BPS Rencanakan Buka Data September ini

BPS Rencanakan Buka Data September ini

Jakarta,-Badan Pusat Statistik (BPS) brencana meluncurkan data termasuk mikrodata milik mereka pada 25 September mendatang.

Hal itu dikemukakan Deputi Bidang Metodologi dan Informasi Statistik BPS, Dudy Sulaiman, di Gedung Perfilman Umar Ismail, Jakarta pada tanggal 5 September lalu saat peluncuran portal open data oleh UKP4 dan Bank Dunia.

Peneliti di PATTIRO, Nanda Sihombing yang hadir pada kesempatan itu menyayangkan perwakilan masih membahas bahwa dalam UU No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Peraturan Pemerintah No.54 tahun 2009 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada badan pusat statistik, yang
menyebutkan peminta informasi harus meminta data melalui proses birokrasi dan dikenai biaya tertentu.

“Kalau diinget-inget konsep deklarasi opendata, jadi nggak nyambung
ya,” ungkapnya pada kebebasaninformasi.org ketika dikonfirmasi pada Jumat (12/9) melalui surat elektronik.

Nanda juga menyayangkan, meskipun mikrodatanya ditampilkan, pertimbangan free of charge masih belum dapat dipastikan. Di saat yang bersamaan, mereka khawatir kalau menyalahi aturan, BPK akan menegur mereka.

“Jadi intinya, web akan dilaunching, tapi model mengakses datanya seperti apa dan prosedur biayanya bagaimana masih belum sempat terbahas pada kesempatan kali ini,” pungkasnya. (AA)

Pemilukada Melalui DPRD Tutup Ruang Transparansi

Pemilukada Melalui DPRD Tutup Ruang Transparansi

Jakarta,- Pemilihan kepala daerah sedang hangat diperbincangkan orang di media massa dan gosip di media sosial seperti Twitter dan Facebook. Para wakil rakyat sedang menggulirkan Rancangan Undang-Undang untuk mengembalikan pemilukada langsung ke pemilukada melalui DPRD menuia pro dan kontra.

Peneliti dari Indonesia Prliamentary Center (IPC) Erik Kurniawan berpendapat, dalam konteks Indonesia lebih cocok menggunakan sistem pemilihan umum kepala daerah atau Pemilukada langsung. “Yang pertama pemilu seperti sudah dipraktikan di Indonesia sejak 2005. Itu harus dipertahankan sebagai bentuk menjaga kedaulatan rakyat,” katanya kepada kebebasaninformasi, Kamis (11/9).

Kemudian, kata dia, harus dibaca pada UUD pasal 18 kepala daerah itu dipilih secara demokratis, tapi secara historis perubahan UUD di pasal 18 itu lebih dulu ketimbang pasal 6 a tentang Pilpres. “Nah, apa yang dikehendaki dalam pemilukada itu sama dengan pilpres, dalam artian pilihan langsung,” katanya.

Ia menambahkan, kita sepakat pemilihan lewat DPRD juga disebut demokratis, tapi kalau dibandingkan dengan pemilihan langsung, jelas lebih demokratis pemilihan langsung oleh rakyat karena daulat rakyat itu lebih diutamakan ketimbang daulat wakil-wakilnya di DPRD.

Ditanya kulitas pemimpin hasil pemilukada langsung dan melalui DPRD, Erik menjawab dengan contoh. “Produk-produk pemilukada langsung seperti Jokowi, itu kan jadi semacam jenjang kepemimpinan nasional, diuji dulu, dikehendaki nggak dia oleh rakyat untuk memimpin lokal. Nah setelah dia berhasil, dia naik ke tingkat nasional,” jelasnya.

Erik menambahkan, di pemilu tahun 2019, kalau pemilukada langsung bisa dipertahankan, produksi kepemimpinan lokal itu akan lebih dinamis dibanding pemilukada DPRD.

Karena, lanjut Erik, pemilukada lewat DPRD itu jelas menutup ruang-ruang bagi calon yang punya kapasitas, integritas, tapi tak punya kekuatan politik yang kuat, tidak punya duit yang banyak. “Tapi beda dengan pemilukada langsung, dia punya kesempatan untuk berkompetisi. Nah, kalau ini ditiadakan, 2019 estafet kepemimpinan  bakalan putus,” terangnya.

Ia kembali memperkuat pernyataannya dengan contoh. Kata dia, wali kota Surabaya, Gubernur Jawa Tengah, Bupati Banyuwangi, Bupati Bontaeng  dan beberapa kepala daerah yang lain pada tahun 2019 sangat berpotensi untuk mengisi kepemimpinan nasional. “Bayangkan kalau seandainya ke depan, pemilukada langsung ditiadakan, habis sudah mereka.”

Berbeda dengan pemilu hasil DPRD, menurut Erik, pengalaman kita sebelum tahun 1999, tidak punya figur alternatif, “itu lagi, itu lagi,” katanya.

Ia menyebutkan, pemilukada lewat DPRD itu akan menutup ruang transparansi. “Kan kalau melalui pemilukada langsung kalau orang money politik, banyak alat dan regulasi untuk membuka ruang transparansi, dana kampanye harus ada laporananya, audit, kalau money politic sangat mudah diidentifikasi,” jelasnya.

Berbeda dengan kalau melalui DPRD 50 anggota untuk kabupaten kota, atau 100 orang untuk provinsi, ruang transparansi tertutup sama sekali. (AA)

Konsolidasi Komisi Informasi Menuju Masyarakat Informasi

Konsolidasi Komisi Informasi Menuju Masyarakat Informasi

Mataram,-Dalam rangka mewujudkan keterbukaan informasi publik, Komisi Informasi Pusat bekerjasama dengan Komisi Informasi NTB menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional Komisi Informasi se-Indonesia 2014. Kegiatan ini berlangsung pada Jumat, 12 September 2014 hingga Minggu, 14 September 2014 di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Rakornas ini dibuka oleh Menteri Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Prof. Dr. Armida Alisyahbana, MA bersama dengan  Gubernur NTB Dr. K.H. TGH. Muhammad Zainul Majdi, MA. Sesi kemudian dilanjutkan dg seminar publik bersama Ketua Mahkamah Konstitusi Dr. Hamdan Zoelva, SH., MH dan Ketua KPK Dr. Abraham Samad, SH. MH.  KPK dan MK mendukung upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan Indonesia baru yang demokratis melalui pemenuhan hak atas informasi.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Politik dan Komunikasi BAPPENAS Dr. Raden Siliwanti MPIA. Ia menyatakan bahwa mewujudkan keterbukaan informasi publik bukan hanya mandat undang-undang tetapi untuk membangun demokrasi Indonesia. BAPPENAS berharap pembentukan PPID yang baru mencapai sekitar 40 % harus terus ditingkatkan karena badan publik wajib memenuhi kebutuhan informasi masyarakat sehingga indeks demokrasi Indonesia dapat segera terkoreksi dan menuju tahap konsolidasi demokrasi.

Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo Freddy H. Tulung melihat juga bahwa UU
Keterbukaan Informasi Publik sudah baik, namun Indonesia perlu menjadikan keterbukaan informasi sebagai way of life sehingga dapat terwujud masyarakat informasi.

Hari kedua, rakornas dilanjutkan dengan sesi pertanggungjawaban Komisi Informasi propinsi dan kabupaten/kota mengenai perkembangan keterbukaan informasi di wilayah masing-masing.

Dalam pertanggungjawaban tersebut, tergambar sebagian besar daerah mengalami keterbatasan dukungan pemerintah daerah dalam mewujudkan pemenuhan hak atas informasi. Beberapa wilayah bahkan belum memiliki sekretaris dan struktur pendukung lainnya. Di satu sisi, hal ini menjadi kendala bagi Komisi Informasi menjalankan tugas dan fungsi. Namun demikian, ada pula wilayah yang didukung oleh pemerintah daerah dalam rangka pemenuhan hak atas informasi (Desiana Samosir)

Transparency International Luncurkan Kajian Komparatif UU Rahasia Negara

Transparency International Luncurkan Kajian Komparatif UU Rahasia Negara

Jakarta,-Transparency International (TI) meluncurkan kajian komparatif Undang-Undang (UU) rahasia negara yang dilakukan di 15 negara dan Uni Eropa. UU tersebut merupakan aturan yang menyeimbangkan antara keterbukaan informasi dengan keamanan nasional.

“UU rahasia negara harus sejalan dengan UU keterbukaan Informasi. Mekanismenya harus saling bersinergi,” kata peneliti TI, Adam Foldes, di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (11/9/2014).

Menurut Adam, keterbukaan informasi memang merupakan hak setiap warga. Tapi, ada batasan informasi yang boleh dan tidak diketahui. “Informasi yang apabila diketahui (masyarakat) mengancam keamanan nasional. Ini yang harus dirahasiakan” ucap dia.

Batasan-batasan itulah yang kemudian perlu dituangkan dalam aturan UU. Dimana, klasifikasi informasi yang boleh dan tidak warga negara ketahui ada ketentuannya. “Sehingga masyarakat juga berhak tahu mana akses informasi yang sesuai atau tidak,” tutur Adam.

Dia pun berharap, kedepannya Indonesia yang mengedepankan keterbukaan informasi akan menerapkan kebijakan aturan yang menyeimbangkan berkaitan dengan keamanan nasional.

“Tidak sulit untuk memperoleh keseimbangan. Aturan hukum yang baik akan memberi banyak keuntungan,” tutup Adam. (metrotvnews.com/AA)

Komisioner KI Pusat Ajak FOINI Uji Materi UU KIP Pasal 29

Komisioner KI Pusat Ajak FOINI Uji Materi UU KIP Pasal 29

Jakarta,- Salah seorang komisioner Komisi Informasi Pusat John Fresly mengindentifikasi beberapa isu kunci yang menghambat implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Menurut dia, salah satu penghambatnya adalah rumusan pasal 29 UU KIP yang mengatur mengenai sekretariat Komisi Informasi sebagai pendukung utama berjalannya kelembagaan Komisi Informasi.

“Rumusan klausula pasal 29 UU KIP tersebut dalam prakteknya sangat mengangggu dan menghambat kinerja Komisi Informasi baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah provinsi,” katanya melalui surat elektronik 11 September 2014.

Norma pasal 29 UU KIP yang meletakkan kontrol pemerintah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan SKPD Kominfo di provinsi terhadap Komisi Informasi menyebabkan Komisi Informasi tidak mandiri dan berakibat pada terhambatnya hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.

“Hal ini bertentangan dengan norma pasal 28 F UUD 1945,” tegasnya.

Oleh karena itu, ia mengajak lembaga pegiat keterbukaan yang tergabung dalam FOINI untuk ikut menjadi pihak pemohon dalam uji materil (JR) UU KIP. (AA)