Sungguh, kita membutuhkan Presiden yang memiliki visi mewujudkan pemerintahan yang transparan. Selain hak, informasi publik akan mempermudah terwujudnya pemenuhan hak-hak ekosob warga Negara. Asumsinya, dengan baiknya ketersediaan dan pelayanan informasi publik, warga akan terpicu untuk mendapatkan haknya. Di sisi lain, birokrasi relatif berhati-hati dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan, karena publik punya informasi memadai terhadap semua proses tersebut.

Lalu pertanyaannya, dari dua pilihan yang kini disajikan untuk publik, siapa yang lebih layak? Memang jika mengacu pada partai-partai yang mengusung mereka, ah, nyaris pupuslah harapan itu. Tak ada partai yang punya keseriusan mendorong keterbukaan. Sejatinya, UU KIP sendiri produk mereka yang disokong masyarakat sipil, namun urusan implementasi, sama sekali jauh panggang dari api. Padahal di berbagai negara demokratis, tak ada perdebatan bahwa partai politik adalah badan publik, yang juga wajib terbuka.

Harapan itu, kini kita tumpukan pada personal capres-cawapres. Sejauhmana integritas dan rekam jejak mereka pada pemerintahan yang terbuka. Siapapun yang terpilih, publik perlu mendorong agar “Keterbukaan Informasi Publik” menjadi salah satu agenda reformasi birokrasi pemerintah baru. Kita akan saksikan, apakah presiden baru cukup punya nyali untuk menerapkan UU KIP pada institusi kepresidenan. Jika tidak, sulit berharap ia jadi contoh bagi pemerintahan di level berikutnya. Jika demikian, apa bedanya kita dengan Thailand, negara yang punya UU KIP, tapi raja dan keluarnya tak dapat tersentuh oleh UU tersebut.

Itulah mengapa Official Information Act (UU KIP) di Negeri Gajah Putih itu, hanya mengasilkan seorang Sumalee, dialah menginspirasi lahirnya UU KIP di  Thailand, tahun 1997, dia pula menjadi contoh baik implementasi UU, tapi… kok selalu dia, ya hingga kini selalu dia. Dia lagi, lagi. Kita khawatir dengan nasib UU KIP di tangan presiden baru mendatang, bisa jadi regulasi ini menuju gejala “thailandisasi”.

Begitulah kira-kira, jika UU KIP dilahirkan lalu dibiarkan, bahkan pemimpinnya sendiri tak dapat tersentuh, ia tidak akan membawa dampak signifikan bagi perbaikan kehidupan warga. Sementara di sisi lain, betapa seriusnya kelompok masyarakat sipil melakukan peningkatan kapasitas warga, melakukan uji akses, sengketa informasi, pendampingan badan publik, dan berbagai upaya lain untuk mendorong keterbukaan. Sebuah tujuan, yang sejatinya mudah bagi Presiden, jika ia mau turun langsung menggunakan kuasa kerongkongan dan telunjuknya di hadapan badan publik, yang masih saja bebal, hingga kini. Ya, hingga 6 tahun, sejak UU tersebut disahkan!