Kunjungi ICW, Menteri Agama Janjikan Transparansi Biaya Penyelenggaraan Haji

Kunjungi ICW, Menteri Agama Janjikan Transparansi Biaya Penyelenggaraan Haji

Jakarta,- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berjanji akan memperbaiki pelayanan penyelenggaraan haji tahun ini dengan melakukan transparansi anggaran dana haji kepada publik. Upaya tersebut sebagai bentuk pencegahan terjadinya kecurangan dalam penyelenggaraan ibadah haji.

“Agar upaya perbaikan ke depan lebih baik, intinya transparansi,” kata Lukman saat jumpa pers di kantor Indonesia Corruption Watch, Jalan Kalibata Timur No IVD, Jakarta Selatan, Selasa (15/7/2014).

Lukman mengatakan, Kementerian Agama dan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah telah memiliki komitmen kuat untuk memperbaiki pelayanan penyelenggaraan ibadah haji. Kementerian Agama, kata dia, akan melakukan transparansi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), baik direct cost maupun indirect cost.

“Memang betul BPIH ada direct cost dan indirect cost, tapi itu tetap harus diketahui masyarakat umum,” ujar Lukman.

Koordinator ICW Ade Irawan mengapresiasi kunjungan yang dilakukan Kementerian Agama. Dalam pertemuan dengan Menteri Agama, Ade telah memberi masukan agar Kementerian Agama melakukan pembenahan dalam hal dana setoran haji dan biaya penyelenggaraan ibadah haji. Dua hal tersebut dianggap sebagai celah paling rawan akan terjadinya kecurangan dalam penyelenggaraan haji.

“Semoga pekerjaan rumah ini bisa dijalankan, dan mudah-mudahan penyelenggaraan haji ke depan bisa lebih baik lagi,” ujar Ade.

Lukman tiba di kantor ICW kira-kira pukul 14.15 WIB. Sesaat setelah tiba, Lukman yang didampingi Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Abdul Jamil melakukan pertemuan tertutup dengan Ade selama satu jam. (kompas.com)

Pilpres, KI Pusat Minta Presiden, KPU, Wartawan Berikan Informasi Akurat

Pilpres, KI Pusat Minta Presiden, KPU, Wartawan Berikan Informasi Akurat

Jakarta,-Sebagaimana diketahui bersama, bahwa sejak selesainya pemungutan suara pilpres kemarin (9/7/14), sejumlah lembaga survey mengeluarkan rilis hasil quick count, sebagian besar dipublikasi melalui lembaga penyiaran televisi.

Sebagian lembaga survey memenangkan pasangan Jokowi-JK, sebagian yang lain memenangkan Prabowo-Hatta. Masing-masing kubu juga sudah menyampaikan pidato yang bisa ditafsirkan sebagai klaim kemenangan. Pendukung masing-masing kubu juga sempat turun ke jalan untuk merayakan kemenangan, dimana hal ini bisa mengarah pada konflik horizontal.

Menurut Komisioner Komisi Informasi Pusat, Rumadi, hal ini terjadi karena informasi yang memenuhi ruang publik adalah informasi yang tidak semuanya akurat. “Ada informasi-informasi yang sengaja didistorsi untuk memenangkan cpres yang didukung lembaga survey tersebut,” katanya kepada kebebasaninformasi.org, Senin (14/7).

Menurut Rumadi, agar tidak terjadi distorsi informasi hasil pilpres 2014 lalu, Komisi Informasi Pusat meminta beberapa pihak untuk menyampaikan informasi dengan benar. Kepada Presiden sebagai pemegang otoritas tertinggi badan publik negara berkewajiban untuk memberikan informasi publik ke masyarakat yang cepat, akurat dan tidak menyesatkan.

Menurut dia, Presiden juga perlu mengerahkan segala upaya agar ruang publik tidak dikotori dengan informasi-informasi yang justru bisa memicu ketegangan.

Dalam kaitan dengan proses penghitungan perolehan suara pilpres 2014, KI Pusat meminta KPU sebagai penyelenggara pemilu harus memberi informasi yang akurat kepada masyarakat untuk memastikan proses rekapitulasi yang akan berakhir 22 Juli mendatang berjalan dengan transparan dan akutabel.

“Setiap tahapan penghitungan perolehan suara harus bisa dikontrol publik agar tidak menimbulkan syak wasangka di kemudian hari,” tegasnya.

Sementara kepada media massa sebagai salah satu pilar demokrasi dan penjaga akal sehat masyarakat, KI Pusat meminta agar tidak menjadi agen yang justru menyebarkan informasi yang menyesatkan hanya untuk membela dan memenangkan kandidat yang didukung.

“Komisi Informasi Pusat mendukung langkah-langkah untuk melakukan audit lembaga survey agar ke depan tidak adalagi lembaga survey yang justru mengotori ruang public dengan informasi yang menyesatkan,” pungkasnya. (AA)

Bongkar Penyesatan Informasi Publik Hasil Quick Count Pilpres

Bongkar Penyesatan Informasi Publik Hasil Quick Count Pilpres

Indonesia telah melalui tahap penting dalam perkembangan demokrasi.  Jutaan warga telah menggunakan hak pilihnya untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden baru. Antusiasme warga begitu tinggi dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) kali ini bahkan lebih tinggi dari pemilu legislatif bulan April yang lalu. Ini menunjukkan bahwa Indonesia semakin maju dalam berdemokrasi.

Sayangnya, kegembiraan warga dalam pesta demokrasi ini terganggu oleh adanya polemik hasil perhitungan cepat (Quick Count) oleh berbagai lembaga survei. Di mana delapan (8) lembaga survei memenangkan pasangan nomor urut 2 (dua): Jokowi-Jusuf Kalla. Delapan (8) lembaga survey tersebut adalah: Litbang Kompas, RRI, SMRC, CSIS-Cyrus, LSI, IPI, Poltracking Institute, Populi Center. Sementara empat (4) lembaga survei lain memenangkan pasangan nomor urut 1 (satu): Prabowo-Hatta. Empat lembaga survey tersebut adalah: Puskaptis, JSI, LSN, IRC. Perbedaan hasil perhitungan cepat ini membawa dampak serius. Kedua pasangan calon saling mendeklarasikan kemenangan dan masyarakat menjadi bingung karena situasi ini.

Polemik hasil perhitungan cepat ini jika tidak segera disikapi akan memicu konflik horizontal. Masing-masing pasangan calon bukan tidak mungkin dapat memobilisasi pendukung untuk mempertahankan klaim kemenangan.
Berdasarkan pasal 1 ayat (3) UU 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik (KIP), FOINI memandang bahwa Lembaga Survey  termasuk badan publik yang harus mematuhi ketentuan yang diatur dalam UU KIP. salah satunya memberikan informasi yang akurat, benar, dan TIDAK MENYESATKAN.

Atas dasar itu, kami Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Keterbukaan Informasi Publik atau FOINI (Freedom Of Information Network Indonesia) menyatakan sikap:

  1. PERTAMA: Menuntut akuntabilitas penyelenggaraan hitung cepat pilpres yang dilaksanakan oleh seluruh lembaga survey untuk :

a)       Membuka informasi pendekatan metodologi hitung cepat yang digunakan

b)       Membuka informasi jumlah dan lokasi sampel yang dijadikan basis data hitung cepat pilpres kepada semua (12) lembaga survey.

c)       Membuka informasi sumber dana penyelenggaraan hitung cepat pilpres kepada sembilan (9) lembaga survey, yakni: Litbang Kompas, RRI, CSIS-Cyrus, LSI, IPI, Poltracking Institute, Puskaptis, JSI, LSN, IRC.

KEDUA: Menuntut Komisi Informasi pusat untuk mengambil sikap agar tidak terjadi simpang siur informasi publik berupa hasil survey yang berpotensi menyesatkan.

  1. Menuntut Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik) yang menaungi LSI, Indikator Politik Indonesia, SMRC, Cyrus, Populi Center, Jaringan Survei Indonesia dan Puskaptis segera (dalam jangka waktu dua minggu) melaksanakan audit terhadap lembaga survey yang menjadi anggotanya. Dan harus dipublikasi kepada masyarakat. Dan KPU harus mewajibkan 6 Lembaga Survey lain yang tidak dalam naungan Persepi untuk melakukan audit oleh auditor publik yang independen serta mengumumkan hasilnya, jika tidak dilakukan KPU harus mencabut sertifikatnya.
  2. Terhadap hasil audit majelis etik, jika terbukti informasinya adalah menyesatkan, maka sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Pasal 55, lembaga survei dan stasiun televisi yang bersangkutan dapat dipidana.
  3. Mendesak kepada aparat penegak hukum untuk menindak tegas lembaga survei dan stasiun televisi yang terbukti menyebarkan informasi yang tidak akurat dan menyesatkan sesuai UU KIP dan peraturan perundangan lainnya.
  4. Adanya keterlibatan sejumlah Kepala Daerah dalam tim sukses masing-masing calon berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam proses perhitungan suara. Oleh sebab itu Presiden sebagai kepala negara perlu memastikan netralitas Kepala Daerah.
  5. Meminta kepada KPU untuk menyiarkan atau mengumumkan hasil pemungutan suara di media massa (cetak dan elektronik) secara serempak di seluruh wilayah NKRI setelah pengumuman resmi penghitungan hasil rekapitulasi Pilpres tanggal 22 Juli 2014.

 

                                                                                                          Jakarta, 11 Juli 2014

FOINI (Freedom Of Information Network Indonesia)

YAPPIKA, PATTIRO, ICW, IPC, TII, Seknas FITRA, ICEL, IBC, MediaLink, Perludem, IBC, PSHK, SBMI, Koak Lampung, PATTIRO Serang, PATTIRO Banten, Perkumpulan INISIATIF, PATTIRO Semarang, KRPK Blitar, Sloka Institute, SOMASI NTB, Laskar Batang, PIAR NTT, KOPEL Makassar, SKPKC Papua, Mata Aceh, GerAk Aceh, JARI KalTeng, KH2Institute, PUSAKO Unand, FITRA Riau, LPI PBJ, Institute Tifa Damai Maluku, Perkumpulan IDEA Yogyakarta

Lembaga Survei Diminta Buka Metodologi dan Anggaran

Lembaga Survei Diminta Buka Metodologi dan Anggaran

Jakarta,- Guru besar riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, menyayangkan adanya hasil yang bertentangan dalam penghitungan cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei.

Ia meminta lembaga-lembaga itu buka-bukaan terkait dengan aspek metodologis dan transparansi anggaran. “Ini harus diungkapkan secara terbuka ke publik, dari aspek metodologi harus jelas berapa sampelnya, di TPS mana saja dan bagaimana sebarannya,” katanya, Kamis, 10 Juli 2014.

Dengan begitu, lanjutnya, publik akan bisa memilah mana lembaga survei yang kredibel dan bukan. Menurut Ikrar, selama ini memang ada sejumlah lembaga survei yang bermasalah dan memiliki rekam jejak buruk serta melakukan manipulasi data. Perbuatan sejumlah lembaga survei nakal itu yang membuat kepercayaan masyarakat pada lembaga survei merosot. Karena itu ia meminta dewan etik asosiasi lembaga survei memanggil dan memeriksa mereka.

Ikrar juga mengimbau seluruh elemen masyarakat untuk ikut serta memantau proses perhitungan suara di Komisi Pemilihan Umum. “Kita juga perlu bekerja sama untuk memantau proses perhitungan suara di KPU agar jujur dan bertanggung jawab,” kata Ikrar. (Tempo.co/AA)

Penyandang Disabilitas Minim Informasi Pilpres

Penyandang Disabilitas Minim Informasi Pilpres

Para penyandang disabilitas mengaku tidak mendapat sosialisasi yang cukup terkait proses pemilhan umum presiden yang akan digelar 9 Juli 2014. Penyuluhan terkait sistem, alat yang digunakan dan pendamping juga belum didapatkan.

“Sosialisasi dan informasi terakhir cara pemilihan presiden sangat kurang. Selama ini saya mendapat informasi melalui media-media audio,” kata Ismet Firmansyah salah seorang pengurus Ikatan Tunanetra di Yayasan Wiyata Guna Jalan Padjadjaran Kota Bandung, seperti dilansir antaranews.com (Jumat, 4 Juli 2014).

Ia mengaku belum mendapatkan informasi dari petugas di lapangan terkait sistem pemilihan bagi penyandang disabilitas, terutama bagi penyandang tunanetra.

“Saya belum tahu apakah pada Pilpres 2014 nanti kami didampingi atau diberi template braile, saya bolak balik ke Wiyata Guna juga belum mendapat informasi jelas,” kata Ismet.

Ismet juga menyatakan keprihatinannya kepada media yang belum memberikan informasi terkait tata cara pilpres bagi penyandang disabilitas. Baginya, media lah yang selama ini menjadi jembatan informasi bagi penyandang disabilitas.

Menurut Ismet, idealnya pemilih tunanetra bisa melakukan pencoblosan sendiri di TPS tanpa didampingi sehingga menjamin kebebasan dan kerahasiaan dalam memberikan hak pilihnya.

Ia mengaku sering risih memberikan hak pilihnya bila didampingi oleh pendamping yang disediakan di TPS, ia juga khawatir ada pendamping yang tidak independen.

“Selama ini saya memilih didampingi oleh istri, jika tidak boleh saya tidak akan memilih,” kata Ismet menambahkan.

Sumber: Antara