Kemenpora: Sesuai UU KIP, PSSI Harus Terbuka

Kemenpora: Sesuai UU KIP, PSSI Harus Terbuka

Jakarta, Kebebasaninformasi.org – Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memberikan himbauan kepada Perserikatan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSII) untuk transaran. Kemenpora menilai, sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik PSSI harus bersedia membuka laporan keuangannya ke publik.

“Sesuai dengan Undang-Undang no 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, badan publik adalah setiap badan maupun perkumpulan yang menerima sebagian dan atau seluruhnya dari dana APBN atau APBD,” papar Staff Biro Humas, Hukum dan Kepegawaian Kemenpora, Yusup Suparman, SH, LLM, seperti dilansir merdeka.com.

“Kalau PSSI pernah menerima alokasi anggaran melalui anggaran untuk pembinaan dan pengembangan prestasi cabang olahraga sepakbola, tentu ini bisa dikualifikasi sebagai badan publik yang harus mempertanggungjawabkan penggunaan transparansi dan akuntabilitas dana yang telah diterima,” sambungnya.

Menurut Yusup, pada 2014 ini Kemenpora juga telah mengalokasikan dana bagi PSSI. Besarnya, Rp 125 juta. Namun, Yusuf menambahkan, PSSI belum mengajukan permohonan dana pada mereka.

Tuntutan serupa agar PSSI transparan terkait keuangan mereka juga dilontarkan sekelompok suporter yang tergabung dalam Forum Diskusi Suporter Indonesia (FDSI). Melalui Komisi Informasi Pusat, mereka menggugat PSSI terkait pemaparan dokumen publik sebagai berikut, dokumen kontrak antara PSSI dengan stasiun televisi, rincian penerimaan dan penggunaan hak siar Timnas Senior dan Timnas U-19 selama 2012-2014, pengelolaan dana hak siar dan sponsorship termasuk berapa jumlah tiket yang telah dicetak PSSI sepanjang penyelenggaraan Piala AFF U-19, Pra Piala Asia U-19 2013 dan Tur Nusantara U-19 2014 juga rincian distribusi keseluruhan kategori tiket yang telah dicetak.

Selain itu, mereka juga menuntut adanya transparansi pemasukan dari sponsorship apparel Timnas Senior, U-23 dan Kebijakan yang perubahan tiket selama pertandingan piala AFF. Tak ketinggalan, laporan keuangan dan hasil audit keuangan PSSI selama periode 2005-13 juga rincian laporan keuangan penyelenggaraan kongres PSSI dari tahun 2005-14 juga diminta untuk dibuka pada publik. (merdeka.com)

Perkuat Implementasi OGP, Masyarakat Sipil Adakan Pertemuan Nasional

Perkuat Implementasi OGP, Masyarakat Sipil Adakan Pertemuan Nasional

Jakarta, Kebebasaninformasi.org – Sejumlah organisasi masyarakat sipil dari berbagai daerah di Indonesia melaksanakan pertemuan nasional untuk memperkuat koordinasi dalam mengawal pelaksanaan Open Government Partnership (OGP) di masa pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Pertemuan yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 19-20 November 2014 ini akan membahas isu strategis yang nanti akan disampaikan kepada pemerintah.

Acara ini akan membahasa 3 tantangan utama yang harus direspon oleh masyarakat sipil di Indonesia: pertama, memastikan agenda OGP dilaksanakan dan menjadi prioritas dalam pemerintahan yang baru. Kedua, memastikan bahwa OGP tidak hanya menjadi suatu inisiatif internasional, namun juga inisiatif nasional dan lokal yang berakar pada kebutuhan untuk memecahkan masalah-maslah dalam negeri. Ketiga, CSO di Indonesia memerlukan pola koordinasi yang efektif seklaigus representatif.

Salah satu pelaksana acara ini, Ahmad Faisol, menyatakan pertemuan ini akan merumuskan kesepakatan antar organisasi masyarakat sipil supaya program OGP ini membumi dan bermanfaat untuk masyarakat.”Nanti akan membuat rencana aksi dan pegangan untuk isu-isu yang akan di advokasikan oleh CSO (masyarakat sipil)” paparnya.

Direktur Eksekutif Medialink ini menegaskan ada beberapa isu strategis yang sudah dikelompokkkan dan akan dibahas secara mendetil dalam pertemuan nasional ini. “Isu strategis itu adalah anggaran dan transformasi kepajakan, keterbukaan parlemen dan keterbukaan politik, penegakan hukum dan peradilan, pembangunan desa, dan pelayanan publik” tegas Faisol.

Lebih lanjut Faisol menyatakan, selama ini implementasi OGP di pemerintah masih sebatas lips service. Pelaksanaan OGP terkesan dipaksakan dan tidak tuntas. Sementara di kalangan masyarakat sipil hanya beberapa di antaranya yang mendorong dan melakukan advokasi ini.

“OGP ini memang kurang membumi, harapan kami adalah menjadikan OGP ini sebagai gerakan nasional dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat” pungkasnya.

Bahas UU KIP, MK Minta Pemohon Perjelas Kerugian Konstitusional

Bahas UU KIP, MK Minta Pemohon Perjelas Kerugian Konstitusional

Sejumlah anggota Komisi Informasi Pusat dan Daerah menganggap bahwa Pasal 29 UU KIP bertentangan sifat kemandirian Komisi Informasi. Oleh sebab itu, mereka melakukan uji materiil terhadap undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Senin, (10/11/2014) MK menggelar sidang pertama perakara tersebut dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Dalam sidang tersebut MK memberikan beberapa nasihat.

Majelis yang dipimpin oleh Ahmad Fadlil Sumadi tersebut masih menilai argumentasi dalam berkas permohonan belum fokus dan tidak mengerucut pada kerugian konstitusional.

“Jadinya ini tidak karuan. Saudara akan menghadapi pembentuk UU, bahkan ahli. Ini bukan menang atau kalah, tetapi bagaimana Saudara meyakinkan bahwa permohonan ini benar-benar persoalan konstitusionalitas,” jelas Ahmad Fadlil Sumadi saat persidangan.

Tak hanya Fadli, Hakim Aswanto pun meminta agar permohonan harus dielaborasi dengan uraian fakta yang terjadi hingga pada kesimpulan para pemohon mengalami kerugian konstitusional secara aktual. “Nah, ini perlu dielaborasi sedemikian rupa, termasuk bisa dielaborasi dengan fakta yang terjadi ketika menangani 772 sengketa. Apakah betul-betul ada kerugian konstitusional secara spesifik ketika menangani 772 itu. Ini kan, penanganan 772 itu kan, tidak dalam waktu yang singkat, tapi sudah sekian lama,” saran Aswanto. (Risalah sidang lengkap dapat dilihat di link berikut: KLIK)

Tidak Mandiri

Dalam kesempatan yang sama kuasa hukum pemohon, Veri menilai Komisi Informasi sebagai lembaga semi peradilan yang memutus sengketa antara Badan Publik dengan pemohon informasi publik seharusnya menjadi lembaga mandiri dan independen seperti dimaksud Pasal 23 UU KIP. Artinya, dalam menjalankan tugasnya, Komisi Informasi seharusnya dilepaskan dari kepentingan (pemerintah) dan pihak yang berperkara.

Sesuai Pasal 23 UU KIP menyebutkan Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU dan aturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layananinformasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi, dan atau ajudikasi non litigasi.

Sayangnya, pengaturan kesekretariatan yang melibatkan pemerintah seperti diatur Pasal 29 UU KIP tidak mendukung independensi pelaksanaan tugas Komisi Informasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip kemandirian Komisi Informasi sebagai lembaga kuasi peradilan. “Meski didesain sebagai lembaga mandiri masih ada pengaturan yang tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ini terlihat dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (4),” tegasnya seperti dilansir hukumonline.com.

Oleh sebab itu, para pemohon meminta Pasal 29 ayat (2), (3), (4), (5) UU KIP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut: (2) Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh kesekretariatan Komisi Informasi Pusat; (3) Sekretariat Komisi Informasi Pusat dipimpin oleh Sekjen yang diusulkan oleh Komisi Informasi Pusat kepada presiden; (4) Sekretariat Komisi Informasi Provinsi dilaksanakan oleh sekretaris yang diusulkan oleh Komisi Informasi Provinsi kepada Komisi Informasi Pusat; dan (5) Sekretariat Komisi Informasi kabupaten/kota dilaksanakan oleh sekretaris yang diusulkan oleh Komisi Informasi kabupaten/kota kepada Komisi Informasi Provinsi.

Data Rentan Bocor, KIP Dukung Moratorium e-KTP

Data Rentan Bocor, KIP Dukung Moratorium e-KTP

Jakarta, Kebebasaninformasi.org – Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo menyatakan akan menghentikan sementara (moratorium) program e-KTP.  Program yang sudah dijalankan semenjak Menteri Dalam Negeri Gamawan fauzi ini dihentikan karena beberapa alasan.

Pertama, menurut Tjahyo, Kemendagri perlu melakukan evaluasi terhadap kualitas dan kuantitas data. Kedua, perlu juga melakukan evaluasi soal sistem dan teknologi kartu e-KTP. Ketiga, evaluasi soal pelaksanaan pelayanan publik dan sistem administrasi induk. Keempat, kemendagri perlu mengevaluasi sistem keamanan dan data e-KTP. Dan kelima, menginventarisasi ulang ketersediaan perangkat dan blanko.

Tjahyo juga mengungkapkan bahwa aplikasi e-KTP masih dikembangkan oleh pihak developer di luar negeri. “Pengembangan aplikasi dilakukan secara remote dari luar sehingga muncul potensi data kependudukan diambil oleh pihak yang tidak berhak,” ujar Tjahjo seperti dilansir detik.com.

Server di Luar Negeri

Tjahyo menyatakan bahwa data e-KTP merupakan data kependudukan dan bagian dari data rahasia negara. “Hak warga yang harus dijamin pemerintah” tegasnya.

Saat ini pihak kementrian dalam negeri sudah menemukan beberapa kejanggalan terkait proyek yang menghabiskan anggaran pemerintah sebanyak 6,7 Triliun Rupiah tersebut. Salah satunya adalah adanya dugaan server seluruh data e-KTP berada di luar negeri.

“Kami masih pastikan di mana server itu berada. Sekarang masih simpang siur,” kata dia.

Ada E-KTP Palsu

Selain itu, pihak Kementrian Dalam Negeri juga telah menemukan e-KTP palsu yang beredar di masyarakat. Belum diketahui secara pasti apa modus pemalsuan e-KTP ini. Pihak Kementrian Dalam Negeri masih mendalami kasus tersebut.

E-KTP palsu tersebut, dinyatakan, sangat mirip dengan yang asli. Mempunyai tampilan dan desain yang sama persis. Bahkan hologram keamanan yang menjadi ciri khas e-KTP pun bisa dibuat sangat mirip.

“Hologramnya asli, bisa terbaca. Tapi itu palsu,” kata Tjahjo.

Tjahyo, menyatakan ada dua pabrik yang diduga menggandakan e-KTP palsu tersebut yang berlokasi di China dan Perancis.

Dukung Moratorium

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi Informasi Pusat, Rumadi Ahmad, meminta Kementerian Dalam Negeri menangguhkan pembuatan Kartu Tanda Penduduk Elektronik alias e-KTP karena server yang dipakai adalah milik negara lain. Rumadi khawatir terjadi kebocoran data penduduk. “Server tersebut rentan diakses pihak lain untuk berbagai kepentingan,” kata Rumadi dalam siaran pers, Sabtu, 15 November 2014.

“Ini mengkhawatirkan, karena mengancam pertahanan bangsa. Data kependudukan merupakan data pribadi. Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi kebenaran dan kerahasiaannya,” ujar dia.

Menurut Rumadi, Kementerian Dalam Negeri paling bertanggung jawab melindungi data kependudukan, sebagaimana Undang-Undang Adimistrasi Kependudukan. “Jika benar data kependudukan rentan diakses negara lain, itu artinya Indonesia menyerahkan data kependudukan ke negara lain,” katanya, dikutip tempo.co.

 

KIP Dorong Transparansi Pemeriksaan Keuangan

KIP Dorong Transparansi Pemeriksaan Keuangan

Jakarta, Kebebasaninformasi.org– Komisioner Komisi Informasi Pusat, Yhannu Setiawan, menyatakan mendukung langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memprioritaskan transparansi dalam audit keuangan.

“Komisi Informasi Pusat berharap BPK dapat turut mendorong keterbukaan informasi di lembaga-lembaga negara sebagai badan publik. Hal ini penting mengingat transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik merupakan syarat mutlak terciptanya tata pemerintahan yang baik,” ujarnya, seperti dilansir republika.co.id, Selasa (4/11)..

Lanjut Yhannu, Komisi Informasi Pusat sangat mendukung tekad tersebut, karena berdasarkan Pasal 9 UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik), laporan keuangan badan publik merupakan informasi yang wajib diumumkan kepada publik secara berkala.

Menurut Yhannu, produk informasi yang dihasilkan oleh BPK juga harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat. Seperti hasil audit BPK yang telah disampaikan juga termasuk informasi terbuka dan bisa diakses oleh publik. Hal tersebut dinilai juga membuat pengelolaan keuangan di lembaga negara bisa lebih efisien, produktif, ekonomis, dan berdampak positif bagi kemakmuran rakyat.

Peran BPK

Selama ini BPK memiliki kewenangan untuk memberikan opini atau predikat kepada lembaga negara yang mengelola keuangan negara.  Namun, Yhannu menegaskan, indikator penilaian untuk memberikan predikat tersebut perlu diperkuat dan diperketat. Hal ini agar predikat tersebut mencerminkan tidak adanya korupsi.

Selain itu, sebaiknya BPK menjadikan Pasal 9 dan 11 UU KIP sebagai bagian indikator penilaian untuk menentukan opini atau predikat lembaga negara yang akan diaudit. Dengan demikian, pemeriksaan pengelolaan keuangan oleh BPK tidak hanya menyentuh sisi administratif. Namun, juga mampu menjangkau besaran komitmen transparansi lembaga negara dalam pengelolaan keuangannya.

Dalam Pasal 9 UU KIP disebutkan bahwa setiap Badan Publik wajib mengumumkan informasi publik secara berkala. Salah satu informasi publik yang wajib diumumkan secara berkala adalah mengenai laporan keuangan badan publik. Laporan keuangan tersebut setidaknya meliputi rencana dan laporan realisasi anggaran, neraca, dan laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.

Sedangkan dalam Pasal 11 disebutkan bahwa  badan publik wajib menyediakan informasi publik setiap saat. Informasi publik tersebut meliputi rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan badan publik, hasil keputusan badan publik dan pertimbangannya, daftar seluruh informasi publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan, dan lain sebagainya.

Sumber: republika.co.id

KKIP Kalimantan Barat Desak Gubernur Lantik Komisi Informasi Kalimantan Barat

KKIP Kalimantan Barat Desak Gubernur Lantik Komisi Informasi Kalimantan Barat

Menjelang 5 tahun UU KIP, masih ada provinsi yang belum memiliki Komisi Informasi. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen daerah mewujudkan mandat UU KIP. Sejak tanggal 21 Agustus 2014, anggota KI Kalbar sudah terpilih berdasarkan Surat Pengumuman DPRD No. 162/139/DPRD-D Tanggal 21 Agustus 2014. Berikut ini nama anggota KI Kalbar terpilih:

1. Abdullah, S.Pd;

2. Hawad Sriyanto, S.H.;

3. Chaterina Pancer Istiyani, S.S., M.Hum;

4. SY. Muhammad Herry, M.H.;

5. Abang Amirullah;

Namun demikian, hingga saat ini Komisioner terpilih belum menerima SK dan belum dilantik. Koalisi Keterbukaan Informasi Publik Kalimantan Barat (KKIP Kalbar) telah melakukan berbagai upaya untuk mendesak pelantikan KI Kalimantan Barat, tetapi belum juga ditanggapi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Alasan penundaan pelantikan, salah satunya adalah belum adanya alokasi anggaran, baik untuk pelantikan maupun anggaran untuk program kerja Komisi Informasi Kalimantan Barat (Desiana Samosir).