PTUN Menangkan FWI atas Gugatan Kemen-ATR terkait Dokumen HGU Kelapa Sawit

PTUN Menangkan FWI atas Gugatan Kemen-ATR terkait Dokumen HGU Kelapa Sawit

KebebasanInformasi.org – PengadilanTata Usaha Negara menggelar sidang putusan antara Forest Watch Indonesia (FWI) sebagai Termohon dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) sebagai Pemohon, di ruang sidang PTUN Jakarta, Rabu (14/12).

Putusan Majelis Hakim PTUN menguatkan amar putusan Komisi Informasi (KI) Pusat yang menyatakan dokumen HGU Perkebunan Kelapa Sawit sebagai informasi terbuka.

Linda Rosalina, Pengkampanye FWI, menyambut baik putusan PTUN tersebut sekaligus meminta Kementrian ATR berbesar hati menerimanya dengan membuka atau memberikan yang diminta. “Kita berharap ATR BPN berbesar hati menerima putusan PTUN. Karena tidak ada alasan lagi buat mereka menutup-nutupi dokumen HGU itu,” jelas Linda, seusai sidang, Rabu (14/12/2012).

Ia juga mengungkapkan, perkara serupa sebenarnya sudah diputus oleh MA yang menyatakan dokumen tersebut terbuka. “Sebelumnya juga telah terdapat dua putusan serupa dengan jenis dokumen sama yang dikeluarkan PTUN Samarinda dan Mahkamah Agung RI. Teman-teman Walhi Bengkulu sudah (menang) kasasi di MA pada permohonan informasi yang sama,” papar Linda.

Oleh karena itu, ia berharap, selain menerima putusan PTUN, Kementerian ATR juga merevisi dan memperbaiki pelayanan publiknya. Mengacu pada putusan tersebut, maka dokumen HGU yang dikecualikan itu semestinya dibuka. Langkah sederhana tersebut penting guna mengembalikan kepercayaan publik kepada Kementerian ATR. Mengingat, dari proses yang selama ini FWI jalani, tampak selaki bahwa ATR BPN bersikukuh menutup-nutupi dokumen HGU itu.

“Kita sebagai publik ngin berpartisipasi. Kami berharap sekali BPN mau menunjukan keterbukaannnya. Yang terpenting momen putusan PTUN ini, kami berharap juga BPN merevisi kebijakan tentang pelayanan informasi publik,” kata Linda.

“Sudah banyak putusan sama, yang menyatakan dokumen itu terbuka. Sekarang kan data-data yang kita minta itu mereka (Kementerian ATR) kecualikan. Kami berharap itu direvisi dan juga memperbaiki pelayanan informasi publiknya. Jadi upaya sederhana macam itu bisa mengembalikan kepercayaan publik terhadap ATR BPN,” tambahnya.

Jalan Berliku FWI Mendorong Keterbukaan Informasi di Sektor Kehutanan

Jalan Berliku FWI Mendorong Keterbukaan Informasi di Sektor Kehutanan

Gambar: fwi.or.id

Foto : fwi.or.id

KebebasanInformasi.org – Sejak berlaku efektif tahun 2010, penerapan Undang-undang (UU) Kebebasan Informasi Publik (KIP) Tahun 2008 masih banyak menghadapi tantangan dan hambatan. Di antara yang menjadi sorotan ialah implementasinya di sektor kehutanan dan sumberdaya alam.

Hal tersebut diungkapkan Linda Rosalina dari Forest Watch Indonesia (FWI). Padahal, menurutnya, jika dilihat dari modalitas untuk melaksanakan UU KIP, sudah hampir dikatakan cukup. Mulai dari pembentukan Komisi Informasi, pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, hingga aturan teknis terkait KIP. Meski demikian, badan publik masih terlihat kesulitan dalam menerapkan keterbukaan.

Hal ini tercermin dari pengalaman Linda bersama FWI mengajukan permohonan informasi ke Kementerian Kehutanan (Kemenhut) pada tahun 2013, yang ketika itu belum digabung dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seperti saat ini.

Saat itu FWI meminta dokumen dan data-data terkait dengan pengelolaan pemanfaatan hutan termasuk industri kehutanan. Kebutuhan atas dokumen dan data tersebut diperlukan FWI guna pemantauan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). “SVLK ini satu inisiatif dari pemerintah yang legal dengan harapan untuk keberlanjutan usaha kehutanan,” kata Linda.

Sebagai lembaga yang berkonsentrasi di pemantauan hutan, FWI merupakan host dari jaringan pemantauan kehutanan, di mana FWI masuk juga dalam sistemnya Kemenhut. Oleh karena itu, ada hak sebagai sebagai masyarakat sipil maupun pemantau independen kehutanan untuk mendapatkan informasi. “Dari dasar hukumnya sudah kuat,” tegas Linda.

Data dan dokumen yang dimohon FWI tidak didapat, hingga akhirnya hal ini berujung sengketa di Komisi Informasi (KI) Pusat. “Sebelumnya sejak awal berdiri, FWI juga mendorong keterbukaan. Karena FWI sendiri juga lembaga penyedia alternatif data . Tapi 2013 kita coba lakukan via formal (ke Kemenhut) sampai akhirnya sengketa di KI,” tuturnya.

Namun hasilnya, KI menolak gugatan karena saat itu, FWI sebagai badan hukum tidak lolos legal standing. “Waktu itu kita tidak punya SK Kemenkumham, karena hanya ada akte karena bentuknya masih yayasan. Oleh karena itu kita coba berbenah identitas diri.”

Perjuangan tidak berhenti. Meski gugatan FWI ditolak, hal itu tidak menggugarkan hak publik untuk mendapatkan informasi. Pada tahun 2014, mereka pun melakukan permohonan jenis dokumen dan data yang sama melalui jalur individu.

Langkah tersebut menemukan titik terang. Jika sebelum-sebelumnya tidak ada tanggapan sama sekali, sejak pengajuan permohonan, keberatan, sampai akhirnya sengketa, kali ini Kemenhut meresponnya. Pihak Kemenhut bahkan mengajak musyawarah yang menghasilkan kesepakatan tidak tertulis, bahwa mereka akan memberikan dokumen yang diminta sehingga tidak perlu lagi ada sengketa di KI Pusat.

FWI mengapresiasi Kementerian yang telah menunjukan upaya untuk terbuka itu. Tetapi ternyata, apa yang telah disepakati itu tidak dijalankan oleh Kementerian. “Dan memang waktu itu tidak tertulis, tidak ada berita acara,” kata Linda.

“(Saat itu Kemenhut dan KLH) sudah digabung KLHK. Mereka memang merespon permohonan kami, tapi dokumen yang dari awal kita minta itu dirahasiakan atau dikecualikan,” tambahnya.

FWI pun kembali membawa masalah ini ke KI Pusat. Terlebih, badan hukum FWI sudah dibenahi dan FWI telah memiliki SK Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). “Pada permintaan informasi ketiga di tahun 2014 akhir, kita ajukan kembali (sengketa ke KI Pusat.”

Dengan menghadirkan para saksi ahli dan sebagainya, KI Pusat memenangkan gugatan FWI. Tapi KLHK tak mau menyerah. Mereka menempuh banding di PTUN dan hasilnya FWI tetap memenangkan sengketa tersebut. “Sampai sekarang, dokumennya sedang dieksekusi. Sudah satu tahun lebih.”

“Sebenarnya sudah selesai, cuma kita minta klarifikasi saja dengan teman-teman di KLHK. Karena dokumen yang kita minta itu ialah dokumen tentang pemanfaatan dan pengolan hutan dan input industri kehutanannya se-Indoensia. Dari list yang mereka kasih terakit perusahaan per dokumennya dan bentuk fisik yang kita salin itu tidak sinkron. Karena yang kita minta itu plus lapiran peta. Jadi ada dokumen, nggak ada petanya, ada peta nggak ada dokumennya. Dari list 294 kalau nggak salah, cuma ada 150-an. Kita minta klarifikasi,” jabar Linda, Rabu (9/11/2016).

Pengalaman sulitnya mendapatkan hak atas informasi ini menjadi tantangan yang memicu semangat para pegiat FWI untuk mendorong keterbukaan informasi di kehutanan. Terlebih saat ini, masih banyak terjadi sengketa di sektor tersebut, baik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan, dan sebagainya.

“Kami sendiri mengalami sebagai pemantau independen kehutanan, bagaimana kita mau membantu pemerintah untuk mengkroscek apakah terjadi pelanggaran oleh perusahaan kalau kami tidak memiliki data dasarnya. Data dasarnya itu yang kita minta, seperti Rencana Kerja Tahunan (RKT), RKT perusahaan, rencana penggunaan bahan baku industri dan sebagainya,” jelas Linda.

Dokumen dan data itu sangat penting dalam penyelesaian berbagai persoalan yang terjadi, terlebih karena masih banyaknya tumpang tindih wilayah kewenangan. Linda mencontohkan, ketika pihaknya menerima pengaduan dari masyarakat, misalnya soal sengketa atau konflik lahan, antara wilayah kelola masyarakat dengan wilayah perusahan. “Dalam konteks itu kita tidak mungkin tahu wilayah yang tumpang tindih seperti itu. Dokumen itu penting untuk mengecek hal-hal yang simpang siur itu,” terangnya.

“Seperti di Kutai Kartanegara. Ada masyarkat yang lahannya masuk dalam HGU perusahaan. Padahal masyarakat memiliki sertifikat hak milik tanah di lahan HGU perusahan. Masyarakat digusur oleh perusahaan karena wilayahnya disebut masuk dalam dokumen HGU perusahaan. Sementara masyarakat sendiri juga punya sertifikat hak milik,” cerita Linda.

“Hal-hal kayak gitu yang ingin kita kroscek. Itulah kenapa dokumen itu perlu dibuka. Pemerintah perlu membuka diri,” imbuhnya.

Linda menekankan, KLHK sebagai simbol negosiasi para pihak, baik pengusaha, masyarakat, pemerintah sudah sewajarnya membuka diri agar hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari, termasuk rawannya praktik korupsi, yang sangat berpotensi merugikan negara.

“Jika kita membaca laporan KPK tentang penerimaan pajak dari sektor kehutanan, itu luar biasa sekali dana yang tidak dilaporkan. Ada kajian KPK, yang intinya menyebutkan ketidakterbukaan ini menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi negara yang diakibatkan oleh administrasi yang buruk, pendapatan pemerintah dari sektor pajak berkurang, dokumennya tidak terbuka dan kita juga tidak bisa mengawasi. Akhirnya negara rugi triliyunn rupiah,” jelasnya. (BOW)

Kisruh BIJB, Pemprov Jabar Harus Buka Dokumen Penetapan Harga Lahan

Kisruh BIJB, Pemprov Jabar Harus Buka Dokumen Penetapan Harga Lahan

Warga Desa Sukamulya Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka menduduki sawah untuk menolak pengukuran lahan Bandara Internasional Jawa Barat, Kamis, 17 November 2016./DOK. KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA

Warga Desa Sukamulya Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka menduduki sawah untuk menolak pengukuran lahan Bandara Internasional Jawa Barat, Kamis, 17 November 2016./DOK. KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA

Bandung – DPD Pemuda Tani HKTI Jawa Barat (Jabar) menilai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar dan pengembang tertutup dalam rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jabar. Ketidakterbukaan ini merupakan sumber utama dari kiruh yang berlarut-larut di masyarakat hingga berujung bentrokan antara warga dan aparat kepolisian.

“Pangkal masalah sebetulnya sederhana. Petani meminta Pemprov Jabar dapat membuka dokumen penetapan harga tanah di wilayah Majalengka khusus di Desa Sukamulya. Pemprov juga diminta menjelaskan kepada masyarakat agar konflik soal lahan yang akan dijadikan bandara internasional itu tidak berlarut-larut,” jelas Sektetaris Wilayah DPD Pemuda Tani HKTI Jawa Barat Ijang Faisal, melalui rilisnya kepada media, Jumat (18/11/2016).

Mengacu pada ketentuan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), semestinya masyarakat mendapatkan informasi yang transparan tentang penetapan harga. Untuk itu, HKTI menegaskan agar Pemprov Jabar membuka semua dokumen dan menjelaskannya kepada masyarakat.

“Sehingga proyek ini bisa tergambar dengan jelas, apa manfaatnya, apa yang harus dilakukan pemprov?” kata Ijang.

Bentrok Warga dan Aparat Saat Pengukuran Lahan

Seperti diketahui, bentrok antara warga dengan aparat kepolisian tak terhindarkan, saat Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan pengukuran lahan untuk perluasan landasan pacu BIJB di Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka, Kamis (17/11/2016).

Menurut Ijang, bentrok ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila Pemprov terbuka mengenai hal tersebut. “Apa gunanya sebuah pembangunan kalau masayarakat sekitar tidak mendapatklan manfaatnya, artinya keterbukaan Pemprov dan pengembang yang ditunjuk dituntut untuk segera menyelesaikan proses pemahaman dengan seluruh warga terdampak dari pembangunan BIJB,” ujarnya.

Bentrokan bermula saat warga melakukan aksi penolakan dengan apel bersama. Sebagian besar peserta aksi adalah para petani dan pemilik lahan. Mereka kemudian bergerak dan berbaris di pematang sawah untuk menghalangi pengukuran, sembari mengibarkan dua buah bendera merah putih.

Sekitar 2000 personel aparat dari Polda Jabar, Polres Majalengka, bantuan PHH TNI, Dishub dan Satpol PP diterjunkan untuk mengawal jalannya pengukuran lahan yang dimulai sekitar pukul 9.30 WIB.

Sekitar pukul 10.00, tim negosiator dikawal pihak keamanan berusaha membujuk warga. Namun, hingga pukul 12.45 negosiasi tak menghasilkan kesepakatan.

Pihak BPN kemudian memaksa untuk melakukan pengukuran meski tak ada kesepakatan. Hal itu memicu kemarahan warga kukuh menolah hingga bentrok dengan aparat keamanan tak terhindarkan. Polisi akhirnya menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan dan memukul mundur warga.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, sembilan warga ditangkap saat aparat keamanan masuk ke permukiman warga yang menolak pengukuran. Ia menuturkan, warga ditembaki gas air mata dan aparat terus memasuki pemukiman. Warga ditangkap saat dalam posisi mengevakuasi diri karena takut aparat yang makin beringas.

“Negosiasi-negosiasi, akhirnya polisi menembakkan gas air mata. Masyarakat ada yang duduk, ada yang nangis, teriak dan sebagainya karena tembakan gas air mata. Lalu mereka masuk ke dalam kampung, tidak di sawah lagi. Dan polisi terus merangsek masuk ke dalam kampung. Masyarakat mengevakuasi, istilahnya ya, ke balai desa. Nah dalam perjalanan ke balai desa ini lah banyak yang berpencar-pencar dan lain sebagainya, ada yang ditangkap polisi karena dianggap menghalangi pengukuran,” terangnya.

Guna penyelesaian konflik ini, Iwan Nurdin mengaku sudah bertemu dengan Kantor Staf Presiden (KSP). Ia mengungkapkan, KSP berjanji akan menindaklanjuti hal itu dengan memanggil beberapa pihak. Diantaranya, warga Sukamulya, Pemerintah Provinsi Jabar, Pemerintah Daerah Majalengka dan Polda Jabar.

Polda: Warga Ditahan Karena Bawa Sajam

Di pihak lain, Polda Jabar mengatakan, pihaknya melakukan penahanan terhadap warga karena mereka diduga membawa senjata tajam dan katapel. Juru Bicara Polda Jabar, Yusri Yunas, menyatakan senjata itu diduga digunakan dan menyebabkan petugas terluka.

“Ketika hendak melakukan pengukuran, mereka menghalangi, mereka melempari petugas dengan katapel sehingga ada tiga korban,” terang Yusri.

Ia juga membantah kabar yang menyatakan bahwa polisi menahan sembilan warga. Ia menjelaskan, polisi hanya membawa tujuh orang untuk dimintai keterangan.

Sumber: pikiran-rakyat.com & kbr.id

KLHK Belum Miliki Mekanisme Pengecualian Informasi

KLHK Belum Miliki Mekanisme Pengecualian Informasi

icel

KebebasanInformasi.org – Astrid Debora dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengungkapkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum memiliki mekanisme pengecualian terkait keterbukaan informasi publik. Hal ini berimbas pada tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam mendapatkan informasi dan kesan KLHK sebagai badan publik yang tertutup.

Untuk itu, Astrid menyarankan adanya penyamaan persepsi antara KLHK dengan masyarakat tentang informasi yang dikecualikan, sesuai dengan peraturan dan UU yang berlaku. “Mana yang terbuka dan tidak. Misalnya dokumen izin dan pendukung, ini adalah informasi yang terbuka. Persepsinya sekarang harus disamakan dokumen pendukung itu apa, terus sejauh mana kedalaman dokumen pendukung itu, apakah ada hal-hal yang dikecualikan atau tidak? Mekanisme pengecualian di KLHK sendiri juga belum ada,” papar Astrid, Minggu (23/10).

Selain itu, ia juga mengkritisi buruknya sistem dokumentasi di KLHK. Sebagai badan publik, KLHK wajib mendokumentasikan setiap dokumen yang mereka miliki.

Ia meminta KLHK bersikap tegas dan aktif terhadap pemerintah daerah yang tidak menyampaikan hal itu ke pusat. Sebaliknya, pemerintah daerah juga mesti diberi kewenangan untuk men-submit dokumen tersebut ke pusat.

“Terlepas dari kewajaiban badan publik untuk medokumentasikan setiap dokumen yang mereka miliki, harusya selaku pembuat kebijakan, misalnya kabupaten/provinsi punya kewenangan untuk mensubmite dokumen ke pusat,” ujar Astrid.

“Pusat harusnya bisa memberikan penegasan, entah sanksi atau apa ketika tidak menerima dokumen, tidak diam saja. Ketika kementerian tidak menerima itu, harusnya ada tindak lanjut. Itu kan yang selama ini menjadi alasan kenapa mereka tidak memiliki informasinya (yang dibutuhkan/diminta publik),” imbuhnya.

Di samping itu, ICEL terus mendorong perbaikan dari sisi regulasi. Astrid mengungkapkan, saat ini koordinasi antara PPID di KLHK dengan unit-unit kerja masih jauh dari ideal.

Pada 7 Oktober 2016 lalu, ia bersama teman-teman di Koalisi Kehutanan telah menyerahkan draf Peraturan Menteri tentang Revisi Peraturan P6 milik Lingkungan Hidup dan P7 milik Kehutanan tahun 2011 tentang Standar Layanan Informasi.

Meski penerimaan dari PPID KLHK positif, namun Astrid mengatakan, hal itu masih perlu diskusi lebih lanjut. “Harapannya itu jadi bahan diskusi untuk pembuatan peraturan menteri baru terkait dengan standar layanan informasi termasuk PPID dan semuanya,” kata Astrid.

“Praktiknya harus diuji dulu, butuh test case lagi. Tapi so far urusan regulasi mudah-mudahan PPID bisa berjalan,” tuturnya.

“Kita akan terus memantau perkembangan terkait Peraturan Menteri terkait Standar Layanan Informasi dan lain-lain. Cuma karena kemarin draf awalnya sudah diserahkan, kita menunggu inisiatif KLHK untuk mengundang,” tutupnya. (BOW)

KLHK Belum Miliki Mekanisme Pengecualian Informasi

Pemerintah Belum Siap Terbuka soal Akses Informasi di Sektor Kehutanan

icel

KebebasanInformasi.org – Tidak terbukanya akses informasi, menambah pelik berbagai persoalan yang melanda di sektor kehutanan. Padahal tata kelola hutan yang baik ditandai dengan partisipasi masyarakat yang substansial dan signifikan dari proses perencanaan sampai pengawasan. Sedangkan partisipasi masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan informasi publik.

Astrid Debora dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menilai Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), belum siap untuk terbuka. “Saya melihat dari pihak pemerintahnya belum siap,” ujar Astrid, di Jakarta, Minggu (23/10).

“Bukan hanya masalah apakah informasi ini bisa dibuka atau tidak. Beberapa kasus, misalnya, sengketa di Komisi Informasi (KI), teman-teman meminta dokumen izin, itu kan dokumen terbuka. Terus pas dikonfirmasi ke KLHK, alasan mereka tidak menguasainya karena sekarang pasca UU Pemda, kewenangannya tidak dari pusat tapi di pemberi izin, yakni di Provinsi/Kabupaten,” paparnya.

Setelah penelusuran lebih lanjut, ternyata bukan hanya dokumen yang berada di penguasaan Provinsi/Kabupaten, tapi juga infomrasi yang seharusnya KLHK miliki tidak ada lantaran Provinsi/Kabupaten tidak menyampaikan laporan. “Jadi lebih banyak ke persoalan pedokumentasian sih kalau saya lihat di kasus belakangan ini,” tegas Astrid.

Ia menegaskan, semestinya pemerintah pusat tegas terhadap pemerintah daerah untuk menjalankan apa yang sudah menjadi kewajibannya. “Pusat harusnya bisa memberikan penegasan, entah sanksi atau apa ketika tidak menerima dokumen, tidak diam saja,” tutur Astrid.

Ia berharap pemerintah pusat tidak pasif hanya menerima saja, tanpa ada tindak lanjut jika daerah tidak memberikan laporannya. “Misalnya pemerintah harus menerima laporan pemantuan dari perusahaan. Itu harusnya diterima PPID Lingkungan enam bulan sekali. Ketika Kementerian tidak menerima itu, harusnya ada tindak lanjut. Hal itu kan yang selama ini menjadi alasan kenapa mereka tidak memiliki informasinya,” tambahnya.

Pada akhirnya, masyarakatlah yang dirugikan akibat ketidaksiapan untuk terbuka atas akses informasi publik dan buruknya pendokumentasian di KLHK ini. Masyarakat tidak bisa memperoleh sesuatu yang menjadi haknya, yang telah dijamin oleh UU.

“UU jelas mengatakan kalau informasi tentang izin, regulasi, kebijakan-kebijakan terkait dengan misalnya sengketa lahan, siapa pemilik, bagaimana komunikasi dengan masyarakat, seharusnya itu ada regulasinya. Kalau itu tidak siap terdokumentasikan dengan baik, masyarakat tidak bisa memperoleh haknya, yang harusnya sudah dijamin oleh UU,” kata Astrid.

“Padahal seharusnya masyarakat punya hak untuk terlibat dalam membuat kebijakan yang berdampak kepada masyarakat itu sendiri kan. Pada akhirnya kita tidak punya kesempatan untuk itu,” tegasnya. (BOW)

Greenpeace Anggap Putusan KI Pusat Kemenangan Publik

Greenpeace Anggap Putusan KI Pusat Kemenangan Publik

download-1

JAKARTA – Greenpeace Indonesia menganggap putusan Komisi Informasi (KI) Pusat yang mengabulkan gugatan mereka soal keterbukaan informasi mengenai peta dan data geospasial hutan Indonesia merupakan kemenangan publik.

Kiki Taufik, perwakilan Greenpeace Indonesia dalam keterangan tertulisnya mengatakan, putusan tersebut membuat masyarakat yang selama ini terpapar asap kebakaran hutan dan lahan bisa bernafas lega.

“Ini adalah kabar gembira bagi keterbukaan dan perlindungan hutan. Membuka informasi harus dilakukan Presiden Joko Widodo sebagai bagian untuk menjalankan pemerintahan yang bersih,” kata Kiki, Selasa (25/10/2016).

Mengutip Bank Dunia, kerugian ekonomi Indonesia akibat kebakaran hutan pada tahun lalu melampaui US$16 miliar. Jumlah itu dua kali lebih besar akibat bencana tsunami di Aceh pada 2004 atau 1,8% produk domestik brutto (PDB). Estimasi itu dihitung berdasarkan kerugian pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata, dan sektor pendapatan negara lainya.

Angka di atas belum termasuk kerugian lingkungan. Mereka mencatat lebih dari 2,6 juta Ha hutan, lahan gambut dan lahan lainnya terbakar atau dibakar pada kurun waktu tersebut.  Meski belum dianalisa secara penuh, perkiraan kerugian lingkungan mencapai $295 juta.

Kiki menambahkan keterbukaan data dalam format shapefile itu juga bisa menjadi jalan untuk mencegah korupsi di sektor kehutanan.Potensi korupsi di sektor kehutan cukup besar.

“Sebagai langkah awal untuk perbaikan tata kelola kehutanan dan menyelamatkan keanekaragaman hayati serta puluhan juta warga negara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus menjalankan putusan itu,” katanya.

Sebelumnya, Majelis Komisioner KI Pusat mengabulkan gugatan Greenpeace Indonesia yang diajukan ke KLHK terkait peta dan data geospasial hutan Indonesia.

Gugatan itu dilayangkan oleh organisasi yang fokus di isu lingkungan itu menyusul sikap dari KLHK yang enggan membuka tujuh informasi tentang pengelolaan hutan diantaranya lampiran peta dalam format shapefile.

Sumber: kabar24.bisnis.com