Desa Melung adalah desa di Selatan Gunung Slamet, masuk dalam wilayah kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Selain bergiat untuk menjadikan Desa Agrowisata dan Ekowisata, Desa Pendidikan dan Laboratorium Alam, Desa ini juga berupaya membangun prinsip-prinsip akuntabilitas dengan kearifan lokal dan implementasi UU KIP.

Pada Juni 2013 lalu, Desa Melung memiliki seorang Kepala Desa Baru. Pak Khoeruddin, begitu warga memanggil namanya. Pria 41 tahun ini merupakan alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman. Sebelumnya, Desa Melung dipimpin oleh seorang Kepala Desa, Pak Agung Budi Satrio.

Apa saja kisah sukses yang dilakukan perangkat Desa Melung untuk mendorong keterbukaan dan partisipasi warga, berikut wawancara tim redaksi kebebasaninformasi.org dengan Kepala Desa Melung, Bpk. Khoeruddin.

Apa saja yang dilakukan untuk membuka wawasan warga tentang pentingnya pengetahuan dan informasi?

Desa kami ini, dulunya adalah desa tertinggal. Selama dua periode kepemimpinan Kepala Desa sebelumnya, banyak hal yang kami benahi. Jadi, saya melanjutkan apa yang telah beliau rintis.

Supaya warga di sini, melek informasi, desa kami berlangganan koran. Karena jauh, ya harus bayar tukang ojek. Setelah jaringan telepon masuk kami memasang speedy. Dengan itu, kami bisa membangun jaringan dengan desa-desa lain, termasuk dengan desa-desa yang tergabung dalam ada Gerakan Desa Membangun.

Saat ini, kami membuat tujuh titik akses hotspot internet. Warga menggunakannya untuk mencari informasi tentang pertanian, peternakan, harga komoditas, dan kepentingan anak-anak sekolah. Ya, beragamlah.

Tantangannya, bagaimana mengajarkan warga untuk menggunakan komputer dan internet. “Kami kan terbiasanya megang arit,” kata mereka. Ya, saya bilang, “Megang arit kan siang-siang, nah kalau malam kita belajar megang mouse, hahaha..” Secara perlahan, mereka akan terbiasa.

Bagaimana cara Anda menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan kepada  warga?

Ada beberapa cara yang dilakukan, antara lain:

Pertama, Selapangan (pertemuan bersama warga, red), setiap 40 hari, bersama RW, RT, perangkat desa, dewan desa, dan warga. Kami memili 4 RW dan 17 RT. Total jumlah penduduk, sekitar 2.240 lebih. Selapangan ini biasanya dihadiri kurang lebih 100-an orang. Tergantung kesibukan warga juga.

Kedua, rapat di RT masing-masing, yang dihadiri oleh warga di RT tersebut.

Ketiga, kami memiliki website melung.desa.id. Di web itu, berbagai informasi tentang desa kami sampaikan. Antara lain, program-program desa dan laporan keuangannya. (Saat ini desa melung juga memiliki aplikasi android: melung APK, red). Ada tim yang ngurus itu.

Keempat, kami telah membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), sebagaimana di Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Sejak kapan mengenal Undang-Undang KIP?

Saya dulu perangkat desa, waktu Kepala Desanya pak Budi (Agung Budi Satrio). Beliau menjabat dua periode 2002-2007, kemudian 2007-2013. Saat menjabat sebagai perangkat desa, saya sudah mengenal UU KIP, melalui gerakan membangun desa.

Apa dampak dari keterbukaan ini?

Apa yang kami lakukan ini masih berproses, dampak secara finansial (pemasukan terhadap anggaran desa, red) belumlah. Secara pribadi, warga akan tetu akan mendapat manfaat jika desa ini dikenal, bukan saja keterbukaannya dalam pemerintahan, tetapi juga dikenal karena komoditas unggulan desa. Yang pasti, dengan keterbukaan partisipasi warga meningkat, infrastruktur desa semakin baik. Misalnya, terakhir kami itu rapat tentang program PNPM, dihadiri 45 orang. Ada beberapa pembangunan yang diupayakan.

Apa saja?

Untuk PNPM ini, secara fisik antara lain pembangunan TK Pertiwi dan irigasi untuk RT I. Secara nonfisik, pengadaan simpan-pinjam perempuan.

 

Apa harapan Anda ke depan?

Sekali lagi ini proses. Desa kami memang terpencil, tetapi harapannya tidak ketinggalan informasi dan pengetahuan. Prinsipnya, semua upaya ini untuk membentuk pelayanan publik yang prima, akuntabel, dan dapat dipercaya. Desa-desa lain, mudah-mudahan juga bisa melakukan hal yang sama.