Selama ini, dorongan untuk transparansi partai politik (parpol), kebanyakan dilakukan melalui mekanisme UU. Setidaknya, saat ini melalui dua UU, yaitu UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Partai Politik. Tapi hasilnya tidak maksimal, tetap saja parpol ogah terbuka, terutama terkait anggaran, padahal uang itu dari APBN. Berikut wawancara kami tentang fenomena perilaku partai ini bersama Silih Agung Wasesa, penulis buku Political Branding & Public Relation.
.
Jika dunia bisnis, mengarah pada marketing 3.0 dimana misi dan nilai menjadi basis utama, sepertinya fenomena parpol justru sebaliknya. Apa komentar mas Silih dengan kondisi ini?
.
Sebetulnya antara dunia bisnis dan politik tidak jauh berbeda koq, basisnya adalah Corporate Governance. Di Indonesia, parpol masih menjadi semacam dewa yang tidak memiliki alat kontrol, sehingga mereka bisa semau mereka sendiri bertindak. Dunia bisnis kalau didiamkan juga akan seperti itu, mereka akan menjadi kartel atau mafia. Jadi, pengabaian publik terhadap partai menyebabkan mereka menikmati zona nyaman yang keliru itu. Dengan ketertutupan, apapun bisa terjadi. Jika perusahaan, menutup diri dari publik berarti kematian karena dari publiklah, kesinambungan mereka terjaga. Sementara di sebagian partai, rakyat hanya di awal, selanjutnya mereka menghidupi diri dari APBN dan yah, berbagai cara.
.
Kira-kira apa yang menyebabkan perilaku parpol seperti ini (tertutup). Padahal, bukankah transparansi itu modal untuk menumbuhkan trust publik dan menuai simpati. 

Basis parpol sekarang masih pada pengusaha besar dan penggunaan anggaran negara soalnya, sehingga mereka belum membutuhkan partisipasi publik. Trust publik pun belum menjadi prioritas utama, kecuali 5 tahun sekali. Ini mindset yang tak tepat di partai politik. Coba lihat, perusahaan komersil lebih cerdas menggaet dan merawat konsumen mereka. Sekarang banyak CEO yang turun, menyatu dalam kehidupan konsumen. Tujuannya bukan agar mereka jadi konsumen semata, tapi values driven. Nah, apakah partai-partai itu sudah punya values itu?

Jika dengan UU yang mereka buat sendiri pun tak ditaati, apa yang perlu dilakukan publik untuk mendorong keterbukaan parpol.

Sebetulnya kan negara kita basisnya adalah trias politika, dimana masing-masing memiliki tugas dan konsekuensinya masing-masing. Nah, paska reformasi, negara kita masih mencari bentuk nih. Sekarang legislatif dan parpol seolah masih menjadi raja. mereka yang menentukan presiden dan lembaga peradilan. Ini yang mesti dikembalikan fungsinya masing-masing.
.
Survei TII menyebutkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap parpol itu rendah. Nah, bagi parpol sendiri, apa yang perlu dilakukan?

Tidak ada yang perlu dilakukan oleh Parpol, toh mereka belum tergantung pada public trust. Ini harus kembali pada masing-masing pemegang trias politika tadi, mau kah mereka memperbaiki diri. Publik seharusnya semakin diberdayakan juga, sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan tandingan (bukan demo ya), yang menghambat keberadaan parpol. Seperti halnya konsumen yang memboikot tidak beli produk, maka ada saatnya publik memboikot parpol untuk tidak boleh berkegiatan di area mereka.

 

Keterangan Narasumber

Silih Agung Wasesa is an associate member of Association of American Political Consultant and also as member of International Public Relation Association. He is a development brand strategic (brand framework, brand diagnostic and brand communication), behavior modification expert with multi-faceted experience in corporate issue, public relations strategic and also consumer behavior.

Silih’s background as psychologist and experience designing and managing large-scale communications programs gives him unique perspective in creating innovative brand, fully integrated strategies to build both internal and external communications. Not only focus on output communications, Silih also experience to change attitude and behavior of target audiences with his expertise as psychologist.

Sixteen years working in communication, brand and marketing fields in Indonesia has provided Silih with extensive experience on all sides Awareness, Attitude, and behavior of Indigenous people of Indonesia.  Those experiences give him with critical understanding the needs of Indonesian people, and insight him to make Indonesian Communication framework, which call DAIA (Desire, Attention, Interest, Action).  This framework has been implemented in many project in Indonesia, both for corporate or branding program, and successful.