Keterbukaan Anggaran Provinsi, Rendah

Keterbukaan Anggaran Provinsi, Rendah

Keterbukaan informasi anggaran di level pemerintah provinsi tampaknya masih perlu ditingkatkan lagi. Laporan hasil riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (SEKNAS FITRA) yang diluncurkan Rabu (13/3/2013) menunjukkan bahwa tingkat keterbukaan informasi anggaran pemerintah provinsi rata-rata hanya sekitar 40 persen, dengan nilai tertinggi 72 persen dan nilai terendah 15 persen.

Pemerintah provinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, dan Papua Barat berada di posisi 15 persen. Sedangkan posisi Nusa Tenggara Timur berada pada tingkat yang lebih tinggi yakni 42 persen.

Riset ini sendiri berbasis pada publikasi informasi anggaran melalui website lembaga. SEKNAS FITRA mengukur tingkat keterbukaan anggaran dengan melihat ketersediaan informasi anggaran berupa Laporan Keuangan, Perda APBD, Belanja Jenis dan Organisasi, serta informasi lelang pengadaan barang dan jasa selama periode 2011-2012 di website tiap-tiap pemerintahan provinsi di seluruh Indonesia.

Temuan lain menunjukkan bahwa pemerintah provinsi pada umumnya telah menyediakan kanal khusus untuk informasi anggaran seperti “transparansi anggaran” atau sejenisnya, namun banyak yang kosong. “Desain arsitektur website menyulitkan untuk mendapatkan informasi anggaran,” demikian antara lain SEKNAS FITRA dalam laporannya.

Kelurahan Minus KIP, Rawan Korupsi APBD

Kelurahan Minus KIP, Rawan Korupsi APBD

Anggaran Pembangunan Dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta sangat rawan di korupsi di tingkat kelurahan. Sebagaimana diberitakan Berdikari Online (BO), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Taufiqurrahman, mengatakan bahwa sebanyak 267 kelurahan di DKI Jakarta menerima dana penguatan masing-masing Rp3 milyar per tahun. Dana itu tidak pernah jelas penggunaannya.

Seharusnya, kata Taufik, dana tersebut dipergunakan untuk kebersihan, keamanan, dan kesehatan rakyat di masing-masing kelurahan. Tetapi, faktanya, warga masih sering dikenai pungutan kebersihan dan keamanan. “Biasanya anggaran penguatan ini tidak turun ke bawah. Biasanya yang turun cuma dana operasional RW, RT, dan LMK (Lembaga Masyarakat Kelurahan),” ungkap Taufik.

Menurut Taufik, banyak pengurus RW dan RT tidak mengetahui perihal dana penguatan itu. Sebab, pihak pemerintah memang jarang melakukan sosialisasi dan juga tidak memassalkan data soal APBD DKI Jakarta itu.

Taufik mengajak warga DKI untuk mengontrol dana tersebut. “Ini duit rakyat dan memang diperuntukkan kepada rakyat. Jangan biarkan dikorup oleh birokrasi yang bermental kolonial itu,” tegasnya.

Berikut salah satu tanggapan masyarakat di ukp.go.id: “Selamat siang pak. Mohon tinjauan dan tindak lanjutnya terhadap Lembaga Musyawarah Kelurahan, warga menduga banyak yang korupsi karena Lembaga Musyawarah Kelurahan tidak transparan kepada warga. Terutama kel. menteng. Terima kasih,” Kemungkinan besar, keluhan seperti ini juga dirasakan warga lainnya.

Kebijakan ini bermula dari Peraturan Guburnur DKI Jakarta nomor 46 tahun 2006 tentang pelimpahan sebagian wewenang dari dinas teknis kepada kecamatan dan kelurahan. Ada tiga kewenangan yang dilimpahkan, yaitu kebersihan, kesehatan, dan keamanan dan ketertiban.

Ide di balik kebijakan gubernur itu adalah memangkas birokratisme. Dengan demikian, rakyat diharapkan lebih gampang mengakses layanan di bidang ketenteraman dan ketertiban, pekerjaan umum jalan dan air, pertamanan, kebersihan, perumahan, olahraga, serta kepemudaan.

Sebenarnya, peluang  korupsi ini bisa diminimalisir jika kantor kelurahan sebagai badan publik tunduk pada UU KIP. UU tersebut mewajibkan badan publik untuk mempublikasikan rencana kegiatan dan penggunaan anggarannya secara berkala.

Satu Kecamatan dan Kelurahan Dapat 3 Milyar

Daftar Kelurahan di DKI Jakarta

Gaji Staf Kelurahan di DKI Minimal Rp 7 Juta