DPA/DIPA Terbanyak Disengketakan di Komisi Informasi

DPA/DIPA Terbanyak Disengketakan di Komisi Informasi

Surabaya (beritajatim.com) – Komisi Informasi (KI) Provinsi Jatim menerima sebanyak 242 permohonan sengketa informasi sejak 2010 hingga Mei 2012. Rinciannya, 21 kasus sengketa informasi pada 2010, 175 kasus pada 2011 dan 46 kasus hingga Mei 2012.

Ketua KI Provinsi Jatim Djoko Tetuko kepada wartawan di kantornya, Jl Bandilan Surabaya, Rabu (27/6/2012) mengatakan, kinerja Komisi Informasi Jatim sudah berjalan 2 tahun sejak 14 Mei 2010.

“Yang berhasil diselesaikan hingga Mei 2012 sebanyak 242 sengketa informasi. Dari jumlah itu, 25 kasus menjalani sidang ajudikasi, 111 kasus sidang mediasi, dan ada 33 laporan yang dikembalikan. Selebihnya, 11 sengketa batal, 42 dilimpahkan, 18 proses dan 2 kaukus,” katanya.

Menurut dia, jenis informasi yang disengketakan perorangan atau LSM terbanyak adalah soal DPA dan daftar isian penggunaan anggaran (DIPA) 39 persen atau 90 kasus. Kemudian, disusul sengketa LHKPN 40 kasus (17 persen), kontrak lelang 23 kasus (9,5 persen), program dan penerima 46 kasus (19 persen), daftar informasi publik (DIP) 10 kasus (4,1 persen), dan SPJ 14 kasus (5,8 persen).

“Nanti, pada 3-5 Juli 2012, KI Jatim akan mengikuti Rakornas KI keempat di Bandung, Jabar. Temanya pada tahun ini keterbukaan Informasi Menuju Jatim Bersih,” tuturnya.

Dia menambahkan, tugas KI Jatim ada tiga. Yakni, melaksanakan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (sosialisasi), menerima dan mengevaluasi laporan tahunan badan publik serta menerima, memeriksa, memutus sengketa informasi publik. [tok/ted]

 

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik%20&%20Pemerintahan/2012-06-27/139697/DPA/DIPA_Terbanyak_Disengketakan_di_Komisi_Informasi

SAHAM TAMBANG: Kepemilikan Asing Wajib Lapor Ke Kementerian ESDM

SAHAM TAMBANG: Kepemilikan Asing Wajib Lapor Ke Kementerian ESDM

JAKARTA—Pemerintah mewajibkan kepada seluruh perusahaan tambang yang memiliki unsur saham asing dalam komposisi perusahaan agar melaporkan kepada ESDM.

Dirjen Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM Thamrin Sihite mengatakan saat ini terus melakukan rekonsiliasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluruh Indonesia juga untuk mengetahui hal itu.

“Rekonsiliasi itu sebenarnya sasaran kita ke situ. Sekarang kebijakan kita, kalau sudah ada Izin Usaha Pertambangan di daerah dan itu ada asingnya, itu harus lapor,” tegasnya ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (20/6/2012).

Berkaca dari kasus Churchill Mining Plc, Thamrin mengatakan pemerintah sama sekali tidak tahu bahwa ada unsur asing dalam proyek batu bara di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur itu.

Menurutnya, pemerintah juga tidak tahu tentang keberadaan Grup Ridlatama (yang tadinya lokal, kemudian diakuisisi oleh Churchill, perusahaan asal Inggris itu).

“Kita sama sekali ngga tahu soal Churchill, izin Ridlatama dilaporkan ke kita aja ngga, perusahaan itu tidak terdaftar. Kasus ini sekarang sudah didelegasikan ke Menkopolhukam dan Jaksa Agung,” jelas Thamrin.

Seperti diketahui, proyek batu bara di Kutai Timur, Kaltim semula dikelola oleh Grup Ridlatama bersama Churchill Mining Plc dengan porsi 25%—75%. Namun keempat izin eksplorasi batu bara itu sudah dicabut oleh Bupati Kutai Timur Isran Noor karena ada laporan BPK yang mengindikasikan data-data mereka di lapangan itu palsu.

Selain itu, izin dicabut karena ada laporan dari Menteri Kehutanan bahwa kegiatan mereka dilakukan di atas hutan produksi yang harus mendapat Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) terlebih dahulu. Belakangan, Churchill dan Grup Ridlatama diketahui pecah kongsi. Menurut Thamrin, dari awal kerja sama kedua pihak ini sudah tidak benar.

“Kan ada IUP diberikan kepada orang Indonesia [Grup Ridlatama], mereka terus kerja sama dengan asing [Churchill]. Sebenarnya kerja samanya mereka yang tidak benar,” ujar Thamrin.

Seperti diketahui, Churchill berencana menggugat Republik Indonesia sebesar US$2 miliar ke International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington DC. Pasalnya, izin mereka dicabut oleh bupati dan izin Grup Nusantara (milik Prabowo) yang tumpang tindih dengan lahan mereka, diketahui diperpanjang oleh bupati.

Bupati Kutai Timur Isran Noor menegaskan tidak takut menghadapi gugatan Churchill.

“Tidak ada negosiasi, haram hukumnya. Kami tidak takut menghadapi gugatan mereka. Kami sudah pelajari gugatan itu sama sekali tidak punya dasar yang kuat. Kami sudah antisipasi gugatan itu, kami siap saja,” ujarnya.

Isran juga menegaskan tidak pernah ada perusahaan asal Inggris bernama Churchill Mining Plc yang berinvestasi batu bara di daerahnya. Yang ada hanyalah grup Ridlatama, yang memiliki empat izin tambang batu bara yang kemudian izinnya sudah dicabut olehnya. Ternyata, belakangan Churchill memegang porsi 75% di proyek itu.

“Di mata Pemkab Kutai Timur, Churchill itu nggak pernah ada, yang ada itu Ridlatama dan izin tambang mereka sudah dicabut. Dia [Churchill] mengakuisisi Ridlatama secara tersembunyi, ilegal. Sementara IUP tidak boleh dimiliki asing, yang asing itu PKP2B dan KK, IUP nggak boleh,” tegasnya.

Dihubungi terpisah, Azhar Lubis, Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM menegaskan BKPM tidak memiliki data apa pun tentang Grup Ridlatama. Azhar juga mengaku tidak memiliki catatan persetujuan penanaman modalnya di BKPM.

“Sehingga kami tidak tahu tentang saham Churchill di Ridlatama tersebut,” ujarnya ketika dihubungi Bisnis, hari ini.

Di sisi lain, Azhar mengatakan BKPM memiliki data Churchill sebagai salah satu perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) di bidang usaha jasa pertambangan umum. (foto:churchill mining plc.com) (bas)

http://www.bisnis.com/articles/saham-tambang-kepemilikan-asing-wajib-lapor-ke-kementerian-esdm

11 PERUSAHAAN PKP2B tak transparan soal pendapatan & pajak

11 PERUSAHAAN PKP2B tak transparan soal pendapatan & pajak

JAKARTA: Sedikitnya 11 perusahaan pemilik Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) belum terbuka soal pendapatan maupun pembayaran pajak dengan belum diserahkannya laporan Extractive Industries Transparancy Initiative (EITI) hingga akhir bulan lalu.

Data Sekretariat EITI yang diperoleh Bisnis menunjukkan terdapat 19 perusahaan batu bara yang belum menyerahkan laporan keterbukaan informasi itu, di antaranya adalah 11 perusahaan pemilik PKP2B. Sedangkan sisanya adalah perusahaan pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Perusahaan-perusahaan PKP2B itu adalah Bahari Cakrawala Sebuku (Kota Baru, Kalimantan Selatan); Borneo Indobara (Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan); Interex Sacra Raya (Pasir, Kalimantan Timur); Kartika Selabumi Mining (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Kideco Jaya Agung (Pasir, Kalimantan Timur); Mandiri Intiperkasa (Nunukan dan Bulungan, Kalimantan Timur); Multi Harapan Utama (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Multi Tambangraya (Buntok, Kalimantan Tengah); Nusantara Thermal Coal (Jambi); Riau Bara Harum (Indragiri Hilir, Riau) dan Senamas Energindo Mulia (Kota Baru, Kalimantan Selatan).

Sedangkan perusahaan-perusahaan pemilik IUP adalah Barajaya Utama (Berau, Kalimantan Timur); Binamitra Sumberarta (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Bukit Baiduri Energi (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Fajar Bumi Sakti (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Gema Rahmi Persada (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Harfa Taruna Mandiri (Barito Utara, Kalimantan Tengah); Kayan Putra Utama Coal (Kutai Kartanegara, Malinau, Kalimantan Timur); dan Transisi Energi Satunama (Samarinda, Kalimantan Timur).

Aturan mengenai transparansi industri ekstraktif diatur melalui Peraturan Presiden Nomo 20/2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif. Dalam Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, BP Migas serta perusahaan industri ekstraktif menyerahkan laporannya kepada Tim Transparansi melalui Tim Pelaksana.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Sahala mengatakan belum diserahkannya laporan itu terkendala masalah teknis, terutama menyangkut persoalan keuangan karena soal persepsi. Dia memaparkan asosiasi sangat mendukung transparansi di sektor batu bara.

Menurut Supriatna, pihaknya  juga meminta pemerintah seharusnya bisa mempublikasikan pendapatan di sektor tersebut yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan yang telah melaporkan keterbukaan informasi pendapatan dan pajaknya.

“Transparansi sangat penting karena kalau tidak terbuka, artinya kami mengakui ada yang disembunyikan,” ujar Supriatna ketika dikonfirmasi Bisnis di Jakarta, Selasa (26/06/2012). “Pemerintah juga seharusnya mempublikasikan pendapatan mereka dan perusahaan yang telah menyerahkan laporan EITI.”

Dia menuturkan perusahaan yang tidak menyerahkan laporan EITI juga tak memiliki sanksi yang jelas, melainkan hanya hukuman moral dari media massa dan masyarakat.  Supriatna juga menghimbau agar perusahaan-perusahaan berskala besar lebih dahulu memberikan contoh sehingga diikuti oleh korporasi kecil berikutnya.

Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan pihaknya mempertanyakan sejumlah perusahaan yang belum menyerahkan laporan EITI. Dia mengungkapkan perusahaan itu bisa dianggap sebagai pihak yang tidak menerapkan good mining practices.

“Salah satunya adalah taat terhadap peraturan yang ada di dalam negaranya,” kata Maryati ketika dikonfirmasi Bisnis di Jakarta, Selasa (26/06/2012). “Masyarakat akan mempertanyakan mengapa mereka belum menyerahkan laporan itu?”

Dia menuturkan selain masalah pendapatan, PWYP juga mendorong agar perusahaan tambang terbuka soal kontrak kerja mereka dengan pemerintah. Keterbukaan dokumen kontrak dinilai berguna untuk pengawasan publik.

 

Anugerah Perkasa

http://www.bisnis.com/articles/11-perusahaan-pkp2b-tak-transparan-soal-pendapatan-and-pajak

Jabar Jadi Daerah Percontohan KIP Indonesia

Jabar Jadi Daerah Percontohan KIP Indonesia

VIVAnews – Komisi Informasi Publik (KIP) akan menggelar rapat kordinasi nasional (rakornas) KIP yang akan digelar di Bandung, Jawa Barat. Rapat ini diadakan pada 3 hingga 5 Juli mendatang di Aula Barat Gedung Sate, Bandung.

Kegiatan ini akan diikuti oleh seluruh daerah yang telah memiliki Komisi Informasi Daerah (KID). Menkominfo, Tifatul Sembiring akan membuka rakornas ini.

Ketua KIP Pusat, Abdul Rahman Mamun mengatakan rakornas ini bertujuan sebagai upaya penguatan KID. Menurut Abdul, tidak semua KID sudah maksimal dalam penyelesaian sengketa informasi publik. Sebanyak 17 KID seluruh Indonesia direncanakan akan hadir di Bandung.

“Rakornas digelar di Bandung karena di Jabar sudah terdapat KID lengkap dengan Pejabat Pengelola Informasi, dan akan dijadikan sebagai percontohan untuk daerah lain,” terang Abdul saat ditemui di Hotel Horison Bandung, Senin 2 Juli 2012.

Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan mengatakan pihaknya sangat mengapresiasi gelaran Rakornas KIP.

“Keberadaan KIP bukan hanya sebagai tempat penyelesaian perselisihan informasi, namun juga bisa menginformasikan program pemerintah. Baik yang sudah, sedang, maupun yang akan dilakukan,” terang Gubernur Jabar ini.

“Bukan yang berkaitan dengan hukum saja, boleh jadi pertanyaan publik tentang program pemerintah juga bisa dijawab,” imbuhnya.

Selesaikan Sengketa Informasi

Komisi Pusat Informasi menyatakan sekitar 620 sengketa informasi publik telah ditangani KIP Pusat sejak didirikan pada Mei 2010 silam. Jumlah tersebut sudah  termasuk sengketa informasi yang ditangani oleh Komisi Informasi Daerah (KID) yang ada di 17 Provinsi.

Ketua KIP Pusat, Abdul Rahman Mamun menuturkan 60 persen dari 620 sengketa sudah selesai ditangani. Tapi, sisanya masih dalam proses.

Abdul menjelaskan sengketa informasi itu biasa terjadi ketika permintaan informasi seseorang kepada badan atau lembaga publik tidak bisa dipenuhi.

“Biasanya laporan keuangan paling besar disengketakan. Misalnya, terkait soal anggaran yang disengketakan. Jumlahnya mencapai 40 persen dari jumlah sengketa informasi yang ditangani. Baik itu anggaran kepada lembaga di tingkat pusat, maupun provinsi,” terang Abdul. (eh)

 

http://us.teknologi.news.viva.co.id/news/read/331962-jabar-jadi-daerah-percontohan-kip-indonesia

BPK Tolak Berikan LHP, Ketua KIP Nilai Salahi Komitmen

BPK Tolak Berikan LHP, Ketua KIP Nilai Salahi Komitmen

Sumbawa Barat,KabarNTB -Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan NTB menolak memberikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepada publik, utamanya Pers dan lembaga non pemerintah, kecuali DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda). Sikap BPK ini dituduh melanggar Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan tidak menghargai hak publik.

Pelaksana tugas Ketua BPK NTB, Nelson Ambarita yang dikonfirmasi Pers Sumbawa Barat yang tergabung dalam serikat pekerja wartawan (SP Pewarta) dari Mataram, Kamis (22/6), mengemukakan surat permintaan permohonan dokumen LHP terhadap dua pemerintah yakni Pemerintah Sumbawa Barat dan Sumbawa tidak bisa dipenuhi lantaran itu kebijakan pusat. Terhadap surat Pers setempat, Nelson menegaskan jaringan pers setempat disarankan untuk meminta LHP itu langsung kepada DPRD.

“ Bukan kita tertutup pak. Dokumen itu boleh diperlihatkan akan tetapi silahkan datang ke kantor BPK . Disana bisa kami jelaskan dan perlihatkan tapi tak bisa diberikan,” kata, Nelson, berbicara kepada pers setempat melalui sambungan telepon.

Sikap otoritas BPK ini kontan saja membuat bingung pers setempat, itu karena LHP adalah laporan tahunan BPK terhadap hasil audit pengelolaan keuangan APBD maupun uang Negara (APBN) yang setiap tahun pula wajib disampaikan kepada publik. Itu diperlukan publik utamanya pers untuk melakukan kontrol atas penggunaan uang Negara yang dibayar dari pajak rakyat.

Sebelumnya,utusan Pers Sumbawa Barat yang menandatangi markas BPK untuk meminta kejelasan permohonan dokumen tadi, tak menemukan hasil yang diharapkan. Anehnya surat resmi media masing-masing yang dikirim 1 Juni lalu, dijawab dengan pemberian Berita Acara Penyerahan (BAP) antara BPK dengan DPRD Sumbawa Barat. Padahal, dalam ketentuan Undang-Undang KIP No.14 Tahun 2008 ,mengatur tentang kewajiban setiap lembaga publik apakah itu instansi vertikal, eksekutif dan yudikatif untuk memberikan seluruh informasi dalam bentuk data atau dokumen yang menyangkut kepentingan publik. Kecuali pada informasi yang sifatnya rahasia Negara, seperti dokumen penyelidikan dan penyidikan, laporan intelijen, dokumen pribadi pejabat publik serta hasil putusan yang memiliki dampak hukum.

Belakangan, keterangan berbeda justru juga disampaikan oleh, Wisnu, Kepala bagian humas BPK NTB. Wisnu tetap berdalih, dokumen LHP tetap diberikan akan tetapi pihaknya belum dapat memberikan informasi pasti kapan itu diberikan sebelum mendapat ijin dari BPK RI pusat. Ia mengatakan, pihaknya berusaha memenuhi permintaan Pers setempat akan tetapi tetap melalui proses proses. Pernyataan ini aneh, mngingat sebelumnya BPK tetap menolak membirkan LHP.

“ Surat bapak-bapak kami akan bawa ke Jakarta dulu. Saya belum bisa berikan keputusan tergantung atasan kami. Langkah ini dilakukan bukan semata-mata untuk mempersulit melainkan belajar dari pengalaman bahwa banyak LHP BPK yang diekspose melalui website kami ternyata disalahgunakan,” katanya.

Pernyataan ini tentu saja bertolak belakang dengan semangat keterbukaan informasi publik. Apalagi Pers dalam kerjanya diatur oleh Undang-Undang No.40 Tahun 1999 dan kode etik jurnalistik, memiliki tanggung jawab hukum terhadap tugas yang diemban. Kekhawatiran humas BPK, menurut ketua SP Pewarta Sumbawa Barat, Andy Saputra, adalah argumentasi yang menciderai hak institusi Pers.

Sebagaimana diketahui peran dan fungsi pers dilindungi dan diatur UU Pers. Seluruh karya jurnalistik (pemberitaan) dipertanggung jawabkan secara hukum dan undang-undang yang berlaku. Jadi, katanya, alasan yang mengkhawatirkan dokumen itu disalahkan gunakan secara tidak langsung menyudutkan peran pers.

“ Sementara ini kami duga ada upaya BPK NTB menghalang-halangi tugas wartawan. Surat permohonan dukumen sudah tiga minggu kami layangkan namun belum juga diberi jawaban pasti. Padahal di UU KIP permintaan informasi atau data dan dokumen wajib diberikan selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari sejak permintaan itu dilayangkan. Kita kecewa, utusan rekan pers yang diutus ke BPK dijawab dengan mengalihkan permintaan dokumen ke DPRD, yang sama sekali tidak ada urgensinya dengan surat yang dikirim jaringan Pers, dimana tujuan permintaan adalah institusi BPK,” kritiknya.

Sementara itu, ketua Komisi Informasi Publik (KIP) NTB, Agus Martahariadi, yang dikonfirmasi wartawan Sumbawa Barat memastikan dokumen LHP adalah dokumen yang wajib disebarluaskan dan diberikan kepada publik, kecuali dokumen atau laporan yang masih dalam proses audit. Dalam pasal 17 dan pasal 18 UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP dijelaskan mengenai laporan atau dokumen yang tidak diekspose antara lain, tentang perlindungan hak kekeayaan intelektual dari persaingan usaha tidak sehat, informasi yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan Negara, informasi yang dapat membuka potensi kekayaan Negara, informasi yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional. Selanjutnya, informasi yang dapat membahayakan hubungan luar negeri, bukti autentik pribadi, informasi proses penyelidikan serta pengungkapan kasus. Sementara LHP BPK menurutnya tidak termasuk informasi yang dilarang di sebarluaskan.

“ Informasi yang terkecuali dalam pasal 17 dan 18 UU tadi semuanya wajib dibuka. UU KIP ini juga berlaku bagi seluruh lembaga publik badan atau pemerintah, baik itu legislative, eksekutif dan yudikatif atau badan lainnya utamanya yang menggunakan pembiayaan uang Negara, baik APBD, APBN atau bantuan asing. Terhadap lembaga-lembaga ini diwajibkan membuka seluruh informasi yang berkenaan tugas kepada publik. Intinya, prinsip memperoleh informasi atau dokumen haruslah mudah dan sederhana. Namun semua pihak baik itu lembaga atau pribadi non pemerintah wajib memenuhi ketentuan administrative terlebih dahulu sebelum meminta sebuah data atau informasi publik. Misalnya melalui surat resmi, mencantumkan identitas pribadi atau badan hukum lembaga serta penjelasan mengenai tujuan penggunaan data yang diminta,” terangnya.

Agus juga mengatakan, sebenarnya Komisi Informasi Nasional (KIN) telah mendatangani MoU dengan Dewan Pers khusus Pers, permintaan seluruh dokumen informasi publik aksesnya dipermudah, hanya dengan menggunakan kapastitas Pers sebagaimana diatur UU Pers. Itu dilakukan guna mendukung prinsip tranparansi dan partisipasi masyarakat.

Sementara terkait persolan dengan BPK, Agus Martahariadi kembali menegaskan bahwa institusi manapun termasuk BPK wajib memiliki komitmen keterbukaan informasi. Apalagi itu menyangkut LHP yang seharusnya diketahui publik karena menyangkut hak-hak informasi dan pertanggung jawaban pengelolaan keuangan yang dibayar dari pajak rakyat.

“ Itu penting, karena bagian dari keikutsertaan masyarakat mewujudkan prinsip keadilan dan pemerataan. Jika institusi manapun tidak mentaati ini, itu melanggar dan menyalahi komitmen,” demikian, Ketua KIP NTB.(Kn-02)