KPRI Desak Peran Aktif KPU dalam Penghitungan Suara Pilpres 2014

KPRI Desak Peran Aktif KPU dalam Penghitungan Suara Pilpres 2014

Munculnya klaim kemenangan dari masing-masing kubu calon Presiden, yang mengikuti Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, tentunya telah membuat kebingungan di masyarakat. Klaim kemenangan masing-masing kubu calon Presiden ini didasarkan pada hasil penghitungan cepat (quick count) yang berbeda, yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga survey. Hal ini menunjukkan quick count yang seharusnya bisa menjadi kontribusi ilmiah bagi masyarakat untuk memantau penghitungan suara telah digunakan sebagai alat politik untuk menyesatkan informasi ke publik.

Berbagai kejanggalan terhadap penghitungan cepat lembaga survey yang memenangkan Prabowo Subianto pun terungkap di beberapa media massa. Manuver elit-elit politik borjuasi yang mendukung bangkitnya Orde Baru rela menggunakan segala cara untuk memenangkan calonnya, bahkan hingga melacurkan nilai-nilai ilmiah dari penghitungan cepat, dengan menyesatkan informasi demi kepentingan politik dan kekuasaan.

Terlepas dari banyaknya kejanggalan-kejanggalan dalam penghitungan cepat lembaga survey tersebut, opini publik saat ini digiring untuk menunggu pengumuman resmi hasil rekapitulasi penghitungan suara dari lembaga negara yang berwenang, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun beberapa kejanggalan dalam penghitungan suara sementara (formulir C1) yang singgah di situs kpu.go.id karena menampilkan data yang tidak valid. Selain itu juga ada beberapa formulir C1 yang hanya menampilkan kolom dengan jumlah suara kosong. Padahal formulir-formulir C1 tersebut telah dibubuhi tanda tangan anggota KPPS dan saksi pasangan calon. Kejanggalan penghitungan suara oleh KPU juga terjadi di luar negeri, khususnya di Malaysia, yang menampilkan suara yang masuk jumlahnya dua kali lipat dari Daftar Pemilih Tetap (DPT). Penggelembungan suara tersebut sebagian besar memenangkan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Di sinilah kredibilitas KPU diuji dan dipertaruhkan, mengingat antusiasme warga negara yang memutuskan untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pilpres 2014 meningkat tajam. KPU memprediksi jumlah pemilih dalam Pilpres 2014 ini mencapai 190 juta orang atau meningkat dari 185 juta orang pada Pemilu Legislatif pada 9 April lalu. Angka ‘golongan putih’ (Golput) pada Pilpres 2014 ini juga diprediksi mengalami penurunan yang sangat tajam. Dengan antusiasme warga negara yang begitu tinggi tersebut, KPU seharusnya mampu menjalankan kewenangannya dengan sebaik-baiknya dan menjaga kredibilitasnya di hadapan publik.

KPU harus menjamin penyelenggaraan Pilpres 2014 ini bebas dari kecurangan politik. KPU seharusnya membuka akses seluas-luasnya proses penghitungan suara yang saat ini sedang berlangsung kepada publik, baik proses penghitungan suara di tingkat kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi hingga di tingkat nasional.

Maka dari itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyatakan sikap:

1.      KPU harus menjamin proses penghitungan suara yang sedang dilakukan berjalan ini bebas dari kecurangan dan bebas dari intimidasi pihak manapun;

2.      Mendesak KPU Pusat untuk memerintahkan seluruh KPU tingkat kota/kabupaten agar mengumumkan secara terbuka hasil pleno penghitungan suara setiap kota/kabupaten pada tanggal 16-17 Juli 2014;

3.      Mendesak KPU Pusat untuk memerintahkan seluruh KPU tingkat provinsi untuk mengumumkan secara terbuka hasil pleno penghitungan suara setiap provinsi pada tanggal 18-19 Juli 2014;

4.      Mengajak seluruh masyarakat dan seluruh elemen pergerakan rakyat untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap proses penghitungan suara, mulai dari tingkat kelurahan hingga tingkat nasional;

5.      Negara harus melindungi dan menjamin terpenuhinya hak politik bagi seluruh rakyat Indonesia;

6.      Bangun persatuan dan solidaritas seluruh elemen rakyat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan kesejahteraan sejati bagi rakyat Indonesia.

Bandung, 12 Juli 2014

Atas Nama Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia

Anwar Ma’ruf                                                                                               Sapei Rusin

    Presiden                                                                                                    Wakil Presiden

Kunjungi ICW, Menteri Agama Janjikan Transparansi Biaya Penyelenggaraan Haji

Kunjungi ICW, Menteri Agama Janjikan Transparansi Biaya Penyelenggaraan Haji

Jakarta,- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berjanji akan memperbaiki pelayanan penyelenggaraan haji tahun ini dengan melakukan transparansi anggaran dana haji kepada publik. Upaya tersebut sebagai bentuk pencegahan terjadinya kecurangan dalam penyelenggaraan ibadah haji.

“Agar upaya perbaikan ke depan lebih baik, intinya transparansi,” kata Lukman saat jumpa pers di kantor Indonesia Corruption Watch, Jalan Kalibata Timur No IVD, Jakarta Selatan, Selasa (15/7/2014).

Lukman mengatakan, Kementerian Agama dan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah telah memiliki komitmen kuat untuk memperbaiki pelayanan penyelenggaraan ibadah haji. Kementerian Agama, kata dia, akan melakukan transparansi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), baik direct cost maupun indirect cost.

“Memang betul BPIH ada direct cost dan indirect cost, tapi itu tetap harus diketahui masyarakat umum,” ujar Lukman.

Koordinator ICW Ade Irawan mengapresiasi kunjungan yang dilakukan Kementerian Agama. Dalam pertemuan dengan Menteri Agama, Ade telah memberi masukan agar Kementerian Agama melakukan pembenahan dalam hal dana setoran haji dan biaya penyelenggaraan ibadah haji. Dua hal tersebut dianggap sebagai celah paling rawan akan terjadinya kecurangan dalam penyelenggaraan haji.

“Semoga pekerjaan rumah ini bisa dijalankan, dan mudah-mudahan penyelenggaraan haji ke depan bisa lebih baik lagi,” ujar Ade.

Lukman tiba di kantor ICW kira-kira pukul 14.15 WIB. Sesaat setelah tiba, Lukman yang didampingi Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Abdul Jamil melakukan pertemuan tertutup dengan Ade selama satu jam. (kompas.com)

Pilpres, KI Pusat Minta Presiden, KPU, Wartawan Berikan Informasi Akurat

Pilpres, KI Pusat Minta Presiden, KPU, Wartawan Berikan Informasi Akurat

Jakarta,-Sebagaimana diketahui bersama, bahwa sejak selesainya pemungutan suara pilpres kemarin (9/7/14), sejumlah lembaga survey mengeluarkan rilis hasil quick count, sebagian besar dipublikasi melalui lembaga penyiaran televisi.

Sebagian lembaga survey memenangkan pasangan Jokowi-JK, sebagian yang lain memenangkan Prabowo-Hatta. Masing-masing kubu juga sudah menyampaikan pidato yang bisa ditafsirkan sebagai klaim kemenangan. Pendukung masing-masing kubu juga sempat turun ke jalan untuk merayakan kemenangan, dimana hal ini bisa mengarah pada konflik horizontal.

Menurut Komisioner Komisi Informasi Pusat, Rumadi, hal ini terjadi karena informasi yang memenuhi ruang publik adalah informasi yang tidak semuanya akurat. “Ada informasi-informasi yang sengaja didistorsi untuk memenangkan cpres yang didukung lembaga survey tersebut,” katanya kepada kebebasaninformasi.org, Senin (14/7).

Menurut Rumadi, agar tidak terjadi distorsi informasi hasil pilpres 2014 lalu, Komisi Informasi Pusat meminta beberapa pihak untuk menyampaikan informasi dengan benar. Kepada Presiden sebagai pemegang otoritas tertinggi badan publik negara berkewajiban untuk memberikan informasi publik ke masyarakat yang cepat, akurat dan tidak menyesatkan.

Menurut dia, Presiden juga perlu mengerahkan segala upaya agar ruang publik tidak dikotori dengan informasi-informasi yang justru bisa memicu ketegangan.

Dalam kaitan dengan proses penghitungan perolehan suara pilpres 2014, KI Pusat meminta KPU sebagai penyelenggara pemilu harus memberi informasi yang akurat kepada masyarakat untuk memastikan proses rekapitulasi yang akan berakhir 22 Juli mendatang berjalan dengan transparan dan akutabel.

“Setiap tahapan penghitungan perolehan suara harus bisa dikontrol publik agar tidak menimbulkan syak wasangka di kemudian hari,” tegasnya.

Sementara kepada media massa sebagai salah satu pilar demokrasi dan penjaga akal sehat masyarakat, KI Pusat meminta agar tidak menjadi agen yang justru menyebarkan informasi yang menyesatkan hanya untuk membela dan memenangkan kandidat yang didukung.

“Komisi Informasi Pusat mendukung langkah-langkah untuk melakukan audit lembaga survey agar ke depan tidak adalagi lembaga survey yang justru mengotori ruang public dengan informasi yang menyesatkan,” pungkasnya. (AA)

Lembaga Survei Diminta Buka Metodologi dan Anggaran

Lembaga Survei Diminta Buka Metodologi dan Anggaran

Jakarta,- Guru besar riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, menyayangkan adanya hasil yang bertentangan dalam penghitungan cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei.

Ia meminta lembaga-lembaga itu buka-bukaan terkait dengan aspek metodologis dan transparansi anggaran. “Ini harus diungkapkan secara terbuka ke publik, dari aspek metodologi harus jelas berapa sampelnya, di TPS mana saja dan bagaimana sebarannya,” katanya, Kamis, 10 Juli 2014.

Dengan begitu, lanjutnya, publik akan bisa memilah mana lembaga survei yang kredibel dan bukan. Menurut Ikrar, selama ini memang ada sejumlah lembaga survei yang bermasalah dan memiliki rekam jejak buruk serta melakukan manipulasi data. Perbuatan sejumlah lembaga survei nakal itu yang membuat kepercayaan masyarakat pada lembaga survei merosot. Karena itu ia meminta dewan etik asosiasi lembaga survei memanggil dan memeriksa mereka.

Ikrar juga mengimbau seluruh elemen masyarakat untuk ikut serta memantau proses perhitungan suara di Komisi Pemilihan Umum. “Kita juga perlu bekerja sama untuk memantau proses perhitungan suara di KPU agar jujur dan bertanggung jawab,” kata Ikrar. (Tempo.co/AA)

Penyandang Disabilitas Minim Informasi Pilpres

Penyandang Disabilitas Minim Informasi Pilpres

Para penyandang disabilitas mengaku tidak mendapat sosialisasi yang cukup terkait proses pemilhan umum presiden yang akan digelar 9 Juli 2014. Penyuluhan terkait sistem, alat yang digunakan dan pendamping juga belum didapatkan.

“Sosialisasi dan informasi terakhir cara pemilihan presiden sangat kurang. Selama ini saya mendapat informasi melalui media-media audio,” kata Ismet Firmansyah salah seorang pengurus Ikatan Tunanetra di Yayasan Wiyata Guna Jalan Padjadjaran Kota Bandung, seperti dilansir antaranews.com (Jumat, 4 Juli 2014).

Ia mengaku belum mendapatkan informasi dari petugas di lapangan terkait sistem pemilihan bagi penyandang disabilitas, terutama bagi penyandang tunanetra.

“Saya belum tahu apakah pada Pilpres 2014 nanti kami didampingi atau diberi template braile, saya bolak balik ke Wiyata Guna juga belum mendapat informasi jelas,” kata Ismet.

Ismet juga menyatakan keprihatinannya kepada media yang belum memberikan informasi terkait tata cara pilpres bagi penyandang disabilitas. Baginya, media lah yang selama ini menjadi jembatan informasi bagi penyandang disabilitas.

Menurut Ismet, idealnya pemilih tunanetra bisa melakukan pencoblosan sendiri di TPS tanpa didampingi sehingga menjamin kebebasan dan kerahasiaan dalam memberikan hak pilihnya.

Ia mengaku sering risih memberikan hak pilihnya bila didampingi oleh pendamping yang disediakan di TPS, ia juga khawatir ada pendamping yang tidak independen.

“Selama ini saya memilih didampingi oleh istri, jika tidak boleh saya tidak akan memilih,” kata Ismet menambahkan.

Sumber: Antara

Apakah Sosialisasi Pilpres KPU Sudah Maksimal?

Apakah Sosialisasi Pilpres KPU Sudah Maksimal?

Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menilai sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih kurang. Hal itu tidak terlepas dari kinerja KPU sendiri serta antusiasme para pemilih. Bagaimana seharusnya KPU dan para pemilih terkait penyelenggaraan Pemilu, berikut petikan wawancara kebebasaninformasi.org dengan KIPP, Willi Sumarlin.

Menurut KIPP apakah KPU sudah maksimal mensosialisasikan visi dan misi capres dan cawapres 2014?

Kalau dari segi keterbukaan informasi sih sudah, yaitu dengan menampilkan visi dan misi kandidat  di website KPU, namun hal itu tentu belum cukup untuk menjangkau seluruh masyarakata Indonesia, selain itu KPU juga mangadakan debat kandidat yang disiarkan oleh televisi, tapi hal itu tentu tidak cukup karena ada segmen – segmen lain yang membutuhkan pertemuan tatap muka dalam rangka melihat dan atau mendengar visi dan misi kandidat misalnya di dearah – daerah terpencil, di komunitas adat dan lain lain.

KPU akan menyusutkan jumlah TPS di seluruh Indonesia. Penilaian KIPP apa KPU sudah maksimal mensosialisasikan info ini kepada para hak pilih? Kalau belum, apa usulan untuk KPU?

Sebenarnya mengenai TPS ini bisa dilihat di DPT, dan seharusnyan ya bisa dilihat di PPS atau kelurahan–kelurahan, namun karena kesibukan warga apalagi di Jakarta, saya rasa jarang masyarakat atau warga yang mengecek namanya di DPT. Selain itu masyarakat juga bisa mengecek namanya di DPT di website KPU.

Menurut saya sosialisasi mengenai perubahan jumlah TPS masih kurang, baru akan disampaikan oleh petugas pada saat mereka menyerahkan surat undangan. Bisa jadi pemilih yang tidak tahu TPS berubah akan datang ke lokasi TPS yang lama, kemudian baru dari situ dikasih tahu lokasi TPS yang baru, tentu saya ini akan membuat waktu lebih lama, saya kira perlu dilakukan sosialisasi secepatnya, agar pemilih tahu lokasi TPS. Selain itu perlu peran aktif dari masyarakat itu sendiri untuk mengecek namanya di DPT, apakah mereka sudah terdaftar dan di TPS berapa mereka akan menggunakan hak pilih.

Berdasarkan pengalaman Pileg lalu, bagaimana KIPP menilai kinerja KPU?

Menurut saya belum optimal, memang secara umum proses pemungutan suara berjalan baik, namun pada saat perhitungan suara di beberapa TPS masih dijumpai kekurangpahaman petugas mengenai surat suara sah, misalnya surat suara dicoblos pada nama parpol dan caleg yang seharusnya dihitung satu kali, dihitung dua kali. Kemudian ada di salah satu TPS ketika terjadi selisih bukan di hitung ulang melainkan diundi kemudian hasilnya ditambahkan pada suara parpol yang keluar dalam undian, ketidakprofesionalan petugas pada saat penghitungan suara ini menghambat rekapitulasi di tingkat nasional walaupun pada akhirnya dapat selesai tepat waktu.

Selain itu masih terdapat kasus tertukarnya surat suara, di Jakarta KIPP memantau ada 5 TPS yang dilakukan pemungutan suara ulang karena surat suara tertukar (di wilayah Jakarta timur).

Kalau belum maksimal, apa yang mesti diperbaiki dari kinerja KPU untuk Pilpres?

Saya rasa semuanya perlu dilakukan perbaikan agar tidak terulang kekurangan pada saat pileg.

Beberapa waktu lalu, di media online KIPP menyebutkan ada KPPS yang tidak profesional sebagai panitia penyelanggara, bagaimana pada Pilpres nanti? Itu di Jakarta, bagaimana di tempat lain?

Salah satu bentuk ketidakprofesionalanya itu seperti dicontohkan di atas, mungkin bisa disisati dengan melakukan proses rekrutmen penyelenggara (mengganti petugas yang kurang maksimal), kemudian melakukan bimbingan teknis untuk semua petugas KPPS.

Tidak menutup kemungkinan peristiwa serupa terjadi di tempat lain, namun karena fokus pemantauan kami di wilayah Jakarta itu hanya potret kecil (dari sekitar 17.000 TPS kita hanya memantau 100 TPS)

Soal kecurangan Pemilu, apa ada peluang untuk itu? Bagaimana cara menanggulangi atau meminimalisirnya secara bersama-sama, baik KPU, partai, para pemilih atau masyarakat?

Potensi kecurangan selalu ada, salah satucaranya dengan memberikan pemahaman (pendidikan politik) mengenai kesadaran anti politikuang. Atau dengan kampanye bersama tolak politik uang.