Kebocoran Data Verifikasi; Pentingnya Klasifikasi Informasi

Kebocoran Data Verifikasi; Pentingnya Klasifikasi Informasi

Munculnya kontroversi kebocoran data verifikasi faktual yang dibawa oleh Ketua Umum Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) Daniel Hutapea dalam sidang lanjutan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai teradu menjadi pembelajaran penting bagi KPU. Sudah saatnya KPU memiliki sistem informasi dan dokumentasi sesuai dengan UU No 14 Tahun 2008 Tentang Informasi Publik (UU KIP).

Data yang bocor ke publik itu terkait data verifikasi administrasi partai politik, permohonan pengundangan PKPU yang terlambat, dan nota kesepahaman antara KPU dan International Foundation For Electoral System (IFES). Data tersebut berupa surat resmi KPU kepada Menteri Hukum dan HAM Nomor 1151/SJ/X/2012 perihal permohonan pengundangan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Pendaftaran dan Verifikasi Parpol dan PKPU Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Kedua PKPU tersebut dalam salinan yang dimiliki KPU diundangkan tanggal 25 Oktober namun baru dimohonkan pengundangannya ke Menkumham tanggal 31 Oktober 2012. Padahal PKPU tersebut menjadi landasan penetapan parpol lolos verifikasi administrasi. Data lain terkait data partai yang seharusnya tidak lolos verifikasi administrasi. Data terakhir adalah terkait Nota Kesepahaman antara KPU dengan IFES nomor 11/KB/KPU/Tahun 2012 tentang program bantuan teknis bagi penyelenggara pemilu nasional 2014.

Pada prinsipnya, mengacu pada UU KIP semua informasi bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik. Dilihat dari subtansinya, data atau informasi yang ‘bocor’ tersebut bisa dikategorikan informasi publik yaitu informasi yang wajib disediakan dan diumumkan karena merupakan informasi yang berkaitan dengan badan publik serta informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 9 ayat (2) UU KIP.

Badan publik memang berhak menentukan apakah suatu informasi merupakan informasi publik atau bukan melalui uji konsekuensi. Pasal 19 UU KIP memberikan kewenangan kepada Pejabat Pengelelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melakukan uji konsekuensi sebelum menyatakan suatu informasi bukan termasuk informasi publik atau informasi yang dikecualikan. Akan tetapi, faktanya kita melihat KPU justru membantah data tersebut dengan mengatakan bahwa data tersebut tidak valid dan kemudian berbagai pihak menganggap data tersebut bocor. Logika yang dibangun oleh KPU dengan membantah data tersebut yang kemudian tidak selaras dengan logika UU KIP. Sedari awal sebenarnya KPU bisa saja menyatakan bahwa informasi tersebut merupakan informasi yang dikecualikan melalui uji konsekuensi.

Pembenahan dalam pengelolaan informasi

KPU mengaku akan mengoreksi dan melakukan pembenahan ke dalam atas terjadinya kasus ini. Sebagai bahan koreksi, komisioner KPU meminta kesekjenan untuk mengumpulkan seluruh biro dan memberitahukan pola kerja berdasar Standard Operational Procedure (SOP) yang digariskan sesuai peraturan. Yang menjadi pertanyaan SOP apa yang kemudian akan diterapkan oleh KPU agar kasus ini tidak terulang.

Sampai saat ini, KPU belum memiliki peraturan mengenai keterbukaan informasi publik. Padahal ini menjadi dasar hukum penting dalam mengelola informasi dan dokomentasi yang dimiliki KPU. Lebih lanjut, KPU berserta seluruh jajarannya sampai tingkat Kabupaten/Kota harus memiliki daftar data dan informasi yang dikuasainya. Kemudian mengklasifikasi jenis informasi seperti yang diatur dalam UU KIP. Dengan demikian KPU memiliki landasan yang kuat dalam menentukan suatu informasi apakah termasuk informasi yang dikecualikan atau tidak. Sehingga kedepan apabila terjadi kasus yang sama, pelaku bisa ditindak dengan tegas kerena telah menyalahgunakan informasi.

Sebenarnya KPU sudah menerbitkan Surat Edaran (SE) No. 688/KPU/XII/2012 mengenai pengumpulan data dan informasi. SE tersebut menghimbau kepada seluruh KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk segera mengumpulkan dan mengidentifikasi data dan informasi yang dikuasai oleh masing-masing satuan kerja. Akan tetapi, sampai saat ini tindak lanjut atas SE ini belum jelas. Setidaknya terlihat dari kasus ‘bocornya’ data KPU.

Atas terjadinya kasus ini, KPU diuji serius dalam hal profesionalitas kerja terutama dalam pengelolaan informasi dan dokumentasi. Keterbukaan informasi sudah seharusnya menjadi agenda utama KPU disamping aspek penyelenggaraan pemilu. Tanpa keterbukaan informasi pemilu yang jujur dan adil akan sulit tercapai.[]