Hingga dua dekade setelah Reformasi, pemerintah terlihat belum bersungguh-sungguh dalam keterbukaan informasi publik. Menutup akses informasi bagi masyarakat luas tidak hanya mencoreng nama Indonesia sebagai negara demokrasi namun juga harus ditanggung oleh masyarakat yang lebih besar.

Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia menjelaskan, setelah kematian aktivis HAM Munir Said Thalib, presiden membentuk Keppres 111/2004 tentang tim pencari fakta kasus meninggalnya Munir (TPF KMM). Dalam penetapan kesembilan Keppres disebutkan bahwa pemerintah seharusnya segera mengumumkan hasil penyelidikan TPF Munir kepada masyarakat.

“Namun mulai dari pergantian Presiden SBY hingga Jokowi yang berarti lebih dari 12 tahun pasca dibentuknya TPF, hasil penyelidikan belum diumumkan oleh presiden. Padahal kasus pembunuhan ini jelas dilakukan sebagai upaya membungkam kritik masyarakat kepada negara. Akan menjadi aib besar bagi bangsa ini jika kematian Munir tidak terungkap seterang-terangnya,” ujarnya dalam jumpa pers di FX Sudirman, Jakarta (Minggu, 28/5).

Pada 28 April 2016, Kontras mengajukan sengketa informasi kepada Komisi Informasi Publik (KIP) melawan pemerintah dan Kementerian Sekretariat Negara. Dalam sengketa, Kontras meminta pemerintah segera mengumumkan secara resmi hasil penyelidikan tim pencari fakta kasus meninggalnya Munir kepada masyarakat luas.

Kemudian, KIP pada 10 Oktober 2016 dengan mengabulkan permohonan Kontras selaku pemohon. Namun demikian keputusan tersebut dianulir oleh Pengadilan Tata Usaha Negara pada 16 Februari 2017 dengan menyatakan bahwa dokumen TPF Munir dimaksud tidak dikuasai Sekretariat Negara dan tidak ada kewajiban bagi Setneg mencari dokumen yang dimaksud.

“Putusan ini tentunya sangat mengecewakan dan bertentangan dengan semangat kebebasan informasi. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik,” kata Putri.

Terlebih, proses pemeriksaan di PTUN sangat tertutup dan tidak melibatkan pihak-pihak yang bersengketa dalam persidangan.

Pada 7 Maret 2017, Kontras pun mengajukan kasasi atas putusan PTUN soal sengketa informasi ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, belum ada informasi lanjut terkait proses pemeriksaan kasasi tersebut.

“Upaya hukum yang ditempuh ini adalah bukti bahwa negara telah bertindak sewenang-wenang dan mengabaikan aturan hukum yang ada. Bagaimana bisa dokumen penting kenegaraan seperti hasil penyidikan TPF KMM dinyatakan hilang dan tidak dikuasai oleh negara,” jelas Putri. [wah]

Sumber: rmol.co