagalan pemerintah yang harusnya bisa menyampaikan informasi tersebut secara terbuka kepada publik. Termasuk dalam hal merasionalisasi insentif fiskal.

Sedangkan di Vietnam, menurut Pham Quang Tu, Deputi Direktur Kosultasi dan Development (CODE), Vietnam, EITI masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan sejumlah pelaku usaha EI sangat rendah partisipasinya dalam melakukan CSR. Tu juga menjelaskan bahwa memang sudah ada penigkatan kesadaran CSO dan masyarakat dalam mendorong keterbukaan akan hal ini, namun mereka selalu kesulitan dalam melakukan cek akurasinya. Kelompok CSO juga mulai mengalami kesulitan untuk mendorong isu ini ketika pemerintah justru terus membatasi ruang gerak mereka karena dianggap akan membawa pengaruh keamanan dan sektor politik.

Sementara di Timor Leste, kendati EITI telah berjalan cukup bagus diantara Negara Asean lainnya, namun diakui oleh Mericio Akara, Direktur Luta Hamutuk, Timor Leste, isu EITI masih merupakan isu yang baru. Hanya beberapa orang saja yang paham arti EITI.

“Sementara perusahaan minyak besar seperti Canoco, ENI dan Woodside sebagai operator utama tidak begitu kooperatif ketika EITI ini akan dijalankan,”jelas Akara.

Pemerintah Timor Leste dinilai juga masih lemah posisinya dihadapan perusahaan minyak ketika harus membahas untuk memisahkan atau tidak laporan pertama mereka. Sementara CSO menghadapi kendala dalam memberikan umpan balik tentang laporan akhir serta proses diseminasi. Kekurangan dalam hal melakukan proses diseminasi yaitu seperti terbatasnya akses telekomunukasi di Timor Leste.

Lesson and Learn Timor Timur

Dalam pertemuan ini, Akara juga menjelaskan bagaimana Timor Leste mempunyai sistem pengawasan ketat terhadap EI mereka terutama minyak dan gas. Sistem itu dikenal sebagai Petroleum Fund System. Keanggotaanya akan dipastikan melalui Central Bank Government yang juga memutuskan formatnya, sebagai bagian dari National Conservative Council. Peran council inilah yang disebut Akara mempunyai peran penting tidak hanya sekadar memilih keanggotaannya tetapi juga dalan pengawasan proses EITI.

Keanggotaan council ini bisa saja dilakukan mantan perdana menteri yang memilih wakilnya atau dia sendiri menjadi anggota council. Mantan presiden juga bisa memilih perwakilannya dan dia juga bisa memilih lainnya jika dia tidak bisa. Sementara 400 CSO akan memilih dua perwakilan mereka untuk menjadi anggota council di Dili.

“Peran council ini sangat penting karena merekalah yang akan menentukan dan menjamin apakah proposal pemerintah menyangkut petroleum fund itu masuk akal atau tidak, berkesinambungan atau tidak, sudah sesuai atau belum dengan peraturan yang ada,” jelasnya.

Salah satu ayat dalam peraturan petroleum fund juga menyebutkan bahwa pemerintah hanya bisa mengajukan proposal tidak lebih 2% dari total. Proposal juga harus jelas bahwa dana itu hanya untuk infrastruktur bukan diperuntukkan hal lain dan mesti dipastikan kesinambungannya. Bisa saja pemerintah melakukan investasi namun hanya untuk sektor sekolah dan kesehatan. Itu pun harus jelas dan dipastikan pengembalian dana tersebut. Proses ini akan diawasi ketat oleh parlemen.

“Kendati demikian tetap saja masih ada masalah dalam implementasinya. Sebab pemerintah dapat fund dari annual budget yang dimasukkan dalam national budget. Di level inilah korupsi, nepotisme biasanya sering terjadi. Karena institusi kami ketat mengawasi di level ini.”

Dalam hal lain juga diakui selalu ada ketegangan antara Australia dan Timor menyangkut kegiatan operasional EI di offshore area. Kadang Australia mengakui area EI sebagai miliknya begitu juga Timor. Namun demikian mereka juga tidak memberlakukan tapal batas untuk 50 tahun ke depan di area ini. Namun setelah 50 tahun ke depan baru mereka bisa bicarakan perbatasan. Ini hanya untuk JPDA.

Cina dan Petronas juga mulai tertarik, namun Timor masih mempertimbangkannya mengingat resikonya sangat tinggi.

Hal lain (yang masih dipertimbangkan) yaitu tentang gas field yang disebut IOA dengan “The greater sunrise”. Namun ini pun masih dalam pembahasan dan pengkajian yang ketat. Dalam masalah ini mereka juga sering mengalami ketegangan dengan Australia tentang masalah kuantiti yang dihasilkan. Tapi dalam kontrak disebutkan baik pemerintah Timor dan Australia akan mendapatkan 50 : 50. Ketegangan lainnya dengan Australia yaitu juga menyangkut pemasangan pipa gas. Pemerintah Timor perlu pipa ke Timur, dan Australia butuh pipa untuk bawa gas ke Darwin.

“Namun di East Timor tidak ada yang datang beli gas, sehingga tidak realible untuk komersil, hingga pemerintah melakukan kesepakatan dengan Petronas. Sekarang tengah mempelajarinya. Secara komersial banyak yang berminat seperti Korea, Spanyol, Thailand, Osaka Gas Jepang, yang akan jadi konsumen kita. bahkan Cina tertarik,” jelasnya Akara.

Dalam EITI, CSO, pemerintah dan rakyat sama pandanganya dan tidak ada oposisi untuk hal ini.

“Mungkin karena kami masih Negara baru, dimana kami semua mempunyai latar belakang yang sama, pemerintah dan rakyat masih ada mantan aktivis. Tidak ada oposisi dan posisi untuk masalah gas dan minyak ini,” jelas Akara lagi.

Masalah terbaru soal EITI di Timor, tambahnya lagi, adalah laporan yang telah dilakukan menurut pengamatan CSO setempat, masih di bawah level yang detil, dan hanya umum saja.

“Kami menyerukan agar laporan harus detil. Pemerintah setuju tentang hal ini. Mereka harus konsisten melakukan komitmen keterbukaan. Namun perusahaan terkadang keberatan untuk memberikan laporan detil. Tapi kita berhasil menekan mereka untuk setidaknya melaporkan jumlah pajak mereka,”tambahnya.

Pemerintah Timor pun selalu mengumumkan ke publik tentang proses yang dilakukan termasuk aktif melakukan workshop dan diskusi kelompok setiap kali ada proyek EI datang. Sehingga publik mengetahui proses yang tengah berlangsung.

Upaya CSO untuk EITI ASEAN

Melihat kondisi tersebut CSO Asean juga telah melakukan berbagai upaya guna mendorong pelaksanaan EITI di negaranya masing-masing. Tentu saja bukan hal mudah mengingat berbagai hambatan yang telah mereka ungkapkan di atas. Legal aspek yang diinginkan pun terkadang belum tersedia dengan baik.

Contoh saja di Kamboja, peraturan hukum terkait dengan petroleum sudah tidak berlaku lagi. Hukum baru menyangkut petroleum masih sebatas draft dan itu pun belum sempat diinformasikan kepada publik. CSO Kamboja mendesak agar hal itu segera di masukkan ke Konsul Menteri sesegera mungkin.

CSO Kamboja berharap rencana keterbukaan manajemen pendapatan bisa dipublish dan melibatkan publik dalam topik yang penting seperti itu. Mereka juga akan mendorong dipublikasikannya daftar perusahaan baik yang telah diberikan jaminan izin atau masih ditunda eksplorasinya kepada publik terutama menyangkut minyak, gas, dan sumber mineral lainnya.

Di Indonesia upaya mendorong diterapkannya EITI sudah dilakukan Publish What You Pay dalam sebuah koalisai NGO Indonesia yang berfokus pada isu EI. Kini ada 35 NGO aktif yang mendorong upaya ini. Sejak 2007, mereka juga memimpun upaya lobi kepada stakeholder dari pemerintah dan perusahaan di Indonesia untuk membuka diskusi terbuka tentang EITI.

Mereka juga memberikan usulan draft tentang EITI Indonesia ke lembaga kepresidenan tentang keterbukaan pendapatan EI yang didukung pula oleh ICW. Hasilnya, pemerintah Indonesia telah “dipaksa” untuk segera mendatangani EITI.

“Sayangnya, hingga sekarang masih tertahan di meja presiden,” jelas Radaya.

Selebihnya, mereka juga ingin mendorong yang mereka sebut dengan “Beyond EITI” atau dari Vietnam meyebutnya sebagai upaya “EITI plus-plus” yang juga bisa memberikan fokus pada tanggung jawab pemerintah dan pelaku EI kepada publik tentang isu lingkungan dan masalah HAM (Hak Azasi Manusia).

Di Timor Leste, sistem EITI yang diusung harus menyertakan tiga “aktor”-nya yaitu masyarakat sipil, pemerinta juga perusahaan EI.

Sedangkan di Philipina, CSO Bantay Kita terus mendorong pelaksanaan keterbukaan yang harus dilakukan pemerintah dan sektor swasta. Namun mereka belum menemukan indikasi kuat EITI bisa diterapkan secara cepat. Tapi mereka akan memakai momentum pemilihan umum untuk memastikan orang yang terpilih sebagai presiden Philipina nanti punya perhatian terhadap masalah ini. Di Vietnam EITI akan didorong untuk dibahas di parlemen dalam waktu dekat ini.

Semua hasil yang terungkap di meeting ini rencananya akan di publish dan dishare-kan dalam Konfrensi EITI se-Asia yang akan (telah berlangsung) di Shangrila, Indonesia awal Maret ini.

Dari Oxfam Amerika dan juga RWI Internasional mengusulkan agar CSO Asean menyatukan visi dan bisa berkompromi membuka dialog dengan pihak-pihak yang selama ini dikategorikan sebagai aktor utama yang sulit menjalankan EITI, yaitu pemerintah dan perusahan EI. Kendati ada perbedaan pendapat terkait “bisa duduk dalam satu meja dan bertemu dalam satu ruang” menurut Akara dari Timor Leste, bukan berarti harus mengikuti apa kata mereka.

Namun beberapa peserta CSO meeting menandaskan bahwa hal tersebut bisa saja dimungkinkan, asalkan ada sikap yang jelas dari CSO bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah dan perusahaan untuk menghindari dan melaksanakan EITI secara baik dan benar. Mereka sepakat tidak akan bicara dalam satu meja jika masalah itu tidak disepakati.

Mereka juga sepakat bahwa sebaiknya CSO diberikan kapasitas lebih tinggi lagi sehingga mereka mempunyai posisi tawar yang baik dalam hal mendorong upaya EITI baik secara internasional maupun di negaranya masing-masing. Mereka juga menyadari benar isu ini belum dikenal secara meluas di publik bahkan di media. Karena itu mereka ingin agar media disertakan sebagai bagian penting untuk menjadi ujung tombak daya tekan mereka terhadap pelaku EI.

Terlepas dari pembahasan ini, ada hal menarik yang dilontarkan Koordinator Jatam Indonesia, Siti Maimunah.

“Ada perbedaan cara pandang kami terhadap EITI yang diusung CSO ini, dan itu sangat prinsip. Apakah jika mereka (perusahaan tambang) sudah mengeluarkan laporannya secara terbuka dan sedetil-detilnya, lalu itu bisa menjadi pengesahan bagi mereka untuk bisa mengeksplore tambang yang ada sebesar-besarnya? Padahal kita tahu bagaimana perusahaan tambang yang ada di Indonesia telah menimbulkan kerusakan bahkan bencana yang parah bagi manusia dan alam,” tandasnya. (Musfarayani)