Ketertutupan Informasi Proyek Busway

Selasa 05/10/2010 – Warga Jakarta kembali diliputi kekesalan karena kemacetan arus lalu lintas, yang antara lain akibat belum rampungnya pembangunan jalur baru busway. Penambahan tiga jalur busway, yakni Koridor 8 (Lebak Bulus-Harmoni), Koridor 9 (Pinang Ranti-Pluit), dan Koridor 10 (Cililitan-Tanjung Priok) merupakan upaya yang patut dihargai. Proyek tersebut adalah tindak lanjut dari program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mewujudkan sistem transportasi massal yang manusiawi, lancar, aman, dan nyaman. Suatu sistem yang juga diidamkan publik.

Jika dicermati, kondisi moda transportasi yang beroperasi di wilayah Jakarta memang bisa dibilang mengenaskan. Banyak bus kota tidak dilengkapi dengan pendingin udara dan tempat duduk hanya ala kadarnya. Belum lagi kondisi mesin kurang prima, menyebabkan asap dari knalpot hitam legam.

Perkiraan rasio antara jumlah penumpang dengan banyaknya armada juga tidak jelas. Hal ini menyebabkan berjubelnya penumpang dalam satu bus kota. Sementara pada trayek lain, dijumpai jumlah penumpang yang lebih besar ketimbang armadanya. Kondisi ini yang akhirnya memaksa pengemudi bus kota memperlambat kendaraannya, bahkan berhenti di sembarang tempat guna mencari penumpang agar dapat memenuhi target setoran. Sudah pasti hal ini menyebabkan kemacetan. Gambaran yang sama juga terjadi pada moda transportasi lainnya.

Sayangnya, tekad pemerintah yang hendak “memanusiawikan” warga Jakarta dalam ber-transportasi tidak diiringi dengan penyebaran informasi yang memadai kepada publik. Bahkan, menurut pemberitaan surat kabar, Kepolisian Daerah Metro Jaya pun tidak mendapatkan informasi tentang pelaksanaan proyek dimaksud. Bagi Polda, informasi soal titik-titik mana yang sedang maupun akan dikerjakan merupakan hal penting sebagai acuan untuk mengatur arus lalu lintas di lokasi tersebut.

Referensi

Bagi publik, informasi dimaksud penting sebagai panduan sebelum atau selama menempuh perjalanan. Lebih penting dari itu, sesungguhnya informasi tentang rencana proyek pembangunan busway secara keseluruhan dapat dijadikan sebagai referensi untuk ikut menyampaikan pendapat agar proyek tersebut tidak dilakukan secara serentak, tetapi bertahap dari satu titik ke titik tertentu. Barangkali dengan pola pembangunan semacam itu akan dapat dikurangi kemacetan lalu lintas.

Mekanisme penyampaian gagasan tentu saja bisa melalui media massa atau langsung melalui hotline pengaduan pada instansi tertentu yang berwenang mengelola proyek ini.

Meskipun pendapat publik belum tentu dijadikan sebagai acuan dalam membuat atau mengubah kebijakan, tapi paling tidak komunikasi antara pemerintah dengan publik penting untuk terus dibangun. Hal ini diperlukan untuk mengikis kebiasaan ketertutupan yang masih saja kental di lingkungan birokrasi kita secara umumnya. Ketertutupan dalam birokrasi masih terus dipertahankan karena barangkali kalangan birokrat masih memegang paradigma usang tentang tata-kelola pemerintahan, yakni praktek pemerintahan harus dijalankan secara tertutup dan kebijakan ditentukan secara sepihak, karena publik adalah entitas luaran yang tidak perlu dilibatkan. Pemerintah menganggap dirinya sebagai pihak yang paling benar. Kita telah merasakan betapa paradigma demikian telah membawa negeri ini pada jurang krisis yang dalam. Ketertutupan telah menyuburkan praktek korupsi, sementara penyusunan kebijakan tanpa pelibatan publik seringkali merugikan publik itu sendiri.

Kini, paradigmanya telah berubah. Paradigma baru tentang tata-kelola pemerintahan adalah penerapan prinsip-prinsip transparansi, sehingga muncul partisipasi publik. Dengan demikian akuntabilitas praktek pemerintahan akan terwujud. Tiga pilar tadi – transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas – telah lama direkomendasikan oleh lembaga-lembaga internasional termasuk badan-badan di bawah naungan PBB. Ketiga pilar ini juga telah menjadi semacam konvensi yang digunakan secara universal dalam mewujudkan tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Ketiga pilar tersebut juga parameter utama dari kesejatian demokrasi. Sebagaimana diketahui, konsep dasar demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Ini artinya rakyat juga memegang mandat untuk ikut menjalankan pemerintahan. Dengan demikian harus ada komunikasi yang simetris antara pemerintah dan rakyat. Demokrasi bukan sekadar diwujudkan dalam bentuk pemungutan suara saat pemilu atau pemilihan kepala daerah saja. Jadi, demokrasi sudah bisa dikatakan ideal jika terdapat keterbukaan informasi dari pemerintah, munculnya partisipasi publik, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.

Begitu pentingnya demokrasi sehingga Amartya Sen dianugerahi penghargaan Nobel bidang ekonomi pada 1998 berkat risetnya di beberapa negara Asia Selatan dan Sub Sahara, yang menyimpulkan bahwa demokrasi merupakan perangkat penting untuk mengatasi bencana kemiskinan dan kelaparan.

Dalam penelitiannya, Sen menemukan fakta, kemiskinan timbul bukan semata-mata karena kurangnya bahan makanan, tetapi karena sumber-sumber makanan telah dikuasai oleh penguasa yang otoriter dan tertutup. Kelaparan diakibatkan oleh ketiadaan demokrasi.

Barometer

Jakarta diakui sebagai barometer bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan, Jakarta juga masih menjadi cerminan dunia internasional dalam memandang Indonesia. Berdasarkan kenyataan itu, semestinya Jakarta dapat memelopori pelaksanaan hakikat demokrasi, yang bukan saja telah menjadi tekad bangsa ini, tetapi juga menjadi tuntutan masyarakat global. Penerapannya dapat dilakukan dengan mengambil momentum pengembangan dan pengelolaan tata kota, seperti proyek pembangunan busway.

Kultur ketertutupan dalam birokrasi pemerintahan DKI mudah-mudahan dapat benar-benar terkikis seiring dengan pernyataan Fauzi Bowo sesaat setelah dilantik menjadi gubernur. Fauzi menyatakan bahwa dia akan bertekad mewujudkan pemerintahan yang transparan. Pernyataan tersebut layak diapresiasi. Namun, tekad untuk mewujudkan pemerintahan yang transparan tidak cukup hanya melalui pernyataan pejabat publik, tetapi sudah saatnya dilembagakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Beruntung, kini di tingkat pemerintah pusat sedang digodok Rancangan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP). Dalam rancangan tersebut diatur tentang kewajiban badan publik (instansi pemerintah) untuk menyediakan dan memberikan informasi kepada publik tentang kebijakan yang dibuat beserta dokumen pendukungnya. Pembahasan RUU tersebut sudah hampir selesai.

Jika UU KIP diberlakukan nanti maka tidak akan ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menyebarkan informasi tentang kebijakan yang diambil. Termasuk pemerintah DKI juga wajib menyebarkan informasi tentang kebijakan pembangunan busway atau proyek-proyek lainnya. UU ini akan bersifat menekan karena ada ketentuan sanksi bagi badan publik yang tidak menyediakan informasi.

Oleh Bejo Untung. Penulis adalah peneliti Yayasan SET Jakarta dan pegiat Kebebasan Informasi