Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia menyebutkan, banyak perusahaan di sektor minyak dan gas bumi (migas) serta pertambangan mineral dan batubara yang beroperasi di Indonesia, tidak melengkapi pelaporan kepada lembaga EITI.

Extractive Industry Revenue Specialist EITI, Ambarsari Dwi Cahyani mengungkapkan, perusahaan-perusahaan yang tidak melengkapi laporan ke EITI berpotensi dapat menurunkan iklim investasi yang buruk di mata dunia internasional. Dia menambahkan, juga terjadi perbedaan pelaporan keuangan kepada negara dari perusahaan tambang yang ada di Indonesia. Perbedaan terjadi pada ketidaklengkapan atas pelaporan partisipan dari pelaku usaha industri migas.

“Banyak pelaku usaha di sektor migas yang tidak dapat melaporkan dengan ketetapan batas waktu yang ditetapkan,” kata Ambarsari di gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (4/6).

Ambarsari menjelaskan, laporan keuangan dari perusahaan migas dalam laporan catatan penerimaan negara dari sektor migas dan pertambangan untuk pajak dan bukan-pajak untuk tahun kalender 2009, yaitu sebesar Rp 251,7 triliun.

Laporan EITI Indonesia menunjukkan, perusahaan-perusahaan pertambangan mineral (emas, tembaga, nikel, timah dan bauksit) ini memberikan kontribusi sebesar Rp 12,5 trilyun pajak penghasilan dan Rp 12,5 triliun royalti.

“Sementara perusahaan-perusahaan pertambangan batubara dalam laporan ini memberikan kontribusi sekitar Rp 10,4 triliun pajak penghasilan dan Rp 13,5 triliun royalti,” tutur Ambarsari.

Perlu diketahui, EITI adalah lembaga yang mempunyai kewenangan memonitoring untuk transparansi penerimaan dan pendapatan hasil tambang. Serta lembaga tersebut ditunjuk berdasarkan Peraturan Presiden No.26 tahun 2010 terkait transparansi pendapatan negara dan pendapatan daerah yang diperoleh dari industri migas. Dan terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat sipil serta diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian.

Sumber: Jaring News