Seberapa Terbuka Inggris kepada Warganya?

London-Kesempatan untuk mengetahui bagaimana Pemerintah Inggris menerapkan pemerintahan yang terbuka (open government) dan transparan muncul saat bertemu pejabat Sekretaris Kabinet, Kementerian Masyarakat dan Pemerintah Daerah, serta Kementerian Luar Negeri dan Persemakmuran. Mereka antusias menyambut rombongan wartawan Indonesia yang diundang Kedutaan Besar Inggris di Jakarta ke London, awal Maret lalu, untuk mengetahui ikhtiar tersebut.

Para pejabat ini menjelaskan komitmen Perdana Menteri Inggris David Cameron menerapkan pemerintahan terbuka. Inisiatif menciptakan transparansi dan pelibatan publik ini dimulai oleh Cameron. Bersama Amerika Serikat, Meksiko, Indonesia, Filipina, Brasil, Norwegia, dan Afrika Selatan, Inggris menggagas Kemitraan Pemerintahan yang Terbuka (OGP) di New York, AS, tahun 2011.

Cameron membentuk Kelompok Reformasi dan Efisiensi (ERG), kerja sama Sekretaris Kabinet, Kementerian Keuangan, dan kementerian lain, untuk memastikan efisiensi, penghematan, dan reformasi anggaran atas nama pembayar pajak. ERG memastikan, pemerintah menghemat anggaran, mengubahnya menjadi layanan publik berkualitas, dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Menurut Senior Press Officer ERG Simon Holder, terdapat 21 komitmen pemerintah sebagai rencana aksi nasional dan telah dipublikasikan dalam pertemuan OGP pada 31 Oktober 2013. Komitmen itu antara lain menyatukan berbagai upaya anti korupsi di bawah satu rencana aksi, menyusun mekanisme transparansi dan aksesibilitas yang lebih besar terhadap catatan kepolisian di Inggris dan Wales, mempromosikan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam semua proyek konstruksi domestik dan internasional yang didanai pemerintah, serta mendorong keterbukaan dalam kontrak dan pengadaan barang melalui konsultasi dengan masyarakat sipil dan pemangku kepentingan.

Komitmen tersebut bisa disimpulkan dalam lima tema berbeda. Pertama, keterbukaan data secara radikal untuk akuntabilitas, perbaikan layanan publik, dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, integritas pemerintah, yang berarti perlawanan pada korupsi melalui transparansi pemerintahan. Ketiga, transparansi fiskal agar warga tahu ke mana uang pajak yang mereka bayar dibelanjakan. Keempat, pemberdayaan warga melalui perubahan cara komunikasi warga dan pemerintah. Kelima, transparansi sumber daya alam agar pemasukan negara digunakan untuk kepentingan publik.

Shehla Husain dari Kementerian Masyarakat dan Pemerintah Daerah mengatakan, komitmen ini dilakukan pemerintah pusat dan daerah. ”Ini bukan hanya agenda penting pusat, melainkan juga daerah. Pemerintah daerah harus membuka data penyelenggaraan pemerintahan. Ini terjadi karena ada komitmen politik dari pusat. Pusat mau membuka data, mendorong transparansi,” ujarnya.

Sukarela

Pada 2011, strategi pemerintahan yang terbuka dan transparan pada otoritas daerah di Inggris tahun 2011 hanya sukarela. Pada April 2012, semua pemerintah daerah di Inggris memublikasikan pembayaran di atas 500 poundsterling. Namun, hal lain, seperti data aset lahan dan bangunan, hanya dipublikasikan oleh 4 persen otoritas pemerintah daerah.

Secara bertahap, strategi diterapkan otoritas daerah di Inggris. Dimulai dari pembayaran di atas 500 poundsterling, transaksi pengadaan barang dan jasa pemerintah daerah, serta tender untuk pengadaan/kontrak di atas 5.000 poundsterling.

Publik bisa mengakses informasi dan data gaji pegawai negeri senior dan anggota dewan kota/daerah. Dalam publikasi tahunan, setiap pemerintah daerah harus mengumumkan waktu pengurusan izin bisnis, pendapatan parkir dan kontrol areal parkir, hibah pada lembaga nirlaba, publik, dan organisasi sosial, hingga data aset lahan.

”Pemerintah ingin memastikan transparansi menjangkau setiap layanan publik. Kami ingin memperluas aturan ini ke semua perusahaan berpendapatan kurang dari 25.000 poundsterling, yang berhubungan dengan dewan kota,” kata Husain.

Pejabat juga tidak bisa main-main lagi dengan anggaran. Kepala Unit Transparansi Kemlu Inggris Eleanor Stewart menunjukkan data kementerian mana yang mengonsumsi energi paling tinggi karena pejabatnya tetap menyalakan listrik ketika tidak ada aktivitas di kantor. ”Keterbukaan data pemerintah di Uni Eropa telah meningkatkan aktivitas bisnis hingga 40 miliar euro setiap tahun dengan keuntungan 140 miliar euro per tahun,” kata Stewart.

Stewart mengakui, tidak semua urusan pemerintah bisa terbuka diakses publik. Soal keamanan salah satunya.

Namun, belum semua terpuaskan dengan keterbukaan tersebut. Wartawan senior harian The Guardian, Ian Cobain, mengatakan, banyak hal masih ditutupi Pemerintah Inggris. Contoh paling mutakhir adalah bocoran dokumen mantan analisis Badan Keamanan Nasional (NSA) AS, Edward Snowden. The Guardian adalah media pertama yang membocorkan dokumen Snowden soal kegiatan intelijen dan monitoring yang dilakukan AS dan mitranya.

Publikasi dokumen Snowden membuat The Guardian beberapa kali diintimidasi

pejabat Pemerintah Inggris. Cobain menceritakan bagaimana koleganya dituding tak patriotis. ”Kami menjawab, patriotisme menurut kami, ya, seperti yang kami lakukan ini,” katanya.

Salah satu bocoran Snowden terkait kegiatan badan intelijen Inggris, Government Communications Headquarters (GCHQ). Disebutkan, NSA menggelontorkan duit hampir Rp 1,5 triliun untuk membayar agen GCHQ.

Menurut The Guardian, publikasi itu adalah koreksi atas kegagalan pengawasan intelijen negara itu. Cobain mengatakan, dari kasus tersebut saja sudah jelas, bagaimana Pemerintah Inggris sebenarnya masih enggan bersikap transparan.

Hal yang sama juga akan dilakukan BBC apabila mereka mendapat dokumen Snowden. Meski BBC dibiayai negara, mereka tidak akan bertaruh dalam soal independensi.

Kepala Seksi Asia Pasifik BBC Giang Nguyen menuturkan, PM Margaret Thatcher pernah melarang media menyiarkan suara teroris. Ketika itu, Gerry Adams, pemimpin Sin Fein, sayap politik Tentara Republik Irlandia (IRA), termasuk larangan tersebut. ”BBC tetap menyiarkan Gerry Adam. Namun, karena hanya suara, kami menyiasatinya dengan menampilkan suara orang lain mengucapkan apa yang dikatakan Gerry Adams,” kata Giang.

Bagi BBC, transparansi hanya berarti jika kepentingan publik terwakili. (KHAERUDIN, Kompas, 13 April 2014)

Penghitungan Suara Jadi “Kursi” Rawan Perselisihan

Jakarta,- Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC) Erik Kurniawan, mengatakan, Pemilihan umum (Pemilu) Indonesia menggunakan sistem perwakilan proporsional multi-member distrik untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Dengan sistem itu, kata dia, formula penghitungan suara menjadi kursi untuk partai politik bisa sangat komplek. Kompleksitas makin meningkat karena banyaknya anggota DPR yang harus dicoblos dalam satu daerah pemilihan.

Sebenarnya, kata Erik, perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu sebelum Pemilu 2009 telah memperkenalkan metodologi baru untuk menghitung alokasi kursi. Perubahan tersebut mengakibatkan banyak perselisihan atas hasil pemilu.

“Untuk Pemilu 2014, metodologi alokasi kursi telah diubah,” katanya, di Jakarta, pada Selasa (15/4). Ia menambahkan, seharusnya metodologinya lebih sederhana, transparan bagi semua pemangku kepentingan, termasuk para kandidat, partai politik, masyarakat sipil, media dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu sendiri. Sehingga potensi perselisihan atas hasil perolehan kursi pemilu bisa diminimalisir.

Lebih lanjut Erik memaparkan, potensi perselisihan ditimbulkan dari kesalahan penghitungan suara menjadi kursi, diantarnya derajat keterwakilan pada lembaga legislatif tidak proporsional berdasarkan hasil pemilu. Padahal, salah satu tujuan pemilu dengan sistem tersbut adanya utusan perwakilan yang proporsional di lembaga perwakilan. Proporsionalitas tersebut terwujud dengan adanya keseimbangan antara perolehan suara dengan perolehan kursi oleh partai politik.

Erik  juga berpandangan, kurangnya informasi mengenai cara penghitungan kursi ini juga berpotensi menimbulkan masalah ketidakadilan pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Partai politik dan para caleg yang tidak puas dengan hasil penghitungan KPU akan menyampaikan keberatannya ke MK.

“Namun, ketidakpuasan tersebut berpotensi menimbulkan rasa ketidakadilan kepada para pihak akibat penafsiran Hakim MK terhadap cara penghitungan kursi. Sehingga yang terjadi kemudian adanya pergeseran kursi dari partai A ke partai B. Tentu hal ini mempengaruhi proporsionalitas,” katanya.

Karenanya Erik mengimbau, informasi yang valid dan mudah dimengerti stakholders sangat dibutuhkan. Tidak hanya informasi ilmiah, tetapi lebih komunikatif dengan stakeholders pemilihan umum. “Misalnya, video, aplikisi website, buku manual, leafleat dan paket informasi yang lain dengan tingkat akses yang cukup tinggi,” terangnya mencontohkan.

Ia berharap, Bagi KPU, informasi ini dijadikan panduan dan alat bantu menghitung dan membuat keputusan. Sementara bagi partai politik, Badan Pengawas Pemilu, media dan masyarakat sipil menjadi media edukasi mereka terhadap penghitungan yang dilakukan oleh KPU.

“Dengan demikian, potensi kecurangan dan perselisihan hasil pemilu yang diakibatkan oleh kekeliruan cara penghitungan bisa diminimalisir,” pungkasnya. (AA)