Ahmad Alamsyah Saragih

KebebasanInformasi.org – Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih, mengkritisi peran para lead sector di pemerintahan, seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), hingga Kantor Staf Presiden (KSP), terkait dengan Open Government Indonesia (OGI), sebuah gerakan untuk membangun pemerintahan yang lebih terbuka, lebih partisipatif dan lebih inovatif. Menurutnya, baik ketiga lembaga tersebut maupun yang lainnya, mereka tidak optimal dalam mengidentifikasi komunitas partner atau komunitas pengguna data  dalam gerakan tersebut.

“Kemlu sudah punya tugas-tugas utama. Tapi dia akhirnya, saya lihat cuma tugas-tugas kelembagaan (terkait) dengan renaksi itu. Karena dia adalah lembaga yang berusan dengan internasional, Menlu dikasih polacy. Padahal sebenarnya, partnership interaksi dengan dunia internasional  itu cuma kegiatan biasanya saja, bukan sesuatu yang penting,” papar Alamsyah, melalui sambungan seluler, di Jakarta, Rabu (19/10).

Kemudian Bappenas, lanjut Alamsyaah, lebih sibuk me-range kinerja tentang open government berkaitan dengan sampai mana tahapanya. Padahal Beppenas sendiri secara institutsi merupakan komunitas perencana yang harus dijadikan partner, bukan sekadar bekerja karana ada anggaran dan segala macamnya. Tapi sebagai institutsi, apa yang dibangun Bappenas tidak mulai dari proses digitalisasi, peletakan data pada platform, kemudian mengajak komunitas pengguna untuk mengambil keputusan. Sisi itulah yang menurutnya tidak disiapkan, sehingga Renaksi hanya menjadi sekadar formalitas belaka.

“Tentunya kan ada komunitas perencana, merekalah yang akan mengunakan data-data itu,” kata Alamsyah.

Sementara untuk KSP, Alamsyah mengatakan, lembaga ini hanya semacam steakholder pemerintah yang kemudian mengeluhkan sesuatu yang kira-kira membutuhkan keputusan, yang pengaruh tingkatnya sampai kepada Presiden. “Dia harus mengidentifikasi komunitasnya itu siapa? Itu juga tidak dibayangkan. Akhirnya, KSP dulu hanya menampung pekerjaan warisan dari UKP4. Jadi menurut saya, kegagalannya lagi-lagi dalam mengidentifikasi komunitas partner,” ujar pria yang juga pernah menjabat Anggota KUAK (Koalisi Untuk Akuntabilitas Keuangan dan Komisioner) Komisi Informasi (KI) Pusat ini.

Ia menerangkan, ada dua aspek dalam penerapan Open Government. Pertama, aspek teknis, dan kedua, aspek yang berkaitan dengan mindset. “Apa yang mau open, kalau open mind saja belum,” kata Alamsyah.

Lebih lanjut, untuk membangun open mind diperlukan adanya pihak luar yang terlibat dalam memanfaatkan data dari pemerintah. Dengan itu, pemerintah bisa mengambil keputusan yang baik sebagai penyelenggara negara. “Itu yang harus dikampanyekan di internal pemerintah satu per satu. Itu tampaknya belum dilaksanakan sehingga peraturan-peraturan seperti Perpres, Inpres, dan sebagianya semua cuma jadi kertas karena orang tidak mengerti arahnya mau kemana,” ujarnya.

Bicara soal aspek teknis, Alamsyah menjelaskan, setidaknya ada tiga tahapan. Pertama, harus dimulai dengan digitalisasi. Tanpa digitalisasi, hal itu tidak akan pernah bisa terlakasana. “(Tanpa digitalisasi) open data ini ya paling cuma (menjadi semacam) open information, mengikuti informasi apa yang sudah disarankan oleh UU KI Pusat, dokumen-dokumen mana yang harus bisa diakses publik, yakni dokumen-dokumen yang sifatanya umum, yang menjadi satu basis data untuk menghasilkan sesuatu. Mereka harus mengentri ulang, itu tidak mungkin. Makanya harus selesai dengan tahap digitalisasi.,” papar Alamsyah.

Jika tahap digitalisasi tersebut sudah selesai, maka akan masuk pada tahap kedua, yakni mulai membangun suatu komunitas-komunitas data. “Misalnya di pelayanan publik kesehatan tentunya dia harus mulai membangun relasi dengan komunitas yang berkepentingan dengan data kesehatan. Sehingga data itu mereka taruh dalam satu platform, orang juga bisa mengaksesnya. Termasuk yang saya sebut komunitas itu bukan hanya yang ada di publik, di  antara instansi pemerintah juga. Sehingga ada instansi lain yang juga bisa mengambil datanya,” papar Alamsyah.

Namun ia menegaskan, untuk membangun komunitas ini butuh satu pra syarat, antar satu mesin dengan mesin lain. Maksudnya, antara kementerian satu dengan kementerian lain tidak menggunakan aplikasi yang berbeda yang mengakibatkan tidak bisa terbacanya aplikasi tersebut.

Berikutnya tahap ketiga, yang menurut Alamsyah menjadi tahap paling atas ialah, yaitu kemampuan memfasilitasi semua pengguna data untuk mengambil sebuah keputusan publik yang baik. Jika tahap ini sudah terlaksana, berarti apa yang disebut open government itu sudah tercapai.

“Para pengguna data atau komunitas ini kemudian bisa memiliki mengelola komunikasi, kemudian memberikan masukan, melakukan perbaikan dalam proses-proses pengambilan keputusan. Itu menurut saya baru bisa sampai pada tahap yang disebut Open Government,” terang Alamsyah. (BOW)

Foto: Kompas.com