Pada kisaran Juni 2011 hingga awal 2012, DPR telah melaksanakan serangkaian Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait revisi UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disingkat UU 8/1985). Pada kesempatan itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Berserikat menyampaikan masukan dan menuntut agar Pemerintah dan DPR mencabut UU Ormas dan mengembalikan pengaturan mengenai organisasi masyarakat kepada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum Yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota/non-membership organization) dan badan hukum Perkumpulan (untuk organisasi sosial dengan anggota/membership-based organization). Selain itu, Koalisi mendorong Pemerintah dan DPR tidak menyempitkan amanat UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul dengan memaksakan identitas bernama “Ormas”.

Namun sungguh sayang, berbagai masukan tersebut dan kesempatan merevisi UU 8/1985 tidak dijadikan peluang oleh Pemerintah dan DPR untuk meluruskan kesalahan dan kerancuan pengaturan yang telah berlangsung selama 27 tahun ini. Dengan alasan Indonesia memerlukan “aturan hukum baru” untuk menindak kekerasan oleh kelompok, membubarkan organisasi pelaku kekerasan, mendorong transparansi dan akuntabilitas, dan mencegah pencucian uang serta tindakan terorisme, pembahasan RUU Ormas terus bergulir dan hingga saat ini dilakukan di tingkat Panitia Kerja (Panja).

Dari analisis substansi RUU Ormas, kita tidak akan menemukan semangat pembaruan dalam iklim demokrasi yang memandang sektor masyarakat sipil sebagai sektor lain yang harus dikuatkan karena perannya dalam tata pemerintahan dan pembangunan. Kita masih akan dihadapkan kepada upaya memperkuat kontrol negara terhadap organisasi masyarakat, yang merupakan persoalan utama dari UU 8/1985.

Pada kesempatan ini, kami dari Koalisi Kemerdekaan Berserikat dan Berekspresi (KKBB) bersama dengan para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan akademisi ingin terus menegaskan urgensi untuk segera menghentikan pembahasan RUU Ormas dan menggantinya dengan UU Perkumpulan, serta mencabut UU 8/1985. Kami memandang bahwa keberadaan UU Ormas akan terus menjadi ancaman bagi kebebasan berserikat dan berkumpul di Indonesia. Undang-Undang yang didesain sebagai alat Orde Baru dalam mengendalikan dinamika kehidupan masyarakat sipil, berpotensi digunakan oleh kekuatan anti-perubahan untuk melakukan perlawanan balik terhadap pencapaian demokrasi Indonesia.

Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah dan DPR untuk:

  1. 1.       Mencabut UU Ormas dan mengembalikan pengaturan mengenai organisasi masyarakat kepada kerangka hukum yang benar, yaitu adan hukum Yayasan dan Perkumpulan; dan
  1. 2.       Menghentikan pembahasan RUU Ormas dan mendorong pembahasan RUU Perkumpulan yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014. Berbagai pengaturan terkait organisasi berdasarkan keanggotaan (membership-based organization) akan diatur dalam UU Perkumpulan. Rancangan Undang-Undang Perkumpulan secara hukum lebih punya dasar, namun malah tergeser dengan RUU Ormas yang salah arah.

 

Jakarta, 2 November 2012

Koalisi Kemerdekaan Berserikat dan Berekspresi

 

  1. Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (YAPPIKA)
  2. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
  3. The Wahid Institute
  4. Imparsial
  5. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  6. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
  7. Indonesia Parliamentary Center (IPC)
  8.  Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  9. Kelompok Peduli Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (Keppak Perempuan)
  10. Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI)
  11. Yayasan Bina Desa
  12. Indonesia Corruption Watch (ICW)
  13. Human Rights Working Group (HRWG)
  14. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS)
  15. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
  16. Arus Pelangi
  17. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  18. Perempuan AMAN
  19. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
  20. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta
  21. Media Lintas Komunitas (MediaLink)
  22. Yayasan 28
  23. Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP)
  24. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  25. Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media)
  26. Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI)
  27. Lembaga Bantuan Hukum (LBH ) Pers Jakarta
  28. RemoTV
  29. Yayasan Ladang Media
  30. Aliansi Wartawan Radio Indonesia
  31. Masyarakat Cipta Media
  32. Perkumpulan Prakarsa

 

Tokoh-tokoh Pendukung

  1. Romo Benny (KWI)
  2. Bambang Harymurti (Tempo)
  3. Agus Sudibyo (Dewan Pers)
  4. Hendardi (Setara Institute)
  5. Suhadi (Walubi)
  6. Usman Hamid (Kontras)
  7. Nurkholis Hidayat (mantan Direktur LBH Jakarta)
  8. Choirul Anam (Human Right Working Group-HRWG)
  9. Nursjahbani Katjasungkana (LBH APIK)
    1. Refly Harun (Direktur Eksekutif Constitutional & Electoral Reform Centre – CORRECT)
    2.  Zainal Arifin Mochtar (Dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi/PUKAT Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada)
    3. Marwan Mas (Dosen Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar)
    4. Airlangga Pribadi (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga).

 


 

6 (ENAM) PASAL PENTING MENGAPA RUU ORMAS HARUS DITOLAK

Dipersiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB)

 

 

 

  1. 1.     Definisi Ormas yang sapu jagad (Pasal 1). Definisi Ormas ini mencakup semua bentuk organisasi dalam semua bidang kegiatan, mulai dari agama, kepercayaan kepada Tuhan YME, hukum, sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, sumber daya manusia, pemberdayaan perempuan, lingkungan hidup dan sumber daya alam, kepemudaan, olah raga, profesi, hobi, hingga seni dan budaya, serta bidang kegiatan lainnya (Pasal 7).

 

Pada draf awal, rincian bidang kegiatan hingga “seni dan budaya”. Hasil kesepakatan rapat Panja, ditambahkan dengan kategori “bidang kegiatan lainnya”, yaitu bidang kegiatan yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ruang lingkup yang luas ini berpotensi menjadi pasal “karet” bagi organisasi dengan isu tertentu, misalnya LGBT, kelompok-kelompok aliran kepercayaan, kelompok masyarakat yang dianggap beraliran “kanan” atau “kiri”, atau yang kritis terhadap pemerintah, atau kelompok masyarakat yang dianggap sebagai “agen asing”.


 

  1. 2.     Asas Pancasila yang dipaksakan (Pasal 2). Semua ormas wajib mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi. Pada 1987, pemaksaan azas ini membuat Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam membubarkan Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM), dan juga berbagai organisasi lain dengan alasan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).

 

  1. 3.     Ketentuan tentang pendirian Ormas berimplikasi menyempitkan amanat UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul menjadi hanya berbentuk “Ormas” (Pasal 8). Organisasi berbadan hukum Yayasan dan Perkumpulan, maupun organisasi yang tidak berbadan hukum, semua wajib daftar sebagai Ormas dan memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kementerian Dalam Negeri (Pasal 16), yang dapat diperpanjang, dibekukan, dan dicabut.

 

Proses birokratisasi juga akan dihadapi oleh, 2 atau 3 orang yang ingin berkumpul karena kesamaan hobi, seni, olah raga, dll. Mereka harus memiliki akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris, AD/ART, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan sebelum “diakui” keberadaannya oleh negara dalam bentuk SKT (Pasal 16).

 

Ketentuan ini semakin mengkonfirmasi adanya tendensi menghadirkan dan memaksakan identitas baru, selain bentuk yang sudah ada yaitu yayasan dan perkumpulan. Pada akhirnya setiap badan hukum dipaksa untuk beridentitas ormas. Adapun alternatif rumusan yang disediakan, cenderung mengabaikan bahkan tidak mengakui perkumpulan berbadan hukum (hanya memasukkan jenis badan hukum yayasan).


 

  1. 4.     Kewajiban melaporkan dan mendapat persetujuan pemerintah untuk sumbangan dana dari sumber mana pun (Pasal 34, ayat (2)). Apabila organisasi akan mendapatkan sumber pendanaan (dari sumber apa pun), terlebih dahulu harus melaporkan atau mendapatkan persetujuan pemerintah. Ini berlaku bagi seluruh organisasi. Dengan demikian, bisa mendapatkan dana atau tidak tergantung dari keputusan pemerintah. Dalam keadaan aparat yang korup, ini bisa menjadi peluang korupsi baru, seperti proyek tender program pemerintah. Kemungkinan hanya organisasi yang sejalan dengan pemerintah yang bisa mendapatkan persetujuan pendanaan, atau sumber pendanaan diarahkan ke program-program pemerintah.

 

  1. 5.     Pasal larangan yang multitafsir (Pasal 54). Organisasi anti korupsi yang sedang menyuarakan upaya penindakan terhadap pejabat atau pemimpin formal yang korup bisa saja dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Organisasi yang mengkampanyekan perlawanan pelanggaran HAM berat kepada dunia internasional, bisa saja dianggap sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Organisasi yang menerima dana asing, misalnya dari lembaga kerjasama internasional, badan PBB, funding agency, secara kelembagaan atau perorangan, bisa saja dilarang karena dianggap sebagai kaki tangan asing dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

 

Organisasi sosial keagamaan akan dilarang untuk menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Hal ini berpotensi menyulitkan organisasi sosial keagamaan yang biasa menerima donasi tanpa identitas jelas. Berbagai organisasi tersebut sangat mungkin menjadi organisasi terlarang karena melakukan kegiatan yang dilarang.


 

  1. 6.     Sanksi bagi Ormas, mulai dari teguran hingga pembekuan, pembubaran, pidana kurungan paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 5 milyar (Pasal 54-63). Beberapa bentuk pelanggaran yang akan dikenakan sanksi misalnya tidak mendaftar dan memiliki SKT, tidak melaporkan perkembangan dan aktivitas organisasi, atau menggunakan nama, bendera, simbol “menyerupai” organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang. Ancaman sanksi ini jelas merupakan instrumen rezim otoriter untuk merepresi pertumbuhan organisasi masyarakat sipil sebagai counter balance pemerintah.

 

Apa yang dapat Anda lakukan?

 

Sampaikan penolakan Anda terhadap pengesahan RUU Ormas kepada DPR RI melalui:

 

www.change.org/BatalkanRUUOrmas