mahkamah-konstitusi

KebebasanInformasi.org – Mantan Ketua MK, Mahfud MD, mengingatkan agar hakim MK tidak mengadili sesuatu yang berkaitan dengan lembaganya karena bertentangan dengan etika peradilan. Hal ini terkait dengan Permohonan uji materi tentang perpanjangan masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh Hakim Binsar Gultom dan Lilik Mulyadi serta Centre of Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI)

“Jabatan, gaji, masa kerja, kenaikan pangkat, dan seterusnya tidak boleh. Itu melanggar etik,” ujar Mahfud, di Jakarta, Selasa (29/11/2016).

Ia berpendapat, jika argumentasi Pemohon dianggap benar, MK tetap tidak layak memberikan putusan. Sesuai kewenangannya, MK hanya dapat memberikan putusan apabila terdapat kesalahan dalam Undang-undang.

Menurut pandangan Mahfudz, masalah perpanjangan masa jabatan MK sebaiknya diserahkan pada keputusan politik hukum di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian, masyarakat juga dapat berpartisipasi andil memberikan pendapat dan masukan. “Diserahkan ke DPR dan masyakarat mendiskusikan. Setelah di DPR, DPR sidang apakah perlu atau tidak siapkan UU,” jelasnya.

“Jadi MK supaya tidak masuk ke hal-hal yang buat semakin dilihat sebagai lembaga dan pejabat yang tidak tahu malu kalau putuskan dirinya sendiri yang sifatnya fasilitas,” tuturnya.

Sebagaimana diketahui, dalam permohonannya Binsar dan Lilik meminta agar masa jabatan hakim MK disamakan dengan hakim MA, yakni hingga berusia 70 tahun. Sedangkan CSS UI, meminta jabatan hakim MK tidak dibatasi dengan periodisasi, yang kemudian dapat ditafsirkan bahwa jabatan hakim MK adalah seumur hidup.

Dalam penjelasannya, Direktur Litbang CSS UI Dian Puji N Simatupang, mengklarifikasikasi penafsiran tersebut. Ia mengatakan, pokok permohonan kepada MK ialah meminta masa jabatan hakim MK disamakan dengan hakim Mahkamah Agung (MA).

Ia memaparkan, pasal yang diuji adalah Pasal 4 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003). Menurut Dian, ketentuan tersebut diskriminatif karena membatasi masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK hanya boleh diemban selama dua tahun enam bulan.

Kemudian, CSS UI juga menilai pasal 22 UU 24/2003 diskriminatif karena masa jabatan hakim MK dibatasi hanya selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

“Kami meminta tidak mengikat masa jabatan lima tahun dan dipilih kembali, tetapi dipilih sampai usia pensiun, yakni 70 tahun, sebagaimana hakim Agung MA,” kata Dian, di Jakarta Rabu (30/11/2016).

Ia berpendapat, kedudukan hakim dalam peradilan mana pun tidak pernah mengenal masa jabatan dan periodesasi jabatan. Pihaknya juga berpandangan, aturan mengenai jabatan hakim MK seperti itu berpotensi membatasi MK untuk dapat menyelenggarakan peradilan yang taat pada hukum dan berkeadilan bagi masyarakat.

“Yang kami mohonkan adalah masa jabatan sampai usia pensiun dengan proses sistem prosedur yang terbuka akuntabel. Sehingga, dapat menghasilkan hakim MK yang negarawan,” terang Dian.

Ia mengklarifikasi adanya penafsiran bahwa pihaknya mengajukan uji materi dengan pokok permohonan masa jabatan hakim MK adalah seumur hidup. “Tidak ada niat, pemikiran, dan keinginan dari kami sebagai sekumpulan intelektual memohon masa jabatan hakim MK seumur hidup,tidak sama sekali,” kata Dosen Fakultas Hukum UI tersebut.

Dalam sidang lanjutan, Selasa (1/11/2016), mantan Ketua MA, Bagir Manan, selaku Ahli pemohon, menyampaikan kepada majelis persidangan bahwa pembatasan masa jabatan hakim akan memunculkan berbagai kekhawatiran yang dapat mempengaruhi sikap imparsialitas hakim dalam memutus perkara.

“Kekhawatiran diberhentikan atau tidak diangkat, atau tidak dipilih lagi,” kata Bagir, dikutip dalam persidangan.

Ia mengatakan, untuk menghindari hal itu, maka masa jabatan hakim harus cukup panjang. Bahkan, beberapa negara di dunia menetapkan jabatan hakim seumur hidup (for life).

“Dalam masa jabatan yang cukup panjang, hakim tidak dapat diberhentikan karena alasan-alasan yang bertalian dengan pelaksanaan tugasnya. Kalaupun akan diberhentikan karena alasan pelaksanaan pekerjaannya harus dengan prosedur khusus seperti impeachment,” kata Bagir. (BOW)