Jakarta,- Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC) Erik Kurniawan, mengatakan, Pemilihan umum (Pemilu) Indonesia menggunakan sistem perwakilan proporsional multi-member distrik untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Dengan sistem itu, kata dia, formula penghitungan suara menjadi kursi untuk partai politik bisa sangat komplek. Kompleksitas makin meningkat karena banyaknya anggota DPR yang harus dicoblos dalam satu daerah pemilihan.

Sebenarnya, kata Erik, perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu sebelum Pemilu 2009 telah memperkenalkan metodologi baru untuk menghitung alokasi kursi. Perubahan tersebut mengakibatkan banyak perselisihan atas hasil pemilu.

“Untuk Pemilu 2014, metodologi alokasi kursi telah diubah,” katanya, di Jakarta, pada Selasa (15/4). Ia menambahkan, seharusnya metodologinya lebih sederhana, transparan bagi semua pemangku kepentingan, termasuk para kandidat, partai politik, masyarakat sipil, media dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu sendiri. Sehingga potensi perselisihan atas hasil perolehan kursi pemilu bisa diminimalisir.

Lebih lanjut Erik memaparkan, potensi perselisihan ditimbulkan dari kesalahan penghitungan suara menjadi kursi, diantarnya derajat keterwakilan pada lembaga legislatif tidak proporsional berdasarkan hasil pemilu. Padahal, salah satu tujuan pemilu dengan sistem tersbut adanya utusan perwakilan yang proporsional di lembaga perwakilan. Proporsionalitas tersebut terwujud dengan adanya keseimbangan antara perolehan suara dengan perolehan kursi oleh partai politik.

Erik  juga berpandangan, kurangnya informasi mengenai cara penghitungan kursi ini juga berpotensi menimbulkan masalah ketidakadilan pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Partai politik dan para caleg yang tidak puas dengan hasil penghitungan KPU akan menyampaikan keberatannya ke MK.

“Namun, ketidakpuasan tersebut berpotensi menimbulkan rasa ketidakadilan kepada para pihak akibat penafsiran Hakim MK terhadap cara penghitungan kursi. Sehingga yang terjadi kemudian adanya pergeseran kursi dari partai A ke partai B. Tentu hal ini mempengaruhi proporsionalitas,” katanya.

Karenanya Erik mengimbau, informasi yang valid dan mudah dimengerti stakholders sangat dibutuhkan. Tidak hanya informasi ilmiah, tetapi lebih komunikatif dengan stakeholders pemilihan umum. “Misalnya, video, aplikisi website, buku manual, leafleat dan paket informasi yang lain dengan tingkat akses yang cukup tinggi,” terangnya mencontohkan.

Ia berharap, Bagi KPU, informasi ini dijadikan panduan dan alat bantu menghitung dan membuat keputusan. Sementara bagi partai politik, Badan Pengawas Pemilu, media dan masyarakat sipil menjadi media edukasi mereka terhadap penghitungan yang dilakukan oleh KPU.

“Dengan demikian, potensi kecurangan dan perselisihan hasil pemilu yang diakibatkan oleh kekeliruan cara penghitungan bisa diminimalisir,” pungkasnya. (AA)