Foini dan Anri Bahas Tata Kelola Data

KebebasanInformasi.org – Indonesia Parlamentary Center (IPC) bersama rekan-rekan lain yang tergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia (FoINI) menggelar diskusi bersama Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Rabu (19/10). Mereka disambut Kabag Humas ANRI, Gurandhika beserta jajarannya, di kantor ANRI, jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan.

Mengawali diskusi, Direktur IPC Hanafi menjelaskan, kedatangannya bersama rekan-rekan ini ingin memperoleh gambaran dari ANRI tentang kondisi tata kelola arsip di Indonesia saat ini. Selain itu, juga ia ingin mendapat penjelasan mengenai pandangan ANRI terkait relasi  antara arsip dengan UU Kebebasan Informasi Publik dan soal open data.

“Kami ingin mendapatkan informasi bagaimana visi tata kelola data di ANRI ini, sehingga kita bisa saling berkolaborasi dalam konteks tata kelola data,” ujar Hanafi.

Ia menerangkan, sejak UU Kebebasan Informasi Publik (KIP) diberlakukan pada tahun 2008, IPC telah melakukan upaya pendampingan kepada badan publik dalam membuat pelayanan dan pengelolaan informasi yang baik, salah satunya di KPU dan DPR. Dalam advokasi-advokasi tersebut, ia dan rekan-rekan menemukan beberapa persoalan, seperti badan publik yang tidak mampu memberikan informasi karena tata kelola arsipnya belum begitu bagus, sehingga publik tidak dapat mengakses informasi tersebut.

Dari berbagai kajian dan diskusi yang telah dilakukan, ditemukan satu hal yang menjadi titik temu antara UU KIP dan UU Arsip, yakni pengelolaan Daftar Informasi Publik (DIP). “Itu salah satunya yang kita coba saat ini di KPU. Bagaimana memenuhi DIP. Salah satunya ialah arsipnya harus rapih. Nah, seperti apa yang terjadi saat ini di ANRI, itu yang ingin kami tahu melalui diskusi ini,” kata Hanafi.

Ia menambahkan, hadirnya inesiatif-inesiatif baru berupa aplikasi-aplikasi yang basisnya mengelola data pemerintah, misalnya, seperti smart city, banyak membantu masyarakat dalam mendapatkan pelayanan informasi. “Dalam konteks pelayanan sosial, ketika ada masalah, orang bisa langsung komplain, kemudian diselesaikan. Tetapi itu bisa di Jakarta dan sekarang. Entah besok, entah lusa. Lagi-lagi persoalan ketersediaan data dan tata kelola arsip,” kata Hanafi.

Selanjutnya, pengelolaan data dan arsip yang buruk tersebut juga menjadi batu sandungan bagi Pemerintahan Jokowi-JK, yang saat ini tengah menggalakkan kebijakan kebijakan Satu Data. Persoalan lain, yang bersifat prinsip dalam pelayanan informasi kepada publik seperti bagaimana mengambil atau memperoleh sampel data, metode yang berbeda-beda, dan ada pula persoalan bahwa ternyata badan publik tidak tahu keberadaan datanya.

Gurandhika beserta jajarannya menyambut baik niat dan kedatangan rekan-rekan foINI di ANRI. Apa yang telah diterangkan Hanafi sebenarnya juga menjadi perhatian ANRI.

Ia menjelaskan, ANRI memiliki visi ingin menjadikan arsip sebagai simpul pemersatu bangsa. Ia berharap, semua kementrian/lembaga sudah menyerahkan arsip arsipnya kepada ANRI. “Artinya, ANRI ini kan lembaga penyimpan arsip statis yang kita peroleh dari pusat. Karena di daerah ada lembaga kearsipan sendiri,” ujar pria yang akrab disapa Dhika tersebut.

Namun, amat disayangkan karena belum semuanya dapat terwujud. Untuk itu, ANRI terus melakukan pembinaan kepada penyelengara arsip nasional, khususnya terdahap arsip statis. Meski demikian, ANRI juga melakukan pembinan terdahap pengelolaan arsip dinamis pada kementerian dan lembaga negara.

Ada lima hal yang menjadi syarat utama terciptanya tata kelola kearsipan yang baik. Kelima hal itu antara lain adanya pemahaman peraturan kearsipan pada unit di lembaga/kementerian masing-masing, sumber daya manusia (SDM), dukungan anggaran, sarana dan prasarana, serta sistem. “Kalau kelima itu tidak bagus, tentu saja kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi dari lembaga/kementerian itu juga tidak dapat terpenuhi dengan baik,” terang Dhika.

Ia mengakui, saat ini kesadaran kearsipan dari kementerian/lembaga negara belum terbangun dengan baik. Padahal ini menyangkut akuntabilitas negara dan pelayanan publik. Pihak ANRI sendiri telah memiliki suatu sistem kearsipan nasional bernama Jaringan Informasi Kearsipan Nasional (JIKN). Namun ini baru untuk menyimpan arsip statis.

“Diharapkan semua kementerian dan lembaga, baik nasional maupun daerah itu sudah menjadi satu simpul jaringan informasi kearsipan nasional. Dari semua provinsi sampai nasional ada. Namun sayangnya kesadarannya masih kurang dan kami masih menggenjot menjadi satu simpul jaringan,” papar Dhika.

Untuk kearsipan di daerah, kata Dhika, kondisinya jauh lebih buruk. “Bapak ibu semua pahamlah, kadang-kadang yang namanya kearsipan bukan hanya dipandang sebelah mata tapi ditutup matanya. Baru kalau nanti terlibat permasalahan baru yang dicari arsip,” jelasnya.

“Kami berharap lembaga kerasipan baik di daerah maupun di pusat sudah melakukan arsipnya dengan tertib. Kalau di kementerian lembaga, mengelola arsip dinamis. Kalau sudah statis baru diserahkan ke ANRI,” kata Dhika. (BOW)