Model Advokasi Telah Berubah
Rezim Orde Baru tidak menganut suksesi kepemimpinan politik melalui pemilihan, kecuali untuk tingkat pemerintahan terendah (desa), tapi tidak pada wilayah-wilayah urban yang dikenal dengan kelurahan. Situasi ini tak berbeda dengan apa yang diterapkan Cina pada akhir 1980an (Jun, 2012: 81).[1] Untuk menghindari terjadinya konsentrasi kekuatan (concentration of power) politik di luar jalur penguasa, Orde Baru menerapkan politik masa mengambang.
Praktik pengambilan keputusan publik yang terbuka, atau yang dikenal dengan partisipasi, pada era sebelum reformasi cenderung terbatas pada tingkat pemerintahan terendah. Beberapa organisasi masyarakat sipil banyak melakukan pendampingan untuk menerapkan pengambilan keputusan yang lebih inklusif di tingkat komunitas. Program-program pemerintah maupun yang didanai oleh donor banyak menerapkannya melalui pendekatan pembangunan berbasis masyarakat (community based development).
Inisiatif penguatan oleh organisasi masyarakat sipil di tingkat desa ini tentunya tidak akan memiliki dampak yang meluas mengingat daya jangkau dan sumber daya yang mereka perlukan menjadi terlalu besar dibandingkan jika ruang partisipasi dibuka pada tingkat pengambilan keputusan yang lebih tinggi. Secara politis hal ini masih dapat ditoleransi oleh pemerintahan Suharto karena peluang untuk terjadinya konsentrasi kekuatan politik menjadi sangat minim.
Sebagian organisasi masyarakat sipil memilih pendekatan politik yang lebih nyata melalui pengorganisasian untuk meningkatkan kesadaran kritis dan posisi tawar rakyat. Paraktik ini biasanya tersebar pada wilayah-wilayah dimana konflik struktural menjelma (manifested). Inisiatif tersebut biasanya berfokus pada beberapa hal berikut: penguasaan sumber daya yang lebih adil, penyelamatan lingkungan hidup yang terus mengalami kerusakan bersamaan dengan menguatnya posisi sektor privat di tengah rezim politik tertutup, perlindungan HAM dan akses terhadap keadilan. Kelompok ini biasanya memiliki orientasi yang lebih kuat dalam upaya-upaya kritik perubahan kebijakan, meski sangat sulit di era itu.
Bersamaan dengan runtuhnya kepemimpinan Suharto (reformasi 1998), tuntutan akan pemerintah yang lebih terbuka menjadi salah satu agenda utama di kalangan masyarakat sipil Indonesia. Upaya untuk mendorong transparansi, memperluas ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan menciptakan penyelenggaraan negara yang akuntabel merupakan bagian dari isu dominan yang mewarnai wacana publik di era awal reformasi.
Untuk menjamin transparansi, sejumlah organisasi masyarakat sipil berinisiatif mengusulkan rancangan undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP). ICEL merancang naskah awal untuk dibahas bersama dalm koalisi dan kemudian diusulkan ke DPR. Delapan tahun kemudian inisiatif ini menghasilkan apa yang dikenal sebagai UU KIP. Sebagai produk reformasi, tidak mengherankan jika Undang-Undang ini memiliki tujuan yang lebih jauh dari sekedar transparansi di Badan Publik, yakni mendorong partisipasi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara.
Dalam isu partisipasi, YAPPIKA berupaya memasukkan hak warga negara untuk terlibat dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Upaya ini telah mempengaruhi satu ketentuan dalam Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (TCP3). Untuk regulasi yang mengatur tentang ruang partisipasi warga, beberapa organisasi masyarakat sipil telah pula mendorong lahirnya beberapa inisiatif pembentukan beberapa peraturan di bawah undang-undang. Beberapa regulasi tersebut bertujuan untuk menjamin partisipasi warga berdasarkan konteks dan wilayah pengambilan keputusan pada isu-isu tertentu.
Pola advokasi mulai berkembang kepada skema-skema kolaboratif. Secara alamiah pendekatan terdiferensiasi paling tidak menjadi dua pola. Pola pertama tetap meneruskan skema face to face dan pemanfaatan media untuk public pressure. Pola kedua memasuki ruang-ruang advisory dan tak jarang berupa technical assistant kepada penyelenggara negara. Pemanfaatan media dalam pola-pola kolaboratif biasanya ditandai dengan warna yang lebih promotif ketimbang pressure. Masyarakat sipil mulai memasuki kerja-kerja teknokratik.
Pendekatan kolaborasi berkembang baik pada wilayah-wilayah dimana ditemukan aktor-aktor di lembaga pemerintah yang masuk kategori reformis. Pendekatan ini semakin menguat ketika aktor-aktor reformis tersebut memegang kepemimpinan politik tertinggi di lembaga pemerintah. Kenyataan tersebut menunjukkan pentingnya peran kepemimpinan reformis dalam menerapkan Open Government.
Akuntabilitas Fiskal
Isu akuntabilitas anggaran telah mempertemukan dua nilai utama yang mendasari akuntabilitas: transparansi dan partisipasi. Melalui jaringan kerjanya Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) banyak mendorong pembentukan regulasi dan penyebarluasan praktik-praktik pengambilan keputusan publik partisipatif. Termasuk diantaranya penerbitan panduan-panduan untuk pengelolaan forum perencanaan dan penganggaran di daerah yang dikenal dengan Musrenbang. Jaringan kerja FPPM aktif memperkenalkan proses-proses perencanaan dan penganggaran partisipatif.
Bersamaan dengan diberlakukannya UU KIP, FITRA melakukan serangkaian uji akses terhadap dokumen anggaran untuk melihat efektifitas UU KIP. Informasi yang diminta adalah dokumen DIPA dan RKA-KL. Banyak kementerian dan lembaga pemerintah lainnya masih menolak memberikan. Kementerian Kominfo yang menjadi leading sector dalam pelaksanaan UU KIP di kabinet memberikan dokumen tersebut dalam versi lengkap berupa electronic file. Terjadi perdebatan di antara Kementerian dan Lembaga Pemerintah lainnya: apakah dokumen tersebut seharusnya terbuka? Jika terbuka, sedalam apa informasi yang harus diberikan?
Komisi Informasi Pusat menyelesaikan satu sengketa terkait permintaan dokumen DIPA dan RKA-KL dengan memutuskannya sebagai dokumen terbuka. Untuk mempercepat proses internalisasi di Badan Publik, Komisi Informasi Pusat kemudian menerbitkan surat edaran tentang status dokumen tersebut. Surat Edaran ini dalam beberapa hal telah dinilai memberikan kepastian bagi para pengelola informasi di badan Publik dan mempermudah mereka untuk meyakinkan atasan tentang status dokumen anggaran.
FITRA mengumumkan peringkat Badan Publik berdasarkan hasil uji akses. Dalam memperingati ‘Hari Hak Untuk Tahu’, Komisi Informasi Pusat juga mengumumkan tingkat kepatuhan Badan Publik dalam menjalankan UU KIP. Dua hal ini telah memacu Badan Publik untuk melengkapi publikasi proaktif mereka, termasuk didalamnya mengenai dokumen anggaran dan laporan keuangan kendati mereka belum menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sebagaimana diperintahkan oleh UU KIP. Pada tahun 2012, survei IBP menunjukkan bahwa Indonesia memiliki open budget index tertinggi di ASEAN.
Dalam hal akuntabilitas keuangan negara, IBC dan relasinya thd BAKN
Akuntabilitas di Sektor Ekstraktif
Di sektor industri ekstraktif koalisi NGO yang dikenal dengan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, telah mendorong lahirnya Peraturan Presiden mengenai Transparansi Penerimaan Negara di Sektor Industri Ekstraktif Migas, Pertambangan Mineral dan Batubara, yang merupakan pelaksanaan standar global Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Mekanisme EITI mensyaratkan adanya penyampaian laporan pembayaran dan penerimaan pendapatan negara oleh entitas perusahaan dan pemerintah, untuk direkonsiliasi oleh auditor independen, dan kemudian dipublikasikan kepada masyarakat. Pelaksanaan EITI di Indonesia dikomando oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian RI.
Koalisi PWYP Indonesia telah melakukan pemilihan tiga orang wakil masyarakat sipil untuk duduk dalam Tim Multipihak bersama wakil Pemerintah, Perusahaan dan Pemerintah Daerah. Sebagaimana ketentuan dalam Perpres, Tim Multipihak ini memiliki kewenangan untuk memutuskan tahun fiskal pelaporan, ruang lingkup dan materialitas pelaporan, entitas perusahaan dan pemerintah yang wajib membuat laporan, format laporan, hingga metode publikasi dan strategi-strategi pencapaian lainnya dalam pencapaian standar patuh (compliant) dari pelaksanaan EITI. Keterlibatan (engagement) masyarakat sipil di sini hingga pada pengambilan keputusan tripartit: Pemerintah-Perusahaan-Masyarakat Sipil.
Laporan EITI Pertama telah dipublikasi pada triwulan pertama 2013. Masyarakat sipil menggunakan laporan tersebut untuk menyesuaikan dengan konteks dan kepentingan audiens di daerah-daerah kaya sumberdaya ekstraktif. Laporan juga digunakan untuk mengidentifikasi potensi kebocoran dari aliran penerimaan sektor ekstraktif pada pertambangan migas, nikel, bauksit, emas dan tembaga, serta mengkomunikasikan data-data laporan EITI kepada komunitas di tingkat akar rumput.
Saat ini, pelaporan tahapan kedua EITI Indonesia sedang berlangsung. Entitas perusahaan semakin bertambah, begitu juga jenis pelaporan. Sebagian mencakup pembayaran di sektor kehutanan, serta telah mulai meluas ketingkat daerah melalui piloting di beberapa daerah penghasil industri ekstraktif.
Pada tingkat lokal, PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) telah menginisiasi dan memfasilitasi pembentukan Peraturan Daerah tentang transparansi pengelolaan pendapatan pemerintah daerah dari usaha migas di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur pada tahun 2012. Regulasi ini memberikan kesempatan warga masyarakat mengetahui kemana aliran dana dari pendapatan pemerintah daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif dan sekaligus terlibat dalam pengelolaan dana tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/ CSR) perusahaan migas di kabupaten tersebut
Akuntabilitas Pelayanan Publik
Lebih dari empat tahun Koalisi Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) mengawal perumusan UU Pelayanan Publik. Beberapa hal penting berhasil dimasukkan ke dalam Undang Undang ini. Secara prinsipil koalisi telah berhasil memasukkan perspektif pemenuhan hak-hak dasar dalam pelayanan publik, bukan hanya pada perspektif administratif. Keterlibatan MP3 telah mewarnai pengaturan mengenai akses informasi dan pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik pada Udang-Undang ini.
Undang-Undang ini akhirnya mengatur: (i) penetapan Standar Layanan oleh unit layanan dengan melibatkan masyarakat (partisipatif) dan ada jaminan terhadap akses informasi dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik; (ii) maklumat pelayanan (semula diusulkan piagam warga), yang merupakan janji unit layanan kepada masyarakat untuk menyelengarakan pelayanan sesuai standar yang disepakati; (iii) pelayanan khusus kelompok rentan; (iv) kewajiban membuat mekanisme penanganan pengaduan internal yang terintegrasi secara nasional; (vi) mekanisme penyelesaian sengketa layanan melalui Ombudsman dan peneapan sanksi; (vii) menjamin pengawasan eksternal oleh masyarakat.[2]
Beberapa pegiat organisasi masyarakat sipil yang semula duduk dalam Komisi Ombudsman Nasional telah berinisiatif untuk mendorong terbentuknya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia (ORI). ORI, sebagaimana Komisi Informasi, adalah Lembaga negara penunjang (state auxiliary body) yang berperan untuk menangani pengaduan mal administrasi dalam penyelenggaraan negara, termasuk di dalamnya pelayanan publik.
Di tingkatan praktik, beberapa NGO mengembangkan model penilaian oleh warga. Satu diantaranya adalah melalui Citizen Report Card (CRC). Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) memperkenalkan pemanfaatan CRC sebagai metode warga untuk mengevaluasi pelayanan dasar di beberapa daerah. Beberapa pemerintah daerah kemudian menindaklanjuti hal ini dengan mengadopsi metode tersebut untuk menilai dan memperbaiki kinerja pelayanan publik.
Di Kabupaten Lebak, hasil dari CRC di bidang kesehatan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten dengan mengalokasikan anggaran secara reguler untuk menjawab kebutuhan masyarakat terkait kebutuhan bidan desa. Di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, hasil CRC ditindaklanjuti dengan menyusun Peraturan Daerah tentang Pendidikan dan Perda tentang Pelayanan Publik. Di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, melalui training pelaksanaan CRC kepada CSO lokal yang dilakukan PATTIRO, inisiatif ini kemudian diadopsi oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng dengan menjadikan CRC sebagai agenda tahunan dan dikembangkan dari awalnya hanya di sektor kesehatan, ke berbagai sektor lainnya, seperti pendidikan. Di Pekalongan, CRC diadopsi oleh Pemerintah Kabupaten untuk menilai kinerja pelayanan publik secara partisipatoris melalui apa yang disebut Community Based Monitoring Survey.
Lebih jauh inisiasi ini telah pula melahirkan beberapa institusi di tingkat warga yang disebut sebagai Community Center (CC). CC berfungsi sebagai pusat informasi warga terutama bagi masyarakat yang mengalami kesulitan untuk mengakses informasi; mendampingi warga dalam melakukan permintaan informasi atau komplain atas pelayanan pemerintah; menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan warga sekaligus melakukan advokasi untuk terjadinya perbaikan pelayanan publik, dan berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan. Di Kabupaten Lebak, pemerintah lokal telah mengadopsinya dan memperluas keberadaan CC ke seluruh kecamatan. Pemerintah Provinsi Banten memfasilitasi pembentukan Komisi Informasi Provinsi Banten setelah CC di Serang melakukan pengumpulan 3.000 tandatangan warga yang menuntut dibentuknya Komisi Informasi.
Di beberapa daerah PATTIRO mengembangkan SMS Gateway untuk memperoleh umpan balik dari warga pengguna air bersih kepada PDAM. SMS Gateway adalah aplikasi yang ditanam dalam sistem yang berbasis web. Fungsinya adalah untuk menyampaikan informasi, menerima SMS dari perangkat mobile dan merespon SMS yang disampaikan oleh masyarakat kepada PDAM. Melalui aplikasi ini, masyarakat konsumen PDAM dapat menyampaikan informasi terkait kondisi pelayanan air di lingkungannya. PDAM juga dapat merespon secara cepat informasi maupun keluhan yang disampaikan oleh masyarakat untuk kemudian ditindaklanjuti oleh petugasnya. Informasi yang dikumpulkan dari masyarakat ini menjadi bahan perencanaan pelayanan air bersih oleh PDAM.
Di dalam pelayanan perizinan, berbagai lembaga seperti B-Trust, PUPUK, PATTIRO dan berbagai program donor telah berhasil mendorong perubahan dari pelayanan konvensional menjadi terpadu yang telah dilakukan oleh beberapa daerah. Masing-masing unit pelayanan yang semula melaksanakan secara terpisah diintegrasikan menjadi satu pelayanan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendorong praktik ini menjadi kebijakan nasional. Kementerian Dalam Negeri akhirnya menerbitkan peraturan mengenai pelaksanaan hal serupa bagi semua daerah.
Untuk menjaga akuntabilitas dalam pelayanan administrasi ini, diterapkan surat penetapan retribusi dan pajak agar ada kepastian tarif dan pajak daerah termasuk kepastian penyetoran ke kas daerah. Untuk memantau jalannya prosedur digunakan ‘kartu kendali’ atau teknologi informasi dan komunikasi, termasuk di dalamnya penerapan mekanisme penanganan pengaduan.
Mendorong Integritas Penyelenggara Negara
Dalam hal integritas dan anti korupsi, beberapa organisasi masyarakat sipil mulai mendorong perbaikan internal institusi penegak hukum. ICEL dan … telah berhasil memberikan asistensi kepada MA melalui (….) Sebelum UU KIP diberlakukan, MA telah menerbitkan SK 104 tentang (….) SK ini kemudian diperbarui bersamaan dengan pemberlakukan UU KIP. Upaya serupa dilakukan di Kejaksaan agung untuk mendorong pelaksanaan keterbukaan informasi publik. Kegiatan ini telah melahirkan (….) Di Kepolisian RI, Kontras melakukan asistensi untuk mendorong keterbukaan informasi. Dalam laporannya Kontras memberikan catan sebagai berikut (…)
Selain secara rutin mengumumkan indeks persepsi korupsi, Transparansi Internasional Indonesia (TII) telah beberapa tahun mengembangkan pakta integritas, dan keterbukaan informasi di bidang pengadaan barang dan jasa. Di beberapa (lokasi …) upaya ini telah mencapai kemajuan berupa (…). Untuk memberikan ‘dukungan politik’ bagi kepemimpinan reformis, TII juga memberikan Bung Hatta Award. Salah satu penerima, Gamawan Fauzi, kini telah menduduki posisi sebagai Meneteri Dalam Negeri sipil pertama di Indonesia.
Berbeda dengan inisiatif yang menggunakan pendekatan kolaboratif tersebut, Indonesian Corruption Watch (ICW) cenderung terlihat menggunakan pendekatan advokasi yang lebih menekan. Hal tersebut lebih dikarenakan fungsi yang diambil memang merupakan pengawasan publik atas penyelenggaraan pemerintahan. Namun demikian jika skema advokasi dilihat secara menyeluruh, sesungguhnya ICW juga aktif melakukan kerja-kerja kolaboratif dengan Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK).
***
Perkembangan di atas menunjukkan fakta bahwa inisiatif untuk mendorong akuntabilitas melalui pemerintahan terbuka telah menjadi wilayah kerja yang meluas di kalangan masyarakat sipil pasca reformasi. Beberapa diantara mereka terlibat dalam pembentuakan koalisi berdasarkan isu tertentu. Tanpa mengabaikan inisiatif untuk membentuk koalisi oleh organisasi masyarakat sipil, dapat dilihat bahwa upaya mendorong pemerintahan yang lebih terbuka dan akuntabel telah berlangsung dengan skema yang terpisah-pisah, natural dan belum memiliki kerangka kolektif.
Inisiatif untuk memperkenalkan model Open Data juga belum dimulai, mengingat fokus advokasi masih mengarah pada area-area spesifik yang dapat dijadikan titik temu antara aktor-aktor reformis di organisasi pemerintah yang mulai membuka diri dan tuntutan masyarakat akan akuntabilitas dalam bentuk yang konkrit. Keberhasilan berbagai kolaborasi tersebut ke depan akan ditentukan oleh tiga hal: (i) kemampuan menemukan wilayah kolaborasi dimana resiko politik tetap dapat dikelola oleh aktor-aktor reformis di organisasi pemerintah; (ii) kemampuan mengembangkan bentuk-bentuk akuntabilitas yang memberikan manfaat nyata bagi warga; (iii) kemampuan organisasi masyarakat sipil untuk mempertahankan dan mengembangkan skema kolektif mereka.
Terlepas dari beberapa kelemahan di tingkat operasional, jaminan hukum untuk transparansi dan akuntabilitas telah cukup memadai di Indonesia. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengembangkan skema transparansi dan akuntabilitas yang mampu menjawab pada kepentingan publik secara langsung (public interest based transparency). Jika pola ini ditemukan, kemungkinan transparansi yang masih berfokus pada penyelenggaraan negara secara bertahap akan meluas ke wilayah korporasi.
[1] lihat Ma Jun, Accountability Without Elections dalam China3.0, ECFR, London, 2012: … at the end of the 1980s, free and competitive elections were introduced for the selection of heads of village committees in rural areas; recently, this practice has also been extended to the election of urban community committees. However, despite these reforms, neither village committees nor urban community committees are a part of the regime. At present, China’s leadership remains hesitant about introducing competitive elections at the upper level of government.
[2] MP3 juga aktif terlibat dalam perumusan beberapa aturan turunan seperti PP No.96/2012 tentang Pelaksanaan UU Pelayanan Publik dan Permen PAN No.36/2012 tentang Juknis Penyusunan Standar Pelayanan. Bahkan, untuk implementasi penyusunan standar pelayanan, MP3 bekerjasama dengan MenPAN & RB melakukan piloting di 6 Provinsi.