FOINI Gugat Gubernur Gorontalo ke PTUN Terkait Pengangkatan KI Gorontalo

FOINI Gugat Gubernur Gorontalo ke PTUN Terkait Pengangkatan KI Gorontalo

PTUN

Jakarta – (19/11) Jaringan Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Informasi (Freedom of Information Network Indonesia – FOINI) mengajukan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Manado menyusul diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur Gorontalo No. 323/11/VIII/2015 tentang Pengangkatan Kembali Komisi Informasi Gorontalo Periode 2015-2019. Gugatan diajukan pada 9 November 2015.

Dalam gugatan tersebut FOINI memohon kepada  PTUN Manado untuk menghukum Pemerintah Provinsi Gorontalo agar mencabut SK dan melaksanakan seleksi ulang KI Provinsi Gorontalo.

Pemprov Gorontalo dinilai telah melanggar Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yaitu tidak melaksanakan seleksi anggota KI. Keempat pasal tersebut harus dibaca dalam satu kesatuan. Tidak bisa hanya aturan pengangkatan saja yang dipakai (pasal 33 -red), sementara aturan seleksinya tidak diikuti. Apalagi, SK Gubernur Gorontalo berlaku surut.

Oleh pembuat undang-undang, pasal 33 itu dimaksudkan untuk membatasi masa jabatan anggota KI. “Akhirnya disetujui bahwa masa jabatan anggota Komisi Informasi adalah 4 tahun dengan alasan agar tidak sama dengan masa jabatan presiden yakni 5 tahun” tulis Tim Anotasi UU KIP terbitan Komisi Informasi (2009).

“Bagi anggota komisi yang hendak diangkat kembali, sesuai dengan Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 UU KIP, maka ia juga harus mengikuti tata cara rekrutmen dengan ketentuan yang ada sebagaimana calon lainnya,” jelas Tim Anotasi dalam bagian tanggapan.

Desiana Samosir, Koordinator FOINI menyampaikan bahwa dua tahun belakangan ini ada upaya sistematis dari anggota KI Provinsi petahan untuk memperpanjang masa jabatannya tanpa melalui proses seleksi. Upaya tersebut muncul dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KI pada  September 2014 di Mataram. Salah satu kesepakatannya berbunyi “Menerima rancangan Perki Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Informasi dengan memperhatikan masukkan tentang juklak dan juknis anggota Komisi Informasi Incumbent.

Frasa “memperhatikan masukkan tentang juklak dan juknis anggota Komisi Informasi Incumbent,” oleh mayoritas Komisi anggota KI Provinsi dimaknai sebagai hak Komisi Informasi untuk dapat diangkat kembali tanpa proses seleksi.

“Ini preseden buruk bagi perkembangan keterbukaan informasi publik. Pelayanan informasi di Provinsi terancam terganggu,” kata Desi.

Oleh karena itu, FOINI bergerak untuk memperbaiki kondisi ini. Sebelumnya, FOINI telah mengirimkan surat notifikasi  ke Gubernur Gorontalo, DPRD Gorontalo dan KI Pusat. FOINI meminta kepada para pihak tersebut untuk melaksanakan perannya masing-masing dalam seleksi KI Provinsi Gorontalo. []

Salah Tafsir Pasal 33 Menghambat Pelayanan Sengketa Informasi Publik

Salah Tafsir Pasal 33 Menghambat Pelayanan Sengketa Informasi Publik

photo bakoel coffi

Jumat, 16 Oktober 2015, FOINI menyelenggarakan konferensi pers untuk menyikapi karut marut proses penyelenggaraan Komisi Informasi Provinsi. Berikut merupakan catatan proses tersebut:

 

Desiana Samosir:

Selamat datang rekan-rekan wartawan, siang hari ini kami mengundang kawan-kawan dalam rangka untuk menyampaikan sikap Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) terhadap proses penyelenggaraan Komisi Informasi di tingkat Provinsi.

Terakhir, Pemerintah Provinsi Gorontalo mengangkat anggota Komisi Informasi petahana tanpa proses seleksi. Ini bermasalah. Telah hadir di antara kita sejumlah anggota Koalisi: Dessy Eko Prayitno dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Hendrik Rosdinar dari YAPPIKA dan Bejo Untung dari Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO). Saya persilakan kepada kawan-kawan:

Desi Eko Prayitno:

Mengapa FOINI memperhatikan hal ini? Karena ada kecenderungan dari KI untuk menafsirkan secara gramatikal pasal 30, “dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya”. Mereka menafsirkan ini tanpa melihat proses kewajiban uji kepatutan dan kelayakan. Banyak KI provinsi yang memperkuat tafsir ini. Lalu meminta dukungan kepada Gubernur. Saat di rakornas, ada Banten, Lampung dan sejumlah daerah lain.

Penerjemahan pasal 33 yang diterjamahan secara gramatikal tidak tepat. Seharusnya dibaca bersama pasal 30, 31, 32 dan 34. Ini harus dicegah,  supaya tidak menjalar di Komisi Informasi yang lain.

Pemerintah teledor dan membiarkan kondisi ini berlangsung sehingga dimanfaatkan oleh KI untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Hendrik Rosdinar:

Jika dilihat dari runtutan sejak rakornas di Lombok, ini ada upaya sistematis yang ingin didorong oleh KI secara kelembagaan untuk membajak tafsir padal 33 untuk mempertahankan jabatan para incumbent. Karena, pertama, secara sengaja mereka salah. Ini tindakan sangat buruk yang dicontohkan oleh lembaga negara yang dibentuk dengan semnagat keterbukaan. Hal ini juga menutup peluang putra-putra terbaik untuk menjadi anggota KI karena tidak ada seleksi.

Kedua, ada upaya perbuatan melawan hukum yang sengaja dilakukan. produknya tidak sah. Yang terjadi di Gorontalo tidak sah. Karena bertentangan dengan UU KIP.

Ketiga, ini presenden buruk pada mekanisme pemilihan KI di Pusat dan Provinsi. preseden ini akan bisa digunakan sebagai contoh untuk lembaga negara yang lain. Khawatir ini ditangkap oleh politisi kita untuk menerapkan pada lembaga kuasi negara yang lain.

Kehadiran lembaga kuasi negara semacam KI, harus menjadi ujung tombak percepatan demokrasi di Indonesia. Tapi dengan implementasi yang jauh dari prinsip demokrasi, maka demokrasi akan mengalami kemunduran.

Keempat, sekarang KI sedang menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Aceh, seharusnya kasus Gorontalo ini dijadikan bahan diskusi serius. Jika isu ini tidak dibahas, dugaan saya tadi itu nyata adanya. Jangan-jangan KI berencana untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Bejo Untung:

Tafsir pasal 33 itu kan membatasi masa jabatan KI, hanya boleh dua periode. Mereka boleh dipilih kembali dengan proses fit and proper test. Seperti pada pemilihan presiden. Boleh dipilih kembali setelah melalui pemilu. Logikanya seperti itu. Dengan penafsiran yang sekarang, itu perlu dipertanyakan kapasitas anggota Komisi Informasi. Kalau menafsirkan ini salah, bagaimana menafsirkan UU KIP yang lain. Kalau mereka menafsirkan sesempit itu, bagaimana mereka mendorong  keterbukaan informasi di Indonesia.

Sesi tanya jawab

Bagaimana setelah konpres ini? Apa yang akan dilakukan oleh KI?

Desiana Samosir:

FOINI, salah satu anggotanya Lembaga Pengkajian dan Pembangunan Gorontalo (LP2G) sudah betemu dengan Biro Hukum Pemprov Gorontalo dan menyampaikan mengenai langkah yang salah pada pengangkatan SK KI Gorontalo ini. Mereka menyadari ini salah. Mereka minta bertemu. Kami tak hanya ingin bertemu, tapi secara lebih luas meminta KI Pusat untuk memperhatikan hal ini. Kami akan bersurat dengan Gubernur, DPRD, Kemendagri dan KI Pusat dan memberi waktu selama 30 hari kepada para pihak untuk mencabut SK tersebut. Jika tidak dicabut, kami mengajukan gugatan ke pengadilan.

Dessy Eko Prayitno:

Kita perlu melakukan gugatan untuk memberikan pesan kepada provinsi lain dan KI agar tidak mengulangi kesalahan ini. Jika terjadi hal yang sama dengan Gorontalo akan berdampak buruk pada keterbukaan. Ada dua skema gugatan: (1) Citizen Lawsuit (CLS), kepentingannya Gubernur dan DPRD tidak menjalankan kewajiban hukum (2) gugatan di PTUN, khusus di Gorontalo. Penggugatnya Anggota FOINI yang bisa mendaftar untuk seleksi aggota KI Gorontalo.

Apa kepentingan masyarakat yang dihambat dalam kasus ini? Apa tanggapak KI soal ini?

Desiana Samosir:

KI Gorontalo bermasalah sejak awal. Sekretariat KI Gorontalo dibawah Balai Risti semacam dewan riset daerah. Sementara di provinsi lain dibawah naungan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi. Sekretariat mereka terbatas. Keberadaaan sekretariat saja sudah tidak maksimal. sehingga banyak sengketa yang tidak tertangani dengan baik. Di bawah kondisi ini, lalu tidak ada seleksi untuk memperoleh calon terbaik, maka terancam semakin buruk kinerja KI Gorontalo.

Hendrik Rosdinar:

Pengangkatan kembali Komisioner yang ada sebagai upaya yang sengaja untuk tidak memberikan pelayanan informasi cukup baik. Seharusnya, KI gorontalo bisa bertindak jika sekretariat tidak baik. Ini kan orang yang tidak perform dengan baik kemudian minta diangkat lagi. Ini upaya melanggengkan status quo. Kalau KI di wilayah lain, KI cukup dikenal dan disegani dinas. Ini kecurigaan yang beralasan, jelas-jelas mereka tidak bisa memperjuangkan dirinya sendiri. Jangan-jangan Pemprov menginginkan supaya Pemprov tidak digugat. Ini jangan sampai menjadi modus.

Ada sejumlah modus dalam penyelenggaraan KI ini: pertama, menunda seleksi. di NTT hingga saat ini tidak dibentuk. Sehingga NTT tidak memiliki KI. Kedua, menunda pelantikan, di Kalbar hingga 1 tahun tidak dilantik. Ketiga, mengangkat kembali tanpa proses seleksi seperti yang terjadi di Gorontalo.

Pembacaan pernyataan sikap

Berdasarkan kondisi di atas, FOINI menuntut kepada:

  1. Gubernur Gorontalo dan DPRD Gorontalo untuk mencabut SK No.323/11/VII/2015 dan melakukan seleksi anggota Komisi Informasi Gorontalo sesuai Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU KIP dan Pedoman Seleksi Komisi Informasi.
  2. Komisi Informasi Pusat untuk melakukan pengawasan dan terlibat aktif dalam proses seleksi anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo sesuai Pedoman Seleksi yang telah KI Pusat keluarkan.
  3. Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pengawasan kepada Gubernur dan DPRD dalam pelaksanaan seleksi anggota KI provinsi sebagaimana mandat UU KIP. Hal ini karena telah terjadi fenomena pengabaian terhadap proses seleksi KI provinsi seperti di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat.

 

 

Dari Supply Side ke Demand Side

Dari Supply Side ke Demand Side

Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) mengubah orientasi gerakannya. Dari memperkuat Badan Publik ke masyarakat.

Foto Raker

Kamis sore, 20 Agustus 2015. Jarum jam mulai menuju angka empat. Puluhan peserta sudah duduk rapi di Ruang Komodo, Hotel Falatehan, Blok M. Pria paruh baya berperawakan tak terlalu tinggi sedang berdiri di depan. Cambangnya dibiarkan terurai. Ia terus tersenyum. Alamsyah Saragih. Ia sesepuh FOINI. Anggota Komisi Informasi periode 2009-2013. Pemikiran-pemikirannya mengenai transparansi selalu mengikuti perkembangan terkini. FOINI mengundangnya untuk “menyuntik” gagasan baru.

Di barisan peserta telah bersiap para anggota FOINI: Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Masyarakat Transparansi Aceh (MATA), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau, Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas, Koalisi Anti Korupsi (KoAK) Lampung, PATTIRO Banten, Indonesian Parliamentary Center, Perkumpulan INISIATIF Bandung, PATTIRO Semarang, Komite Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK) Blitar, Gemawan, JARI Kalimantan Tengah, Sloka Institute Bali, Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI) Nusa Tenggara Barat, Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Makassar, TIFA Damai Maluku, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (YAPPIKA), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Transparansi Internasional Indonesia, Sekretariat Nasional FITRA, Indonesia Budget Center (IBC), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

“Kita sekarang menuju generasi kedua transparansi. Keterbukan kini menjadi alat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat,” kata Alamsyah dalam forum rapat kerja tersebut. Jangan sampai titik balik transparansi mengarah pada hal-hal yang kontraproduktif dengan transparansi itu sendiri.

Tanda-tanda titik balik tersebut sudah muncul. Permohonan informasi publik yang hanya main-main dan tidak sesuai dengan tujuan keterbukaan (vexatiuous request) cukup tinggi. Pada 2014, terdapat 1.209 permohonan yang terindikasi vexatiuous request. Ini jumlah yang fantastik. Kalau di negara lain paling banyak 200 per tahun.

Misalnya ada satu pemohon meminta informasi pada satu Badan Publik dengan jumlah permintaan dan frekuensi permintaan yang tinggi. Pemohon membawa hingga ke sengketa informasi. Bukan informasi yang sebetulnya diinginkan oleh pemohon, tetapi “imbalan” dari Badan Publik. Entah dalam bentuk uang cash atau honorarium sebagai narasumber.

“Apa dampak vexatiuous request ini?” tanya peserta.

Badan Publik merasa pelayanan informasi yang mereka bangun hanya menjadi bulan-bulanan peminta informasi yang tidak bertanggungjawab. Tak jarang Badan Publik juga digambarkan kurang baik oleh media karena pelayanan informasinya. “Ada demotivasi Badan Publik,” kata Alamsyah.

Archon Fung (2007) —dari John F. Kennedy School of Government, dalam studinya menemukan sebagian besar kebijakan transparansi melemah seiring waktu dan sesungguhnya tak ada yang disebut dengan keterbukaan penuh. Ia kemudian menawarkan konsep transparansi terarah (targeted transparency), sebagai generasi berikutnya setelah generasi hak untuk tahu.

Tanda arus balik berikutnya berupa pelanggaran terhadap data pribadi. Bersamaan dengan implementasi UU KIP, perkembangan di usaha dan penerapan sistem data kependudukan berbasis elektronik menyebabkan gejala pelanggaran terhadap data pribadi bermunculan. Dengan diberlakukannya sistem jaminan sosial bagi warga negara, diperkirakan benturan kepentingan dalam mengakses data pribadi akan terus meningkat.

Transparansi yang berhasil dan menguat ditandai dengan keterkaitan antara informasi dan aksi, baik pada pengguna maupun penyedia informasi (discloser). Membuka informasi yang dibutuhkan mesti pada saat, tempat dan cara yang memberi kemungkinan mereka bertindak. Untuk itu, transparansi harus menyentuh rutininitas proses pengambilan keputusan pengguna maupun penyedia.

Alamsyah merekomendasikan sejumlah hal untuk mengantisipasi titik balik tersebut: (i) membangun sistem perlindungan bagi perangkat badan publik dari upaya pemerasan; (ii) Komisi Informasi menerbitkan pedoman pengecualian informasi, pengelolaan informasi sensitif, dan petunjuk teknis layanan informasi berbasis sektor (targeted); (iii) Komisi Informasi segera menerapkan ketentuan mitigasi layanan informasi terhadap permohonan yang mengganggu (vexatious); (iv) menetapkan ‘tema tahunan’ dalam pemeringkatan Badan Publik oleh Komisi Informasi seiring penerbitan regulasi spesifik untuk keterbukaan informasi sektoral; (v) menghapus restriksi Surat Keterangan Terdaftar dalam fungsi layanan publik, termasuk layanan informasi; (vi) menginisiasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, dan membentuk sistem dua kamar di Komisi Informasi.

Sehari sebelumnya, 19 Agustus, FOINI mengidentifikasi capaian. “Suntikan” ini rupanya sesuai dengan modal yang dimiliki foini.

Lima tahun terakhir FOINI berhasil mendorong terbentuknya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di 18 Provinsi dan Komisi Informasi (KI) Provinsi Sumatra Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Di masyarakat, komunitas jurnalisme warga, komunitas anggaran dan komunitas pemuda berhasil diinisiasi oleh FOINI.

PPID merupakan organ yang dimandatkan oleh UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) untuk menjamin dokumentasi dan pelayanan informasi pada Badan Publik. Pemohon dapat bersengketa di KI jika tidak memperoleh informasi. Kedua institusi ini saling mendukung untuk menciptakan iklim keterbukaan.

“Kalau sudah terbuka, terus apa?” tanya Hendrik Rosdinar, fasilitator raker.

“Kita mesti fokus ke isu-isu sektoral, bahkan lebih spesifik. Misalnya, di isu lingkungan ada perizinan tambang,” jawab Dessy Eko Prayitno, mewakili ICEL.

Hendrik mengambil spidol, lalu menuliskan isu-isu strategis yang diusulkan oleh peserta: desa, parlemen, buruh migran, pilkada, Jaminan Kesehatan Nasional dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), perizinan dan agraria, dan keterbukaan aparat penegak hukum. Daftar isu itu ditempel di depan forum untuk dibahas satu per satu.

“Bagaimana kalau kita menyebutnya arena saja, supaya lebih spesifik” kata Hendrik meminta persetujuan.

“Setuju!”

“Mari kita rumuskan cita-cita perubahan yang hendak dicapai dan agenda-agenda bersama untuk mencapai cita-cita tersebut dalam diskusi kelompok. Kita tidak definisikan hingga ke kegiatan sebagaimana raker sebelumnya” jelas Hendrik.

Hasil diskusi kelompok menjadi wilayah kerja FOINI dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. Dengan adanya isu yang spesifik dan sektoral lebih mudah bagi FOINI untuk mengidentifikasi masalahan masyarakat dan kebutuhan mereka terhadap informasi.

***

“TII tidak bersedia untuk menjadi koordinator FOINI mengingat sumberdaya yang kami miliki terbatas,” kata Agus Sarwono.

Hendrik mencoret TII dan nama-nama lembaga yang sudah ditulis pada kertas plano: PATTIRO, PUSAKO, Perkumpulan INISIATIF, KOPEL, YAPPIKA. Menyisakan satu kandidat: IPC

“Ya sudah, kalau begitu IPC yang menjadi sekretariat. Bagaimana? setuju?” kata Hendrik.

“Setuju!”

“Selamat kepada IPC!”

Terhitung semenjak, 21 Agustus 2015 koordinator nasional FOINI beralih dari PATTIRO ke IPC. Tugas koordinator mencakup tiga fungsi: (1) clearing house meliputi pengelolaan website kebebasaninformasi.org, milis dan media informasi lainnya, (2) fungsi advokasi terhadap anggota dan masyarakat pada isu keterbukaan informasi publik dan (3) capacity building atau peningkatan kapasitas dengan cara sharing pengetahuan antar anggota.[Ahmad Hanafi]

Masyarakat Sipil Kalimantan Barat Susun Kertas Posisi Percepatan Pelantikan Komisi Informasi Kalimantan Barat

DPRD Provinsi Kalimantan Barat telah berhasil memilih 5 orang Komisioner Komisi Informasi dan diumumkan DPRD melalui surat No. 162/139/DPRD-D pada tanggal 21 Agustus 2014. Namun, hingga 10 November 2014 Komisi Informasi Kalimantan Barat belum juga dilantik oleh Gubernur Kalimantan Barat.

Menyikapi kondisi tersebut, elemen masyarakat sipil di Kalimantan Barat mengkonsolidasikan diri menyusun kertas posisi percepatan pelantikan Komisi Informasi Kalimantan Barat. Selain itu, masyarakat sipil juga berkonsolidasi menyusun kertas kerja untuk Komisi Informasi Kalimantan Barat 5 tahun ke depan. Dalam forum konsolidasi tersebut, hadir pula 3 orang Komisi Informasi Kalimantan Barat terpilih.

Dalam forum konsolidasi tersebut, IPC hadir dan berbagi pengalaman assesmen tentang kelembagaan dan kinerja Komisi Informasi di 9 Komisi Informasi Provinsi bekerjasama dengan simpul FoINI lainnya.  Hasil assesment tersebut menjadi referensi terkait pilihan kelembagaan, anggaran dan konsep Komisi Informasi yang ideal sehingga dapat membantu elemen masyarakat sipil Kalimantan Barat menyusun rancang bangun Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat (Desiana Samosir).

BPS Siap Lengkapi Data dan Perbaiki Layanan

BPS Siap Lengkapi Data dan Perbaiki Layanan

Jakarta,-Berkaitan dengan ketentuan Undang-Undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Badan Pusat Statistik terus melakukan upaya untuk menyesuaikan dengan aturan yang ada. Salah satu caranya membuka informasi data seluas-luasnya melalui website.

“Menurut saya mungkin belum seratus persen, tapi kita terus melengkapi informasi di sana,” ungkap Kepala BPS Dr. Suryamin ketika ditemui kebebasaninformasi.org selepas diskusi Open Indonesia Forum (OIF) dengan tema “Integritas Layanan Informasi BPS” yang akan diselenggarakan PATTIRO Rabu, (17/9) di Akmani Hotel, Jakarta Pusat.

Menurut dia, di website yang berlamat di bps.go.id tersebut BPS sudah mengunggah banyak data yang paling tua data statistik tahun 1978. “Kita bagi di dalam subyek, misalkan data kependudukan, perekonomian, pertanian. Di sana ada sekelompok subyek untuk kependudukan, untuk ekonomi ada inflasi ada ekspor impor, kemudian untuk pertanian ada produk petani, jumlah petani, luas pertanian, jenis-jenis tanaman, segala macam sudah ada di situ,” terangnya.

Tapi memang, kata dia, tidak sampai pada data mikro semisal alamat seseorang karena data yang diunggah BPS adalah data yang anonymus, tidak boleh terdeteksi sampai ke tingkat itu.

Ia meminta pada masyarakat untuk mengunjungi website tersebut serta memanfaatkan data-datanya. Ia juga berharap supaya bisa bekerja sama dengan mengisi angket dan memberikan masukan untuk pelayanan website tersebut.

“Silahkan, kalau ada data BPS atau minat supaya data tersebut ada di BPS itu disampaikan karena bisa jadi data tersebut tidak ada di BPS,” tambahnya.

Untuk itu, pihaknya sudah melakukan sosialisasi pada masyarakat melalui pertemuan-pertemuan, pameran, membagi-bagikan brosur, serta seminar-seminar.

Sejauh ini, lanjut dia, dari sisi pendidikan, pengguna BPS masih didominasi mahasiswa untuk makalah dan skripsi serta anak sekolah menengah atas untuk tugas akhir. “Itu paling banyak. Tapi kalau ingin melihat lebih jelas siapa yang mengakses data BPS, silakan kunjungi website kami, di situ ada keterangannya,” imbuhnya. (AA)

Lembaga Mandiri Ditunjukkan dengan Anggaran Mandiri

Lembaga Mandiri Ditunjukkan dengan Anggaran Mandiri

Komisi Informasi (KI) terus didorong untuk menjadi lembaga yang mandiri untuk menjalankan fungsinya dengan maksimal. Selama ini lembaga tersebut, terutama dalam anggaran, masih menginduk pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Alhasil, lembaga tersebut mendapat banyak hambatan.

Untuk mengetahui bagaimana hambatan-hambatan Komisi Informasi yang tidak mandiri dari sisi anggaran, kebebasaninformasi.org mewawancarai Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Dian Puji N. Simatupang di di Hotel Harris, Jakarta, Jumat (29/8) selepas Diskusi Ahli tentang Perencanaan Anggaran Negara yang diselenggarakan Indonesia Parliamentary Center. Berikut petikannya

Dari sisi ahli keuangan, apa usulan Anda untuk kemandirian Komisi Informasi?

Sebaiknya Komisi Informasi punya  anggaran sendiri di dalam APBN karena dia konsekuensi sebagai lembaga yang melaksanakan sebagian fungsi urusan pemerintahan. Dia punya nomenclatur tersendiri. Jadi tidak menginduk pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Apa anggaran menunjukkan kemandirian sebuah lembaga?

Pasti , bahwa kemandirian itu kan ditunjukkan dengan anggaran. Kalau tupoksinya mandiri, tapi anggarannya tidak mandiri, berarti dia bukan badan yang mandiri. Padahal tugas dan fungsinya mandiri. Berarti konsekuensi terhadap anggaran harus yang mandiri juga sehingga dia punya ketersediaan anggaran yang tidak diikat oleh lembaga lain.

Kenapa pemerintah menetapkan KI dalam posisi semacam itu?

Nah, itu patut dipertanyakan dulu mengapa. Jadi paradoks, di satu sisi di pasal 29 itu dinyatakan sebagai badan atau lembaga mandiri, tetapi di sisi lain, anggaranyya di Kementerian Kominfo, di tempatkan di situ lho. Kemandiriannya dimana kalau begitu. Jadi paradoks begitu ya antara dia sebagai mandiri.

Dari secara ahli keunganan itu salah?

Oh iya, pasti itu tidak konsisten. Jadi kalau ada suatu lembaga dinyatakan lembaga mandiri, berarti kan nomenclatunya berarti dia punya basis anggaran yang juga sendiri karena dia kan tupoksinya itu bersifat tidak ada persedian lain untuk melaksanakan tugas dan fungsinya begitu. Itu secara keuangan memang sangat bergantung kepada UU-nya. Kementerian Keuangan kan bergantung Undang-Undangnya bilang begitu ya tidak mau memberikan.

Dengan statusnya yang tidak mandiri seperti, dampak gangguan terhadap kinerja Komisi Informasi itu bagaimana?

Pasti besar pengaruhnya karena bagaimanapun optimalisasi tujuan si lembaga sangat bergantung pada besaran anggaran fleksibilitas dari penggunaan anggaran itu. Kalau misalnya pembatasan itu dibatasi lembaga, optimalisasi tugas dan fungsi ya pasti terbatas.

Terus bagaimana sebaiknya?

Usulan pertama sebaiknya, mengusulkan ke Kementerian Komunikasi untuk membuat surat ke Kementerian Keuangan untuk mengusulkan Komisi Informasi memiliki dana operasional dalam rangka menyelesaikan sengketanya. Itu kan Menteri Keuangan akan menyampaikan kepada presiden untuk diterbitkan Kepres tentang dana operasionalisasi dana sengketa di Komisi Informasi. Nah, itu akan lebih meringankan Komisi Informasi dalam menyelesaikan sengketa informasi karena dananya sudah siap sedia. Jadi tidak tergantung oleh yang lain-lain.

Yang kedua adalah tentu perubahan Undang-Undang Keterbukaan Infromasi Publik (KIP), dengan menyatakan bahwa anggaran KIP tidak lagi di Kementerian Kominfo, tetapi memiliki anggaran tersendiri di APBN. Kepres dana operasialisasi dan perubahan UU KIP. Dua itu yang sangat mungkin dan efektif. Kalau RUU kan jauh dan lama banget, tapi kalau Kepres bisa dengan administrasi.  Kepres bisa langsung tanpa UU karena itu wewenang pemerintah. Nanti, mungkin kalau Kepres ditetapkan sekarang pada saat Jokowi bisa pada masa anggaran berikutnya sudah bisa.

Kemungkinannya dengan pemerintahan baru bagaimana untuk itu?

Ya kita berharap ada perubahan politik paradigma baru memahami bahwa keterbukaan informasi cepat dan lebih baik. Jokowi kan kan katanya menekankan e-budget segala macam e, e, begitu, itu kan maksudnya akses yang sangat mudah. Itu salah satunya dengan penguatan Komisi Informasi.

Idealnya, lembaga seperti Komisi Informasi itu per tahun mendapat anggaran berapa?

Ya itu tergantung porsinya dan ruang lingkup kewenangan ideal dan tidak idealnya. Tapi intinya memang bergantung profesionalitas kinerjanya. Begini saja, sepanjang dia bisa melaksanakan tugas dan fungsinya dengan ketentuan Undang-Undang, ya itu harus dipenuhi. Selama ini sudah tidak terpenuhi, juga ada batasan karena dibatasi kementerian induknya.

Dari sisi ahli keuangan apa pentingnya UU No 14 2008 untuk konteks Indonesia?

Penting sekali dalam rangka, bahwa akuntabilitas dan transparansi dengan undang-undang ini maka jelas akses publik terhadap penanggungjawaban anggaran semakin besar sehingga anggaran APBN untuk mencapai tujuan bernegara juga semakin besar.