Upaya Eliminasi BUMN sebagai Badan Publik

Upaya Eliminasi BUMN sebagai Badan Publik

Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) menilai saat ini terjadi beberapa peristiwa yang bisa dikatakan sebagai upaya sistemik untuk mengeliminasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai badan publik yang mempunyai kewajiban memberikan informasi kepada publik sesuai dengan ketentuan Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

“Peristiwa pertama adalah pengajuan Judicial Review(Uji Materi) terhadap UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang diajukan Forum Hukum BUMN dan Pusat Pengkajian Masalah Strategis Universitas Indonesia (PPMSUI),” ujar Direktur Eksekutif Pattiro Sad Dian Utomo pada keterangan tertulis, Jakarta, Jumat (22/11/2013).

Peristiwa kedua, lanjut Sad Dian, gugatan PT Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah) kepada Komisi Informasi Pusat (KIP) atas keputusan KIP mengenai sengketa informasi publik nomor register 087/III/KIP-MS-A/2012. Hal tersebut memutuskan, informasi yang diajukan oleh pemohon adalah informasi publik dan mengharuskan BNI Syariah memberikan informasi tersebut kepada pemohon.

“PT BNI Syariah menggugat Keputusan KIP tersebut melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menyatakan PT BNI Syariah adalah anak perusahaan BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT), bukan BUMN atau badan publik sehingga tidak tunduk pada UU KIP,” ujar Sad Dian.

Sedangkan peristiwa ketiga, tambah Sad Dian, mengenai gugatan Universitas Putera Batam (UPB) terhadap putusan Komisi Informasi Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang memutuskan UPB untuk memberikan informasi hasil ujian yang diminta oleh 11 mahasiswanya, melalui Pengadilan Negeri Batam.

“Meskipun peristiwa ini tidak ada kaitannya dengan BUMN, namun keputusan yang akan diambil oleh Pengadilan Negeri bisa menjadi yurisprudensi bagi pengadilan negeri lainnya terhadap gugatan terhadap putusan sengketa informasi. Padahal jelas-jelas, suatu perguruan tinggi merupakan badan publik,” ujar Sad Dian.

Menurutnya, pasal 1 ayat 3 UU KIP (UU No 14 tahun 2008), Publik yang dimaksud dengan Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lainnya yang berfungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.(rez) (wdi)

Sumber: okezone.com

Judul Asli: Ada Upaya Sistemik Mengeliminasi BUMN sebagai Badan Publik

DBH SDA Tidak Transparan Timbulkan Masalah

DBH SDA Tidak Transparan Timbulkan Masalah

IDEA-PWYP

Jakarta – Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam selama ini informasinya tertutup. Oleh karena itu, wajar jika memunculkan banyak masalah. Sedikit masyarakat yang memantau. Demikian salah satu poin kesimpulan yang disampaikan oleh Wasingatu Zakiah pada seminar nasional “Pengelolaan Pendapatan Migas dan Pertambangan di Indonesia” di Jakarta (26/06).

Peneliti IDEA Yogyakarta (Institute Development and Economic Analysis) tersebut telah menemukan lima masalah utama permasalahan di antara pemerintah pusat dan daerah pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (BNBP) sektor pertambangan. Masalah tersebut yaitu sejumlah perusahaan tidak menyampaikan bukti setor ke PNBP, terbatasnya data hasil rekonsiliasi antara pusat dan daerah, IUP (Izin Usaha Pertambangan) tidak  dilaporka ke pemerintah pusat, terdapat peraturan daerah yang menetapkan PNBP SDA disetor ke kas daerah, dan kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap pengelolaan IUP. “Ada yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah” jelas Zakiah.

Masalah-masalah yang muncul tersebut berkontribusi pada berkurangnya alokasi DBH di daerah-daerah penghasil tambang seperti Kalimantan Timur. Lifting Gas Bumi dan Minyak Kaltim berkontribusi sebanyak 45,08% dan 16,53%. Akan tetapi, APBD 2013 Kaltim sebesar Rp. 13 T. “ini jauh di bawah APBD DKI Jakarta yang lebih dari Rp. 40T, sementara DKI hanya memiliki sektor jasa dan industri.” Ungkap Ujang Rahmadi, Kepala Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Daerah Kalimantan Timur.

DBH merupakan salah satu komponen perwujudan “dikuasai oleh negara” dalam UUD 1945 pasal 33. Oleh karena itu, harus “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Kalau pengelolaan DBH seperti ini, “lalu dimana letak klausul dikuasai,” pungkas Zakiah.[]

Laporan Perusahaan Migas ke EITI, Banyak Tak Lengkap

Laporan Perusahaan Migas ke EITI, Banyak Tak Lengkap

Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia menyebutkan, banyak perusahaan di sektor minyak dan gas bumi (migas) serta pertambangan mineral dan batubara yang beroperasi di Indonesia, tidak melengkapi pelaporan kepada lembaga EITI.

Extractive Industry Revenue Specialist EITI, Ambarsari Dwi Cahyani mengungkapkan, perusahaan-perusahaan yang tidak melengkapi laporan ke EITI berpotensi dapat menurunkan iklim investasi yang buruk di mata dunia internasional. Dia menambahkan, juga terjadi perbedaan pelaporan keuangan kepada negara dari perusahaan tambang yang ada di Indonesia. Perbedaan terjadi pada ketidaklengkapan atas pelaporan partisipan dari pelaku usaha industri migas.

“Banyak pelaku usaha di sektor migas yang tidak dapat melaporkan dengan ketetapan batas waktu yang ditetapkan,” kata Ambarsari di gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (4/6).

Ambarsari menjelaskan, laporan keuangan dari perusahaan migas dalam laporan catatan penerimaan negara dari sektor migas dan pertambangan untuk pajak dan bukan-pajak untuk tahun kalender 2009, yaitu sebesar Rp 251,7 triliun.

Laporan EITI Indonesia menunjukkan, perusahaan-perusahaan pertambangan mineral (emas, tembaga, nikel, timah dan bauksit) ini memberikan kontribusi sebesar Rp 12,5 trilyun pajak penghasilan dan Rp 12,5 triliun royalti.

“Sementara perusahaan-perusahaan pertambangan batubara dalam laporan ini memberikan kontribusi sekitar Rp 10,4 triliun pajak penghasilan dan Rp 13,5 triliun royalti,” tutur Ambarsari.

Perlu diketahui, EITI adalah lembaga yang mempunyai kewenangan memonitoring untuk transparansi penerimaan dan pendapatan hasil tambang. Serta lembaga tersebut ditunjuk berdasarkan Peraturan Presiden No.26 tahun 2010 terkait transparansi pendapatan negara dan pendapatan daerah yang diperoleh dari industri migas. Dan terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat sipil serta diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian.

Sumber: Jaring News

David W Brown: Penerimaan Pemerintah Lebih Besar dalam Laporan EITI 2009

David W Brown: Penerimaan Pemerintah Lebih Besar dalam Laporan EITI 2009

ilustrasi www.eiti.ekon.go.id

ilustrasi www.eiti.ekon.go.id

 

Jakarta (20/05) – Bulan Mei 2013 ini merupakan tenggat akhir bagi EITI Indonesia untuk menyerahkan laporannya ke EITI International. Laporan tersebut penting untuk menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mendorong transparansi penerimaan di sektor minyak bumi, gas dan pertambangan. Setelah laporan disubmit, maka Indonesia tinggal menunggu untuk mendapatkan status negara yang “patuh” terhadap EITI.

David W Brown, Penasehat EITI Indonesia memberikan pandangannya terhadap laporan EITI 2009 kepada publik. Menurutnya, laporan terebut menunjukkan bahwa Indonesia memperoleh pendapatan yang besar dari sektor ini, yaitu USD 20,712 Milyar. “Ini merupakan jumlah yang cukup besar dari negara-negara EITI di dunia. Jumlah tersebut hanya dilampaui oleh Irak, Nigeria dan Norwegia” Jelasnya.

Menurut Brown, Indonesia merupakan salah satu negara yang memilki kompleksitas yang tinggi dalam pengelolaan sektor migas dan tambang. Karena semua diatur dalam latarbelakang desentralisasi. Meski demikian, EITI Indonesia telah berhasil merekonsiliasi antara laporan setoran perusahaan migas dan tambang dengan laporan penerimaan pemerintah dari sektor ini. Laporan kali ini mencakup 50 perusahaan Migas, 15 perusahaan mineral dan 53 perusahaan batubara.

 

Akan tetapi, Brown memberi catatan bahwa laporan EITI 2009 cukup unik. Jumlah penerimaan pemerintah ternyata lebih tinggi daripada laporan perusahaan. “Ini tentu menyimpang dari yang kita harapkan. Yaitu, perusahaan membayar lebih banyak dari yang diterima pemerintah” ulasnya. Misalnya, nilai lifting. Perusahaan dilaporkan membayar ke pemerintah USD 767 juta, sementara Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak (BNBP) dilaporkan menerima USD 797 juta. “Dengan kata lain, pemerintah ingin mengatakan bahwa, secara keseluruhan, USD 29 Juta tidak dibayarkan operator” pungkasnya. [AH]

Informasi lebih lanjut: http://bit.ly/ZjtwCG

Indonesia Duduki Peringkat 14 dalam Indeks Tata Kelola Sumberdaya

Indonesia Duduki Peringkat 14 dalam Indeks Tata Kelola Sumberdaya

 

RGIJakarta (16/05) – Indonesia menempati peringkat 14 dalam Indeks Tata Kelola Sumberdaya (Resources Governance Index/RGI). RGI merupakan salah satu index untuk mengukur kualitas tata kelola pemerintahan dalam sektor minyak, gas dan pertambangan di 58 Negara. “Laporan ini sangat baik buat pemerintah. Kita bisa lebih jauh melihat apa yang bisa disiapkan oleh pemerintah” ungkap Jajang Sukarna dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia.

Menurut Jajang, Indonesia dulu punya pengalaman memperoleh skor buruk dalam berbagai indeks. Dengan tingginya skor Indonesia dalam RGI ini merupakan kabar baik. “Memang masih banyak masalah. Terutama di UU Pertambangan dan UU Minyak dan Gas belum secara spesifik mengadopsi klausul keterbukaan informasi. Tapi, ini hanya masalah waktu,” Jelasnya.

Ridaya Laodengkowe, salah satu anggota Koalisi Publish What You Pay Indonesia melihat lain hasil RGI ini. Ridaya menilai bahwa isu transparansi sempat mengalami tingkat yang sangat tinggi hingga ke daerah. Akan tetapi, pada kenyataannya paradigma ketertutupan masih kuat di level birokrasi pemerintahan. “Dulu laporan-laporan BPK sempat dipublikasikan di website lembaga negara, akan tetapi banyak yang kemudian ditarik lagi. Termasuk gap informasi transfer pusat ke daerah. Inilah mengapa, dalam RGI ini kontribusi keterbukaan laporan rendah.” tutur Ridaya.

Sementara Purbaya Budi Santosa, pengamat ekonomi menambahkan bahwa salah satu indikatir yang seharusnya berkontribusi besar untuk mendorong transparansi di sektor industri ekstraktif ini nilainya rendah. “EITI yang seharusnya merupakan program andalan untuk mendorong transparansi di sektor ini berjalan dengan lambat. Oleh karena itu, seharusnya RGI ini bisa dijadikan alat pendorong meningkatkan peran EITI,” sarannya.

RGI sendiri merupakan index yang diinisiasi oleh Revenue Watch Institute. Dalam presentasinya, Mattheu Solomon, perwakilan RWI, menyampaikan bahwa ada empat indikator utama yang dijadikan penilaian. Yaitu, susunan kelembagaan dan hukum, praktek-praktek pelaporan, upaya perlindungan dan pengendalian kualitas, dan lingkungan yang mendukung. Pada RGI 2013 ini, tiga peringkat tertinggi ditempati oleh Norwegia, Amaerika Serikat (Gulf of Mexico), dan Inggris. Sementara dua peringkat terbawah diduduki oleh Turkmenistan dan Myanmar. Salah satu basis RGI ini adalah keterbukaan. Pada acara peluncuran RGI tersebut dihadiri oleh peserta dari berbagai unsur, baik masyarakat sipil, lembaga penyelenggara negara ataupun perusahaan ekstraktif[AH]

Info lebih lanjut tentang RGI: www.revenuewatch.org/rgi

Kontrak Konsesi Merupakan Informasi Publik

Kontrak Konsesi Merupakan Informasi Publik

Mohamad Mova al-Afghani

Mohamad Mova al-Afghani

Jakarta – (14/05) Sulitnya mengakses informasi kontrak antara pemerintah dan pihak ketiga mendorong para aktifis keterbukaan informasi meneliti lebih lanjut. Muhammad Mova, salah satu pegiat Freedom of Information Network Indonesia, menerbitkan Seri Anotasi: Pasal 11 (1) (e) tentang Perjanjian Badan Publik dengan Pihak Ketiga. “Penelitian ini merupakan penelitian awal yang hasil dapat dijadikan panduan bagi Komisi Informasi dalam memutus sengketa di masa yang akan datang” jelasnya.

Dalam makalah tersebut, Mova menjelaskan bahwa terdapat penyerahan kewenangan pemerintah kepada pihak ketiga dalam kontrak konsesi ataupun izin. Sebagian kewajiban-kewajiban pemerintah dalam pelayanan publik “didelegasikan” kepada pihak ketiga. Tugas tugas yang diemban oleh penerima konsesi dan tercantum dalam perjanjian konsesi pada hakekatnya merupakan tugas tugas pemerintahan. “Dengan demikian, penerima konsesi dapat dianggap sebagai pejabat publik yang mengerjakan tugas-tugas pemerintahan. Demikian juga dengan dokumen dimana di dalamnya terdapat delegasi kewenangan tersebut bersifat terbuka” tegasnya.

Akan tetapi, pada kenyataanya permintaan informasi kontrak dan konsesi sulit untuk diakses. Sebagian besar badan publik dan kontraktor khawatir kalau informasi kontrak ini dibuka akan terjadi gugatan wan prestasi. “Inilah yang terjadi antara KRUHA (Konsorsium Rakyat untuk Hak Atas Air) terhadap PDAM dan Palyja pada kasus sengketa informasi kontrak konsesi pengelolaan Air di Jakarta” ungkap Mova.

Di akhir makalah, Mova memberikan rekomendasi bahwa mengintegrasikan lebih lanjut kebijakan “active disclosure” kontrak dalam UU KIP kedalam peraturan sektoral, seperti peraturan pengadaan barang dan aturan pelaporan keuangan badan publik. Komisi Informasi tidak akan mampu untuk bekerja sendirian dalam garda terdepan transparansi di Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan transparansi perlu diinstutionalisasikan kepada peraturan sektoral dan lembaga negara lainnya. [AH]

Baca makalah selengkapnya di: http://ku.pancar.in/6B+