Pembentukan KI Provinsi Gorontalo dan Sejumlah Provinsi Bermasalah, Pelayanan Informasi Publik di Provinsi Terancam Terganggu

[Jakarta] Hak publik untuk memperoleh informasi publik terancam tak dapat dipenuhi oleh penyelenggara Negara, terutama di Provinsi dan Kab/Kota. Organ pelayan informasi, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) memang sudah terbentuk. Tapi keberatan terhadap permintaan informasi tak bisa diproses karena pembentukan Komisi Informasi provinsi sebagian besar bermasalah.

Di Gorontalo, Komisi Informasi periode 2010-2014 seharusnya berakhir pada 10 Desember 2014. Tak ada proses seleksi dan fit and proper test untuk pengisian jabatan Komisi Informasi Gorontalo periode 2015-2019. Pemerintah Provinsi Gorontalo membiarkan kekosongan jabatan KI Provinsi hingga Juli 2015. Hingga keluarlah Surat Keputusan (SK) Gubernur Gorontalo No. 323/11/VII/2015 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo Periode 2015-2019.

SK tersebut melanggar UU KIP karena: pertama, menetapkan kembali anggota Komisi Informasi Gorontalo periode 2010-2014 menjadi Komisi Informasi Gorontalo periode 2015-2019 tanpa melalui proses seleksi dan fit and proper test di DPRD Gorontalo terlebih dahulu sebagaimana dimandatkan Pasal 30, 31, 32 dan 33 UU Keterbukaan Informasi Publik, dan Keputusan Komisi Informasi Pusat Nomor 01/KEP/KIP/III/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota KI Provinsi dan KI Kab/Kota. Kedua, SK tersebut hanya menetapkan 4 anggota KI Gorontalo yang seharusnya 5. Ketiga, SK tersebut ditandatangani Agustus 2015 dan berlaku surut sejak Januari 2015.

Pengangkatan kembali anggota KI seperti di Gorontalo menjadi preseden buruk dalam pengisian jabatan anggota KI provinsi. Hal ini karena sinyalemen pengangkatan kembali tanpa proses seleksi dan fit and proper test menguat pada RAKORNAS Komisi Informasi seluruh Indonesia pada 12-14 September 2014 di Mataram-Nusa Tenggara Barat. Dalam RAKORNAS tersebut, beberapa KI provinsi seperti KI Sumatera Utara, KI Banten, dan KI Lampung mengusulkan agar KI Pusat mengeluarkan keputusan mengenai ketentuan pengangkatan kembali anggota KI provinsi. Bahkan KI Sumatera Utara mengajukan diri untuk menyusun draft keputusan KI Pusat tersebut.

Berdasarkan kondisi di atas, FOINI menuntut kepada:

  1. Gubernur Gorontalo dan DPRD Gorontalo untuk mencabut SK No.323/11/VII/2015 dan melakukan seleksi anggota Komisi Informasi Gorontalo sesuai Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU KIP dan Pedoman Seleksi Komisi Informasi.
  2. Komisi Informasi Pusat untuk melakukan pengawasan dan terlibat aktif dalam proses seleksi anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo sesuai Pedoman Seleksi yang telah KI Pusat keluarkan.
  3. Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pengawasan kepada Gubernur dan DPRD dalam pelaksanaan seleksi anggota KI provinsi sebagaimana mandat UU KIP. Hal ini karena telah terjadi fenomena pengabaian terhadap proses seleksi KI provinsi seperti di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat.

Apabila Gubernur dan DPRD Gorontalo, Komisi Informasi Pusat dan Kementerian Dalam Negeri tidak melaksanakan tuntutan ini, maka dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) setelah pernyataan sikap ini, FOINI akan melakukan upaya hukum berupa gugatan ke pengadilan.

Tertanda Anggota FOINI:

IPC, PATTIRO, ICW, Media-Link, ICEL, PWYP Indonesia, SEKNAS FITRA, IBC, Perkumpulan Inisiaitif Bandung, PERLUDEM, TI-Indonesia, YAPPIKA, Artikel 33, Perkumpulan IDEA Yogyakarta, FITRA Riau, KOAK Lampung, PUSAKO Univ. Andalas, PATTIRO Semarang, KRKP Blitar, Sloka Institute Bali, SOMASI NTB, GEMAWAN, Jari Kalimantan Tengah, LPI PBJ Banjar Baru, KOPEL Makassar, Tifa Damai, SKPKC Papua, Serikat Buruh Migran Indonesia, KH2 Institute, PIAR NTT, PATTIRO Serang, MaTa Aceh LP2 Gorontalo.

Kontak:

  1. Sad Dian: 0812 8003 045
  2. Hendrik Rosdinar: 0811 1463 983
  3. Desiana Samosir: 0813 6928 1962
  4. Dessy Eko Prayitno: 0815 9086 006
  5. Harun: 0813 4029 5670
  6. Agus Sarwono: 0818 0860 3177

 

Salah Tafsir Pasal 33 Menghambat Pelayanan Sengketa Informasi Publik

Salah Tafsir Pasal 33 Menghambat Pelayanan Sengketa Informasi Publik

photo bakoel coffi

Jumat, 16 Oktober 2015, FOINI menyelenggarakan konferensi pers untuk menyikapi karut marut proses penyelenggaraan Komisi Informasi Provinsi. Berikut merupakan catatan proses tersebut:

 

Desiana Samosir:

Selamat datang rekan-rekan wartawan, siang hari ini kami mengundang kawan-kawan dalam rangka untuk menyampaikan sikap Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) terhadap proses penyelenggaraan Komisi Informasi di tingkat Provinsi.

Terakhir, Pemerintah Provinsi Gorontalo mengangkat anggota Komisi Informasi petahana tanpa proses seleksi. Ini bermasalah. Telah hadir di antara kita sejumlah anggota Koalisi: Dessy Eko Prayitno dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Hendrik Rosdinar dari YAPPIKA dan Bejo Untung dari Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO). Saya persilakan kepada kawan-kawan:

Desi Eko Prayitno:

Mengapa FOINI memperhatikan hal ini? Karena ada kecenderungan dari KI untuk menafsirkan secara gramatikal pasal 30, “dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya”. Mereka menafsirkan ini tanpa melihat proses kewajiban uji kepatutan dan kelayakan. Banyak KI provinsi yang memperkuat tafsir ini. Lalu meminta dukungan kepada Gubernur. Saat di rakornas, ada Banten, Lampung dan sejumlah daerah lain.

Penerjemahan pasal 33 yang diterjamahan secara gramatikal tidak tepat. Seharusnya dibaca bersama pasal 30, 31, 32 dan 34. Ini harus dicegah,  supaya tidak menjalar di Komisi Informasi yang lain.

Pemerintah teledor dan membiarkan kondisi ini berlangsung sehingga dimanfaatkan oleh KI untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Hendrik Rosdinar:

Jika dilihat dari runtutan sejak rakornas di Lombok, ini ada upaya sistematis yang ingin didorong oleh KI secara kelembagaan untuk membajak tafsir padal 33 untuk mempertahankan jabatan para incumbent. Karena, pertama, secara sengaja mereka salah. Ini tindakan sangat buruk yang dicontohkan oleh lembaga negara yang dibentuk dengan semnagat keterbukaan. Hal ini juga menutup peluang putra-putra terbaik untuk menjadi anggota KI karena tidak ada seleksi.

Kedua, ada upaya perbuatan melawan hukum yang sengaja dilakukan. produknya tidak sah. Yang terjadi di Gorontalo tidak sah. Karena bertentangan dengan UU KIP.

Ketiga, ini presenden buruk pada mekanisme pemilihan KI di Pusat dan Provinsi. preseden ini akan bisa digunakan sebagai contoh untuk lembaga negara yang lain. Khawatir ini ditangkap oleh politisi kita untuk menerapkan pada lembaga kuasi negara yang lain.

Kehadiran lembaga kuasi negara semacam KI, harus menjadi ujung tombak percepatan demokrasi di Indonesia. Tapi dengan implementasi yang jauh dari prinsip demokrasi, maka demokrasi akan mengalami kemunduran.

Keempat, sekarang KI sedang menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Aceh, seharusnya kasus Gorontalo ini dijadikan bahan diskusi serius. Jika isu ini tidak dibahas, dugaan saya tadi itu nyata adanya. Jangan-jangan KI berencana untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Bejo Untung:

Tafsir pasal 33 itu kan membatasi masa jabatan KI, hanya boleh dua periode. Mereka boleh dipilih kembali dengan proses fit and proper test. Seperti pada pemilihan presiden. Boleh dipilih kembali setelah melalui pemilu. Logikanya seperti itu. Dengan penafsiran yang sekarang, itu perlu dipertanyakan kapasitas anggota Komisi Informasi. Kalau menafsirkan ini salah, bagaimana menafsirkan UU KIP yang lain. Kalau mereka menafsirkan sesempit itu, bagaimana mereka mendorong  keterbukaan informasi di Indonesia.

Sesi tanya jawab

Bagaimana setelah konpres ini? Apa yang akan dilakukan oleh KI?

Desiana Samosir:

FOINI, salah satu anggotanya Lembaga Pengkajian dan Pembangunan Gorontalo (LP2G) sudah betemu dengan Biro Hukum Pemprov Gorontalo dan menyampaikan mengenai langkah yang salah pada pengangkatan SK KI Gorontalo ini. Mereka menyadari ini salah. Mereka minta bertemu. Kami tak hanya ingin bertemu, tapi secara lebih luas meminta KI Pusat untuk memperhatikan hal ini. Kami akan bersurat dengan Gubernur, DPRD, Kemendagri dan KI Pusat dan memberi waktu selama 30 hari kepada para pihak untuk mencabut SK tersebut. Jika tidak dicabut, kami mengajukan gugatan ke pengadilan.

Dessy Eko Prayitno:

Kita perlu melakukan gugatan untuk memberikan pesan kepada provinsi lain dan KI agar tidak mengulangi kesalahan ini. Jika terjadi hal yang sama dengan Gorontalo akan berdampak buruk pada keterbukaan. Ada dua skema gugatan: (1) Citizen Lawsuit (CLS), kepentingannya Gubernur dan DPRD tidak menjalankan kewajiban hukum (2) gugatan di PTUN, khusus di Gorontalo. Penggugatnya Anggota FOINI yang bisa mendaftar untuk seleksi aggota KI Gorontalo.

Apa kepentingan masyarakat yang dihambat dalam kasus ini? Apa tanggapak KI soal ini?

Desiana Samosir:

KI Gorontalo bermasalah sejak awal. Sekretariat KI Gorontalo dibawah Balai Risti semacam dewan riset daerah. Sementara di provinsi lain dibawah naungan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi. Sekretariat mereka terbatas. Keberadaaan sekretariat saja sudah tidak maksimal. sehingga banyak sengketa yang tidak tertangani dengan baik. Di bawah kondisi ini, lalu tidak ada seleksi untuk memperoleh calon terbaik, maka terancam semakin buruk kinerja KI Gorontalo.

Hendrik Rosdinar:

Pengangkatan kembali Komisioner yang ada sebagai upaya yang sengaja untuk tidak memberikan pelayanan informasi cukup baik. Seharusnya, KI gorontalo bisa bertindak jika sekretariat tidak baik. Ini kan orang yang tidak perform dengan baik kemudian minta diangkat lagi. Ini upaya melanggengkan status quo. Kalau KI di wilayah lain, KI cukup dikenal dan disegani dinas. Ini kecurigaan yang beralasan, jelas-jelas mereka tidak bisa memperjuangkan dirinya sendiri. Jangan-jangan Pemprov menginginkan supaya Pemprov tidak digugat. Ini jangan sampai menjadi modus.

Ada sejumlah modus dalam penyelenggaraan KI ini: pertama, menunda seleksi. di NTT hingga saat ini tidak dibentuk. Sehingga NTT tidak memiliki KI. Kedua, menunda pelantikan, di Kalbar hingga 1 tahun tidak dilantik. Ketiga, mengangkat kembali tanpa proses seleksi seperti yang terjadi di Gorontalo.

Pembacaan pernyataan sikap

Berdasarkan kondisi di atas, FOINI menuntut kepada:

  1. Gubernur Gorontalo dan DPRD Gorontalo untuk mencabut SK No.323/11/VII/2015 dan melakukan seleksi anggota Komisi Informasi Gorontalo sesuai Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU KIP dan Pedoman Seleksi Komisi Informasi.
  2. Komisi Informasi Pusat untuk melakukan pengawasan dan terlibat aktif dalam proses seleksi anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo sesuai Pedoman Seleksi yang telah KI Pusat keluarkan.
  3. Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pengawasan kepada Gubernur dan DPRD dalam pelaksanaan seleksi anggota KI provinsi sebagaimana mandat UU KIP. Hal ini karena telah terjadi fenomena pengabaian terhadap proses seleksi KI provinsi seperti di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat.