Kritik untuk Komisi Informasi Pusat

Kritik untuk Komisi Informasi Pusat

Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) – Kinerja Komisi Informasi (KI) Pusat jilid II menuai kritik dari KI se-Indonesia pada Rapat Koordinasi Nasional KI yang berlangsung pada 17–19 September 2013 di Solo, Jawa Tengah.

“Kami kecewa karena pelaksanaan Rakornas secara substansi maupun teknis menjadi mundur. Ini adalah Rakornas keempat, tapi pelaksanaannya sama seperti Rakornas pertama kali ketika KI baru terbentuk,” ujar Ketua KI Lampung, Juniardi, di Solo, saat dihubungi dari Bandarlampung, Rabu (18/9) malam.

Dia menilai Komisioner KI Pusat jilid II tidak segera memetakan program prioritas yang harus dijalankan dalam waktu dekat, jangka menengah, dan jangka panjang.

“Bukankah semuanya bisa di-review, baik pencapaian maupun program-program sebelumnya, sehingga semua tidak dari nol,” katanya lagi.

Pembahasan mengenai kendala dukungan sekretariat contohnya, ujar Juniardi menambahkan, dalam Rakornas terdahulu, desakan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk membuat aturan turunan yang memperkuat kedudukan Sekretariat KI sudah dilontarkan dan didorong melalui Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

“Seharusnya ini ditindaklanjuti. Evaluasi terhadap program memang perlu dilakukan secara menyeluruh termasuk sistem kalau memang ternyata kurang sesuai. Namun, jalankan dulu. Jangan belum apa-apa sudah mau mengubah sistem. Ini namanya tidak memiliki skala prioritas,” kata Juniardi yang juga Ketua Forum Komunikasi Komisi Informasi se-Indonesia (Forkip) itu menambahkan.

Selain tugas pokok dan fungsi dalam menyelesaikan sengketa informasi, Komisi Informasi juga harus mendorong implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dengan semangat transparansi dan akuntabilitas, ujarnya lagi.

“Bagaimana Badan Publik semakin terpacu untuk transparan dengan menerapkan undang-undang ini, bagaimana masyarakat tersosialisasi dan teredukasi mengenai hak-haknya atas informasi publik, dan bagaimana eksistensi kelembagaan KI menjadi kuat. Visi besar ini seharusnya mendasari kinerja, bukan menjadi euforia jabatan yang berkepanjangan,” katanya pula.

Juniardi berharap, ke depannya KI Pusat lebih baik, sehingga pada 28 September nanti yang merupakan peringatan `Right to Know Day` tahun tahun 2012 lalu gaungnya sudah disampaikan Wapres, menjadi lebih menggaung pula.

“Wapres yang memberikan penghargaan keterbukaan informasi dan menginstruksikan seluruh Badan Publik di pusat dan provinsi untuk membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi atau PPID, dan mengimplementasikan undang-undang ini. Dampaknya, beberapa provinsi berlomba-lomba memperbaiki pelayanan informasi,” kata dia lagi.

Juniardi juga berharap, tahun ini gaung itu harus terus bergema hingga ke kabupaten, kota, kelurahan, desa untuk menumbuhkan semangat dalam menerapkan transparansi dan akuntabilitas.

Editor: Budisantoso Budiman

Sumber: http://lampung.antaranews.com/berita/269759/kritik-untuk-komisi-informasi-pusat

Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Pertanyakan Anggaran Parkir

Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Pertanyakan Anggaran Parkir

“Rp 4 M per tahun,” kata salah seorang Mahasiswa menyampaikan hasil perhitungan pendapatan kampus mereka, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dalam diskusi dengan tema, “UU KIP dan Transparansi Kampus”, Sabtu (7 /9) di Restoran Sederhana, Jl. Raden Saleh Jakarta.  Sayangnya, menurut dia, fasilitas parkir di kampus tersebut tidak pernah mengalami perbaikan.

Itulah mengapa pada Oktober 2012 lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa UNJ menuntut pihak birokrasi kampus untuk meningkatkan pelayanan fasilitas parkiran, meningkatkan jaminan keamanan, mempercepat proses pembangunan gedung parkir. Tiga hal ini merupakan respon atas kondisi parkir di kampus tersebut. Dari tuntutan tersebut, ada satu hal mendasar yang terlewat secara eksplisit, yaitu keterbukaan dalam pengelolaan anggaran parkir.

Pengenalan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) kepada mahasiswa, termasuk dari UNJ, akhirnya membuka wawasan mereka bahwa keterbukaan bukan hanya tuntutan moral, tetapi juga kewajiban yang diatur dalam undang-undang. Menurut UU KIP, anggaran pengelolaan parkir, seharusnya diumumkan secara berkala (minimal per 6 bulan).

Tentu, menyuarakan agenda ini tidak mudah karena berhadapan dengan oknum kampus yang terstruktur. Para mahasiswa mengatakan yang terpenting dilakukan saat ini adalah membangun paradigma, pengetahuan, dan kesadaran bahwa kita memiliki undang-undang yang menjamin keterbukaan dan akses mahasiswa terhadap pengelolaan kampus.

Sementara itu, Agus Wijayanto, Tenaga Ahli Komisi Informasi Pusat, mengatakan Komisi Informasi siap untuk memberikan sosialisasi UU KIP ke kampus-kampus. “Tidak usah dipikirkan honornya,” kata Agus. Demikian pula Anggota Komisi Informasi Pusat, Yhannu Setiawan juga mengatakan pihaknya bersedia hadir untuk mendorong bersama implementasi UU KIP di kampus.

 

Undangan Diskusi Mahasiswa, “Mendorong Keterbukaan Informasi di Perguruan Tinggi”

Undangan Diskusi Mahasiswa, “Mendorong Keterbukaan Informasi di Perguruan Tinggi”

“Biaya SPP, DOP, dana kesehatan, uang skripsi, uang ujian. Macam-macamlah,” keluh seorang mahasiswa dari sebuah perguruan negeri di Jakarta, Muhammad M. “Sebenarnya, bukan soal banyaknya item itu, tapi transparansinya,” kata dia.

Ada cerita lain, mungkin masih ingat gugatan ICW agar kunci jawaban soal UAN dibuka ke publik? Ya, cerita itu hingga kini masih belum usai. Kementerian Pendidikan masih bersikas bahwa dokumen tersebut rahasia negara. Banyak para siswa bertanya, mengapa mereka tidak lulus, tetapi tak tahu apa yang harus dilakukan.

Ini yang lebih ironis, 7 orang mahasiswa Universitas Putera Batam yang dikeluarkan (D.O) oleh rektoratnya karena gigih meminta informasi hasil evaluasi akademik mereka sendiri. Mereka sudah menempuh mekanisme permintaan informasi, keberatan, pengaduan ke KID, dan sidang ajudikasi. KID juga telah menetapkan bahwa informasi yang mereka minta adalah informasi publik yang wajib disediakan oleh pihak universitas.

Hingga kini, setidaknya ada empat pimpinan perguruan tinggi di Indonesia, tersandung kasus korupsi. Mereka adalah wakil rektor Universitas Indonesia, Mantan Rektor Universitas Jambi, mantan rektor Unsyiah, Rektor Universitas Jenderal Soedirman.

Penggalan cerita-cerita di atas, menunjukkan bagaimana dampak ketertutupan di perguruan tinggi. Tentu, deretan kisah lainnya, masih sangat banyak. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan?

Di manapun, perubahan itu berawal dari paradigma dan aksi. Sejak tahun 2010 lalu, UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah disahkan. Tak ada pilihan bagi badan publik, termasuk perguruan tinggi untuk mengimplementasikannya. Tapi, dorongan itu ternyata harus lebih kuat. Saatnya,mahasiswa beraksi, mulai dari kampus sendiri.

Untuk itu, Indonesian Parliamentary Center (IPC) sebagai bagian dari Freedom of Information Network (FoI-NI) mengundang mahasiswa di DKI Jakarta dan sekitarnya, untuk mengikuti diskusi, “Mendorong Implementasi Keterbukaan Informasi Publik di Perguruan Tinggi”. Sabtu, 7 September 2013. Informasi lengkapnya, silakan lihat ToR di bawah ini.

(CP: Mukhlisin: 085711086857. PIN : 22EAC4D4)

DISKUSI TERBATAS

MENDORONG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

DI PERGURUAN TINGGI

TERM OF REFERENCE

 Latar Belakang

Perguruan tinggi harus berada di garis terdepan dalam mengimplementasikan dan mendorong keterbukaan. Alasannya, pertama, perguruan tinggi merupakan badan publik yang tunduk pada UU No. 14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kedua, perguruan tinggi merupakan bagian utama dari sistem kaderisasi sumber daya manusia sebuah bangsa. Merekalah kelak, yang akan mengisi berbagai jabatan di pemerintahan.

Sayangnya, kesadaran ini belum ada pada mayoritas pimpinan perguruan tinggi. Perguruan tinggi masih sarat dengan ketertutupan. Mulai dari proses penerimaan mahasiswa baru, pengelolaan keuangan yang bersumber dari mahasiswa, APBD/APBN, dan pihak ketiga, serta berbagai hal lainnya. Bahkan hingga kini, ada 4 pimpinan perguruan tinggi yang tersandung kasus korupsi.

Secara umum ada empat  potensi dampak negatif dari ketertutupan di perguruan tinggi.

Pertama, dalam proses seleksi mahasiswa baru (antara lain; hilangnya hak pihak tertentu untuk mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi tersebut karena proses yang tertutup memungkinkan terjadinya praktik percaloan seperti yang selama ini terjadi di beberapa perguruan tinggi).

Kedua, dalam proses belajar-mengajar (1. Terabaikannya hak-hak mahasiswa, seperti biaya yang relevan dan fasilitas belajar yang memadai. 2. rusaknya mindset dan karakter mahasiswa. Sistem yang tertutup melahirkan sikap pragmatis bagi mereka yang merasa mampu mendapatkan tujuannya. Lingkungan demikian berpotensi membentuk karakter buruk yang akan mereka lanjutkan jika kelak jika menjadi bagian dalam pemerintahan negeri ini)

Ketiga, dalam proses pengelolaan kampus (potensi terjadinya korupsi oleh oknum pimpinan perguruan tinggi, sebagaimana yang terjadi pada beberapa kampus di Indonesia).

Dengan kondisi kontradiktif di atas, maka perlu dilakukan penyadaran kepada pihak perguruan tinggi. Salah satu elemennya adalah mahasiswa. Apalagi, mahasiswa tidak hanya bagian dari kampus, tetapi juga warga masyarakat yang diharapkan menjadi agen perubahan, bukan hanya di masa yang akan datang, tetapi juga sekarang.

Tujuan

Tujuan dari diskusi ini, yaitu:

  1. Membangun paradigma berpikir tentang pentingnya keterbukaan di perguruan tinggi.
  2. Memberikan pengetahuan seputar UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
  3. Memberikan pengetahuan tentang jenis informasi publik yang ada di perguruan tinggi dan kategorisasinya.

Hasil yang diharapkan

  1. Mahasiswa menyadari pentingnya keterbukaan dan hak atas informasi publik.
  2. Mahasiswa memahami substansi UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menjamin hak atas informasi publik.
  3. Mahasiswa dapat mendata informasi publik yang ada di kampus dan mengkategorisasinya.

Narasumber

Bapak Yhannu Setiawan (Anggota Komisi Informasi Pusat 2013-2017)

Hari/Tanggal

Sabtu, 7 September 2013

Pukul

13.00 WIB sd 16 WIB

Tempat

Restoran Padang Sederhana Slipi Jakarta Pusat

Agenda

No

Pukul

Kegiatan

1

13.00 – 14.30 Registrasi Peserta

2

14.30 – 16.00 Brainstorming (Curah pendapat)
Ceramah
Diskusi

3

16.00 – 16.15 Rencana Tindak Lanjut dan Penutupan

Peserta

Peserta kegiatan ini terdiri dari 20 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta

Fasilitas Peserta

  1. E-book Anotasi UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
  2. Makalah
  3. Penggantian biaya transpor lokal
  4. Sertifikat
  5. Peserta akan mendapatkan informasi terkini terkait kegiatan diskusi dan advokasi keterbukaan informasi publik.

Demikian ToR ini, kami buat sebagai panduan awal kegiatan diskusi.

Jakarta, 2 September 2013

Pimpinan Kampus Tersandung Korupsi, Dampak Ketertutupan

Pimpinan Kampus Tersandung Korupsi, Dampak Ketertutupan

Perguruan Tinggi seharusnya berada digaris terdepan dalam keterbukaan. Pertama, sebagai badan publik yang tunduk pada UU No. 14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kedua, perguruan tinggi merupakan wadah pencetak karakter, pengetahuan, dan keterampilan generasi yang akan melanjutkan pemerintahan.

Lembaga pendidikan sejatinya menjadi benteng moral atas massifnya kerusakan yang terjadi di negeri ini. Namun apa yang terjadi, pimpinan sejumlah perguruan tinggi, justru terjerembab dalam kubangan masalah yang sama di lembaga-lembaga pemerintahan. Ya, apalagi, kalau bukan korupsi.

Inilah dampak dari ketertutupan. Kami kutip dari merdeka.com, yang menyajikan sejumlah rektor atau mantan rektor yang tersandung kasus korupsi. Siapa saja?

1. Wakil rektor UI

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan secara resmi tersangka kasus pengadaan proyek pembangunan instalasi IT dan perpustakaan UI. Tersangka itu yakni Wakil Rektor Bidang SDM, Keuangan dan Administrasi UI, Tafsir Nurhamid (TN).

“Penyidik KPK telah menemukan dua alat bukti yang cukup untuk pengadaan proyek pembangunan instalasi IT dan perpustakaan.

UI pada tahun anggaran 2010-2011, disimpulkan bahwa TN ditetapkan tersangka,” ujar Jubir KPK Johan Budi di Gedung KPK, Kamis (13/6) lalu. Johan mengatakan, TN diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana diubah dalam UU No.20/2001. TN diduga melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam proyek ini.

“Modusnya ada dugaan penggelembungan yang mengakibatkan kerugian negara,” ujar Johan. Namun Johan mengatakan untuk kerugian negara atas kasus ini masih dalam proses penghitungan dari BPK.

Sejumlah guru besar UI melaporkan beberapa dugaan penyelewengan dana proyek pembangunan kampus UI tersebut. Para guru besar itu menuding mantan rektor UI Gumilar saat itu, tidak transparan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan dalam pembangunan sejumlah proyek di kampus kuning itu.

Hasil audit BPK menyebut ada 16 kejanggalan dalam pengelolaan keuangan di kampus tersebut. Misalnya, pengelolaan dana masyarakat untuk renovasi laboratorium terpadu Fakultas Kedokteran senilai Rp 7,964 miliar belum selesai dan terdapat pengurangan pekerjaan senilai Rp 1,526 miliar belum didukung oleh adendum kontrak. Selain itu, piutang tak tertagih Fakultas Ekonomi senilai Rp 6,012 miliar diragukan kewajarannya.

2. Mantan Rektor Universitas Jambi

Mantan Rektor Universitas Jambi (Unja) Kemas Arsyad Somad dan mantan bendahara Elianty ditahan Kejaksaan Tinggi Jambi. Mereka menjadi tersangka kasus dugaan korupsi penerimaan negara bukan pajak untuk Program Studi Kedokteran Universitas
Jambi terkait honor dosen.

“Kedua tersangka ditahan untuk 20 hari ke depan atas dugaan korupsi dana PNBP dari Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Jambi periode 2006-2009 senilai Rp 25 miliar yang merugikan negara Rp 1,2 miliar,” jelas Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi Jambi Andi Azhari di Jambi, Rabu (13/2) lalu, seperti dikutip dari Antara.

Kemas dan Elianty sebelumnya diperiksa tim penyidik kejaksaan sebagai tersangka yang datang memenuhi panggilan kejaksaan. Keduanya diperiksa tim penyidik untuk mendalami berkas sebelumnya. Kemas dan Elianty dalam pemeriksaan tersebut didampingi oleh kuasa hukumnya, Ramli Taha.

Hasil penilaian tim kejaksaan, tutur Andi Azhari, ada temuan yang tidak sesuai menyangkut pembayaran honor dosen dari dana PNBP yang menyalahi aturan hingga timbul kerugian negara sebesar Rp 1,2 miliar selama 3 tahun sejak 2006 hingga 2009.

 

3. Mantan Rektor Unsyiah

Tim penyidik kejaksaan tinggi (kejati) Aceh telah menetapkan tiga tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi program beasiswa pemerintah Aceh di unsyiah. Uang yang dikorupsi sebesar Rp 3,6 miliar dari sumber APBA tahun 2009-2010.

Ketiga tersangka tersebut masing-masing Prof Dr Darni M Daud (mantan Rektor Unsyiah), Prof Dr M Yusuf Azis (mantan Dekan FKIP Unsyiah), dan Mukhlis (Kepala Keuangan Program Cagurdacil).

Penetapan ketiga tersangka tersebut disampaikan Humas Kejati Aceh, Amir Hamzah, Jumat (19/4). Penetapan status ketiga tersangka, menurut Amir Hamzah sesuai surat Kajati Aceh, Syahrizal.

Mantan Rektor Unsyiah, Prof Dr Darni M Daud menyatakan, dirinya tetap menjunjung tinggi hukum yang berlaku dan akan menjalani proses hukum yang dihadapinya.

4. Rektor Unsoed

Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Edy Yuwono, yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi, resmi ditahan Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwokerto Jawa Tengah. Edy akan ditahan untuk 20 hari ke depan.

Selain Rektor Edy Yuwono, Kejari Purwokerto juga menahan Pembantu Rektor IV, Budi Rustomo dan Kepala UPT Percetakan dan Penerbitan Unsoed, Winarto Hadi.

“Penahanan terhadap 3 orang tersangka di Rutan Purwokerto untuk 20 hari dari tanggal 21 Agustus 2013 sampai dengan 9 September 2013,” ujar Kapuspenkum Kejagung Untung Arimuladi dalam pesan singkatnya, Kamis (22/8) kemarin.

Ketiganya menjadi tersangka dugaan penyelewengan dana hibah dalam proyek kerjasama antara Unsoed dengan PT Antam senilai Rp 5,8 miliar di Desa Munggangsari Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo. Mereka diduga menyelewengkan dana sekitar Rp 2,154 miliar dari nilai proyek tersebut. Proyek di Desa Munggangsari tersebut merupakan hibah untuk melakukan rehabilitasi lahan bekas tambang pasir besi di wilayah tersebut.

Sementara itu, mantan Asisten Senior Manajer CSR PT Antam, Suatmadji yang sebelumnya ditetapkan menjadi tersangka bersama Edy Yuwono dan Winarto Hadi, hingga saat belum ditahan.

 

 

UU KIP Wajibkan DPR Buka Audit Hambalang

UU KIP Wajibkan DPR Buka Audit Hambalang

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak boleh bersembunyi di balik Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) untuk tidak membuka Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) investigasi proyek Hambalang tahap II kepada publik.

LHP investigasi seharusnya diserahkan kepada penegak hukum. Tetapi BPK justru menyerahkan kali pertama kepada DPR. LHP investigasi II Hambalang dikhawatirkan justru akan dipolitisasi. Oleh karenanya, BPK harus membuka hasil audit investigasi itu.

Hal itu disampaikan oleh Mantan Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Alamsyah Saragih menanggapi penyerahan LHP investigasi Hambalang II kepada DPR, baru setelah itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut dia, audit investigasi adalah sebuah langkah projusticia, audit yang dilakukan karena adanya dugaan tindak pidana. Maka seharusnya hasil audit itu diserahkan kepada KPK sebagai penegak hukum yang menangani kasus dugaan korupsi Hambalang.

Sebelumnya, BPK telah menyerahkan LHP investigasi Hambalang II kepada DPR kemudian kepada KPK pada Jumat, (23/8/2013). Ketua BPK Hadi Poernomo menolak membeberkan hasil audit dengan alasan hasil audit ini termasuk dalam rahasia negara seperti yang disaratkan oleh Pasal 7 ayat 1 UU Keterbukaan Informasi Publik. Pasal tersebut mengatur kewajiban untuk memberikan informasi, kecuali yang dikecualikan.

“Apakah pengecualian (LHP Hamabalang II) tersebut masih relevan atau tidak? Seharusnya audit ini diserahkan sepenuhnya kepada KPK. Forum akuntabilitas dari proses hukum itu di pengadilan. Ketika disampaikan ke DPR, apakah DPR adalah forum yang tepat untuk projusticia?” kata Alamsyah kepada wartawan dalam jumpa pers Koalisi untuk Akuntabilitas Keuangan Negara (KUAK Negara), Minguu (25/8/2013).

Ia mengatakan, ketika hasil audit sudah disampaikan kepada DPR maka hasil audit sudah menjadi milik publik. Artinya, BPK tidak bisa lagi bersembunyi di balik UU KIP untuk menutup informasi itu. “Kalau ingin kembali ke jalur yang benar, maka hasil audit itu harus dibuka seluas-luasnya,” ujarnya.

Meski DPR juga meminta BPK melakukan LHP investigasi atas proyek Hambalang, menurut Alamsyah, BPK bisa saja hanya memberikan resume hasil audit, tidak perlu seluruhnya. Hal itu dikhawatirkan justru menarik proses penegakan hukum ke ranah politik.

Hal itu sangat mungkin terjadi sebab hasil audit tersebut sudah menguraikan secara detil dan menyeluruh bagaimana penyelewengan terjadi dan siapa saja yang terlibat. Hasil audit itu menyebut setidaknya 15 anggota DPR terlibat meloloskan anggaran Hambalang.

“Ketika diserahkan ke DPR akhirnya terjadi konflik kepenting. Kemungkinan hilangnya barang bukti juga bisa. DPR jangan main-main dengan laporan ini. Kasus Hambalang ini lebih besar dari cicak buaya. Kasus ini hanya 1 inchi dari jantung penguasa,” tuturnya.

Apung Widadi dari KUAK Negara mengatakan, ada indikasi ketidakberesan ketika BPK menyelesaikan LHP Hambalang II ini lebih dari tiga bulan dari LHP yang pertama. Seharusnya audit bisa dilakukan secara cepat.

“Tiga bulan itu waktu yang sangat cukup bagi tersangka kasus Hambalang untuk menyelamatkan aset-asetnya. Sehingga nanti kalau dikenakan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) tidak semua asetnya kena,” katanya.

Ia mengatakan, kecurigaan itu karena dalam auditnya BPK tidak banyak mengungkap soal aliran dana. BPK berhasil menemukan indikasi kerugian proyek Hambalang lebih besar dalam LHP Hambalang II, yaitu sebesar Rp 471,7 miliar. Indikasi kerugian pada LHP I hanya sebesar Rp 243,66 miliar.

Tetapi audit BPK itu tidak menunjukkan aliran dana yang mengalir ke para tersangka kasus ini, seperti Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng, Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar, dan Mantan Direktur Operasional I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mohammad Noor, dan Mantan Ketua Umum Partai Demokrat.

Darwanto dari Indonesia Budget Center (IBC) mengatakan, kini saatnya DPR meneruskan hasil audit BPK itu ke Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN). Alat kelengkapan DPR inilah yang berwenang untuk menelaah hasil audit BPK itu demi penagakan akuntabilitas keuangan negara.

“Hasil audit investigatif tahap II Hambalang wajib dibuka kepada publik. Hal ini untuk menghindari politisasi dan penghilangan informasi subtansial terkait kasus korupsi Hambalang,” katanya.

Kepada KPK, Darwanto meminta agar lembaga antikorupsi itu menepati janjinya untuk segera menahan tersangka kasus Hambalang, Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum. “KPK harus mengusut tuntas aliran korupsi Hambalang hingga dana poltiik Kongres Demokrat,” katanya.

Sumber: Pikiran Rakyat

 

 

Tunjuk Patrialis Jadi Hakim, SBY Langgar UU KIP?

Tunjuk Patrialis Jadi Hakim, SBY Langgar UU KIP?

sby_1

JAKARTA - Penunjukan langsung Patrialis Akbar sebagai hakim kontitusi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan.

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, semua pihak harus menghormati keputusan presiden yang mengikat. Alasannya, hal ini tidak terdapat dalam mekanisme pemilihan hakim MK.

“Yang jadi masalah itu prosedur, rekrutmen, ujug-ujug dan tiba-tiba. Padahal dalam UU harus pastisipatif dan transpran. Nah, sampai sekarang belum ada peraturan mekanisme itu, dalam pencalonan diatur dalam lembaga,” kata Jimly di kediamannya, Jalan Margasatwa Raya, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Sabtu (10/8/2013).

Tak adanya mekanisme yang jelas ini, kata dia, harus segera diakhiri dengan cara presiden harus membuat peraturan presiden. “Kemudian Mahkamah Agung (MA) membuat Perma dan peraturan lain diperbaiki,” ujar pria yang kini menjabat Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini.

Terkait latar belakang Patrialis sebagai politikus, Jimly mengatakan, tak jadi masalah untuk bisa menjadi hakim MK.

Namun, sambung dia, permasalahan hanya terjadi karena penunjukkannya tidak transparan berdasarkan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sehingga menimbulkan kecurigaan.

“Maka mekanisme prosedural (penunjukan) jangan diabaikan. Karena zaman sekarang dituntut partisipatif dan transparan sesuai UU KIP, jadi itu ciri demokrasi modern yakni partisipatif dan transparansi, UU ini ada tetapi belum ada rinciannya. Bagaimana partispatif adanya, masing-masing menafsirkan sendiri. Jadi orang-orang melegitimasi,” tambahnya.
(trk)

Sumber: http://news.okezone.com/read/2013/08/10/339/848575/tunjuk-patrialis-jadi-hakim-sby-langgar-uu-kip