KontraS: Pemerintah Tidak Serius Tuntaskan Kasus Munir

KontraS: Pemerintah Tidak Serius Tuntaskan Kasus Munir

Foto: rappler.com

Foto: rappler.com

KebebasanInformasi.org – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemerintah tidak serius dalam menuntaskan kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib. Hal ini tercermin dari langkah pemerintah mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), atas putusan Komisi Informasi (KI) Pusat yang memerintahkan untuk mengumumkan dokumen hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir.

“(Banding ke PTUN tersebut) harus dibaca sebagai upaya menunda atau tidak mau membuka hal tersebut (dokumen TPF pembunuhan Munir),” kata anggota tim pengacara kasus pembunuhan Munir, Asfinawati, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (27/11/2016).

Menurutnya, pemerintah tidak punya alasan pemerintah untuk tidak membuka hasil penyelidikan TPF Munir ke publik. Sebab, pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyerahkan salinan dokumen TPF itu.

“Banding ini kesannya pengabaian terhadap upayanya. Tidak ingin bongkar nama dalam dokumen TPF itu,” ujar Asfinawati.

Ia juga mengungkapkan, langkah banding ini mencederai niat pemerintah yang pernah memberi harapan untuk memenuhi kewajibannya dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Kasus pembunuhan Munir terjadi di akhir masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Pada era Presiden SBY, TPF pembunuhan Munir terbentuk.

Setelah masa tugasnya berakhir, TPF menyerahkan rekomendasi dalam bentuk dokumen langsung ke Presiden SBY. Tetapi hinga masa jabatannya berakhir, SBY tidak pernah mengumumkan hasil dokumen penyelidikan TPF Munir itu.

Pada era Presiden Jokowi, Kemensetneg menyatakan tidak pernah menerima maupun menguasai laporan TPF tersebut.
Akhirnya, pada Rabu (26/10/2016), mantan Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengirimkan salinan dokumen TPF pembunuhan Munir ke Istana Negara. (BOW)

Upaya Banding Pemerintah ke PTUN jadi Contoh Buruk dalam Keterbukaan Informasi

Upaya Banding Pemerintah ke PTUN jadi Contoh Buruk dalam Keterbukaan Informasi

foto: indoprogress.id

Foto: indoprogress.id

KebebasanInformasi.org – Sesuai Undang-Undang (UU) Keterbukaan Infomasi Publik, Komisi Informasi (KI) Pusat memutuskan bahwa pemerintah harus mengumumkan hasil rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir Said Thalib. Namun, bukannya mematuhi perintah KI, pemerintah, yang diwakili Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg), malah mendaftarkan permohonan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dari situs resmi PTUN Jakarta, Kemensetneg mendaftarkan gugatan kasus tersebut pada 1 November 2016. Gugatan teregistrasi dengan nomor perkara 3/G/KI/2016/PTUN-JKT.

Mantan anggota TPF, Amiruddin Al-Rahab, menyesalkan langkah pemerintah tersebut. Menurutnya, ini merupakan contoh buruk bagi lembaga-lembaga lain. Ke depannya, mereka yang bersengketa dengan KI terkait keterbukaan informasi, bisa jadi akan mengikuti sikap Kemensetneg dalam mengambil kebijakan. Ketika diminta untuk membuka informasi, mereka akan menghindar dengan cara mengajukan permohonan ke PTUN.

“Contoh yang buruk, mestinya Kemensetneg sebagai perwakilan negara, mengambil langkah untuk memberi contoh kepada lembaga-lembaga lain dalam kasus seperti ini,” kata Amiruddin kepada wartawan, di Bakkoel Coffee, Jakata Pusat, Minggu (27/11/2016).

Ia menjelaskan, banyak fakta yang masih harus diungkap terkait kasus pembunuhan Munir. Kunci pengungkapannya ada dalam laporan TPF. Di situ memuat berbagai petunjuk pengungkapan kasus tersebut untuk menyeret para pelaku yang selama ini lolos dari proses hukum. “Mengumumkan ke publik temuan TPF Munir ini bisa jadi pintu masuk untuk mengungkap,” terang Amiruddin.

Oleh sebab itu, ia mempertanyakan komitmen pemerintah di bawah pimpinan Jokowi dalam penegakan hukum Hak Asasi Manusia (HAM). “Munir adalah simbol penegakan HAM, ketika dibunuh tidak ada tanggungjawab negara untuk menuntut orang orang itu. Kita bertanya-tanya di posisi itu sesungguhnya,” kata Amiruddin Al-Rahab. (BOW)

Marsudhi: Tidak ada lagi alasan Jokowi tak lanjutkan laporan TPF

Marsudhi: Tidak ada lagi alasan Jokowi tak lanjutkan laporan TPF

Merdeka.com

Merdeka.com

Jakarta – Marsudhi Hanafi tampak hadir saat Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengklarifikasi polemik raibnya dokumen laporan akhir Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir. Sebagai mantan ketua TPF, Marsudhi merasa harus bertanggungjawab atas dokumen itu.

Sehari sebelumnya, Marsudhi diundang SBY ke kediamannya di Cikeas, Bogor. Marsudhi diminta mengingat kembali lalu menjelaskan saat penyerahan dokumen laporan akhir TPF pada 2005. “Saya hadir sebagai ketua TPF, perpanjangan tangan beliau,” ujar Marsudhi kepada wartawan, Jumat (28/10).

Marsudhi heran, publik justru membesar-besarkan soal polemik raibnya dokumen. Padahal persoalan itu mudah diselesaikan. Presiden Joko Widodo cukup memanggil kembali TPF, lalu meminta dokumen laporan akhir. Kesan yang muncul, raibnya dokumen justru lebih penting dibahas daripada upaya pemerintah menindaklanjuti penyelesaian kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.

“Jangan jadikan alasan bahwa tidak bisa menyidik karena dokumen hilang. Itu kan beda,” ucapnya.

Kini setelah pemerintahan SBY menyerahkan dokumen itu, maka publik menunggu keseriusan dan komitmen pemerintahan Jokowi-JK membuka tabir aktor intelektual pembunuh Munir. “Sekarang tidak ada alasan lagi pemerintah Jokowi tak lanjutkan itu,” tegasnya.

Dalam wawancara khusus, Marsudhi membeberkan temuan-temuan selama TPF bekerja, keterlibatan anggota badan intelijen dalam pembunuhan Munir, hingga peristiwa penyerahan laporan akhir ke SBY. Berikut petikan wawancaranya.

Saat konferensi pers di Cikeas, Anda sempat bertemu SBY. Ada pembicaraan khusus dengan SBY?

Beliau itu kan ingin menjelaskan secara langsung ke masyarakat. Kan ada persepsi seolah-olah beliau sengaja menghilangkan. Apa kepentingannya? Dia bikin keppres itu kan serius. Begitu seriusnya beliau mendukung TPF. Kalau mau sekadar seremonial saja, cukup 3 bulan selesai. Tapi kan kita lapor presiden beliau bilang lanjutkan, dikasih waktu. Diperpanjang lagi 3 bulan.

Anda yakin dokumen itu tidak secara sengaja dihilangkan?

Untuk kepentingan apa dia hilangkan itu? Tidak ada. Kalau perlu dan tidak melanggar aturan, dia bagi-bagikan itu. Enggak masuk akal dibilang menghilangkan. Karena sudah terdesak, maka beliau akhirnya bilang ‘Saya tampil, saya siap menjelaskan’. Dia (SBY) mendukung Pak Jokowi kan untuk ungkap kasus tersebut. Kalimatnya itu di masa kepemimpinan dia, Hendropriyono saat itu tidak cukup bukti. Saat itu lho ya. kalau sekarang ada, lanjutkan saja.

Sebelum SBY konferensi pers menjelaskan dokumen yang hilang, ada pertemuan dengan SBY?

Mantan kabinetnya ada pertemuan dulu. Saya ikut satu hari sebelum konpers. Kan beliau minta meneliti dokumen itu dulu. ‘Bagaimana menurut Pak Marsudhi?’ saya bilang ‘Dokumen ini enggak ada perubahan Pak. Karena rekan-rekan TPF kan tahu persis, ada nomor urutnya. Saya tahu persis’. Kenapa ada nomor karena supaya tidak ada penyuntingan-penyuntingan. Begitu saya liat, saya kan ada pedomannya. Terus beliau minta dijelaskan kembali saat penyerahan. ‘Bagaimana, siapa saja, duduk di mana?’. Saya jelaskan saya duduk di mana, bapak duduk di mana, saya pakai jas apa, bapak pakai jas apa, lalu sebelah saya (Alm) Asmara Nababan pakai jaket, sebelahnya Hendardi. ‘Terus bagaimana’ katanya. Saya bilang ‘Terus kita salaman, bapak persilakan saya konferensi pers. Saya didampingi Asmara Nababan dan Pak Sudi Silalahi menyampaikan kepada pers pertemuan dengan pak SBY’.

Jadi sehari sebelum konpers, Anda dipanggil dulu ke Cikeas?

Iya untuk memastikan dokumen. Saya hadir sebagai ketua TPF, perpanjangan tangan beliau. Saya secara moral harus bertanggungjawab juga. Beliau minta koreksi saja.

Dalam pertemuan itu, selain Anda siapa lagi yang hadir?

Anggota kabinetnya. Ada Dai Bachtiar (Kapolri), Bambang Hendarso Danuri (BHD), Abdul Rahman Saleh (Jaksa Agung), Sudi Silalahi (Seskab). Sebelumnya kan mungkin mereka rapat dulu, lalu mungkin mereka merasa perlu panggil saya. Jadi saya hadir.

Saya ingin menyampaikan, daripada lempar-lemparan soal dokumen hilang dan enggak ada ujungnya, sebenarnya kan tinggal panggil saja saya, atau siapa pun TPF. Sederhana saja. Jokowi panggil saja ketuanya sama tim (TPF), bawa dokumennya. Minta lagi. Kan juga enggak mungkin kita tambah-tambahin. Mengapa mesti ribut dokumen hilang. Sekarang tidak ada alasan lagi pemerintah Jokowi tak lanjutkan itu. Tidak ada alasan lagi mencari dokumen hilang. Harus dipisahkan antara dokumen hilang dengan menindaklanjuti. Jangan hanya berkutat dokumen hilang. Jangan jadikan alasan bahwa tidak bisa menyidik karena dokumen hilang. Itu kan beda.

Bisa Anda ceritakan kembali saat TPF menyerahkan laporan akhir ke Presiden saat 2005?

Kita kan dapat keppres, itu diberi waktu 3 bulan, kemudian diperpanjang 3 bulan. Kita sifatnya hanya membantu pihak penyidik polri. Kita itu terdiri dari institusi Polri, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, kemudian LSM terkait. Dalam keppres tersebut, kita punya kewajiban untuk membuka tabir kasus Munir. Kemudian hasil-hasil kami mencari fakta, kami suplai ke penyidik untuk ditindaklanjuti karena kami tidak punya wewenang melakukan penindakan.

Pada akhir tugas, satu hari sebelumnya TPF berakhir, kita bikin laporan. Kira-kira tanggal 23 Juni 2005. Kemudian kita lapor kepada presiden di Istana. Saat itu presiden didampingi kabinetnya. Yang saya ingat ada Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Kapolri Dai Bachtiar, Seskab Sudi Silalahi, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, Andi Mallarangeng (Jubir Presiden). Tim saya yang hadir, saya (Marsudhi Hanafi), (alm) Asmara Nababan, Hendardi, Rachland Nashidik, Usman Hamid, Kamala Tjandrakirana dari Komnas Perempuan. Kita laporan, bawa bundelan, enam salinan. Lalu saya bacakan resumenya.

‘Pak hasilnya ini, ini, ini, resumenya saja,”. Beliau (SBY) menanggapi ‘Terima kasih atas kerja keras’. Kita cuma omong laporannya saja. Diterima Pak SBY. Enggak lama kok, antara 15-30 menit. Kita ngobrol ngalor ngidul, saya perkenalkan tim saya, beliau juga perkenalkan kabinet yang hadir. setelah itu saya dipersilakan bapak presiden untuk konferensi pers di Istana. Saya keluar sama (Alm) Asmara Nababan, sama Pak Sudi. Lalu Pak Sudi membuka kata pengantar di hadapan media, disampaikan barusan ada penyerahan segala macam. Kemudian dilanjutkan ketua TPF. Saya menjelaskan bagaimana perjumpaan dengan presiden. Isi dokumen tidak (dijelaskan). Saya tidak punya hak. Dalam keppres, kewajiban menyampaikan adalah pemerintah. Orang sering salah presiden. Pemerintah itu ya presiden dan kabinetnya, bisa diwakili. Tidak ada kata presiden wajib.

Saat itu ada kewajiban menyampaikan hasil laporan akhir ke publik?

Ada. Memang harus terbuka, harus diketahui publik. Ada di situ, yang menyampaikan pemerintah.

Ada berita acara penyerahan dokumen?

Tidak ada. hanya laporan saja.

Dokumen laporan akhir TPF yang asli dipegang presiden?

Sebenarnya semua asli. Kan kita ngetik, lalu diprint semua. Mana yang asli? Asli semua berarti kan? Yang jelas dokumen yang kita serahkan, enam-enamnya asli. Yang diserahkan enam dokumen. Itu untuk Jaksa Agung, Kapolri, Menkum HAM, Mensesneg. Ya kira-kira itu.

Ada enam salinan, itu diberikan ke siapa saja?

Nah itu kita kurang tahu, Usman Hamid yang pegang dan ditinggalkan di situ (ruang pertemuan dengan presiden) dan kita keluar semua. Di situ hanya ada orang istana. Pak Yusril tinggal, Andi Mallarangeng tinggal, nah kabinet itu. Yang jelas kapolri dapat satu, saya tahu persis karena beliau kan menindaklanjuti. Setelah bubar TPF kan dibentuk tim kecil untuk menindaklanjuti hasil TPF, di situ saya dipanggil Pak Dai Bachtiar (Kapolri). Saya ditunjuk pakai surat perintah kapolri. Saya tidak butuh dokumen itu karena saya yang bikin. Saya tahu persis apa yang sudah dilakukan dan perlu ditindaklanjuti. Apa yang sudah apa yang belum.

Ada masuk tim kecil menindaklanjuti TPF? siapa ketua timnya saat itu?

Iya betul. Saya sendiri. Dengan pertimbangan Kapolri, supaya nyambung (dengan TPF).

Tim itu terdiri dari siapa saja?

Penyidik polri, gabungan antara bareskrim, polda metro dan interpol.

Kenapa hasil TPF tidak diumumkan ke publik sejak 2005?

Ini perlu diluruskan. Semua sudah ditindaklanjuti. Kenapa Pollycarpus, Bambang Irawan, ada pramugari Garuda, ada Corporate Secretary Garuda, itu kan hasil temuan TPF dan sudah ditindaklanjuti. Hanya saja, mungkin harapan masyarakat bahwa ada bunyi pemerintah harus mengumumkan isi laporan TPF. Ya memang dalam keppres bunyinya pemerintah wajib menyampaikan hasil itu.

Sebenarnya ada yang ditangkap lalu divonis, itu sebenarnya sudah pengumuman. Apalagi yang mesti diumumkan? Langsung penindakan. Sampai sekarang ada beberapa yang belum tersentuh dan itu disebut dalam hasil TPF. Misalnya disebut setelah Muchdi, yang ada namanya Hendropriyono. Waktu terjadi pembunuhan kan Kepala BIN, tapi kan terhenti di Muchdi. Saat itu, Hendropriyono tidak terbukti terlibat. Ingat ya, saat itu lho ya tidak terbukti. Kalau saat sekarang ada bukti ya terserah, kan bisa berkembang ada novum, berita baru.

TPF empat kali mengirim surat, mengundang Hendropriyono untuk diminta keterangan, tapi tidak pernah direspon. Apa alasan Hendropriyono saat itu?

Dia pernah bilang saat itu ke media, ‘Apa urusan saya dengan TPF, saya tidak ada urusan. Saya kan tidak salah’.

Jawaban itu menanggapi undangan TPF?

Iya. Dan itu sudah saya laporkan ke presiden. Saat itu saya lapor pada presiden, ini sudah tiga kali diundang. Beliau (SBY) menyampaikan saat itu, rasa penyesalan kenapa orang-orang yang diundang TPF tidak hadir. Beliau prihatin.

Itu presiden yang bicara?

Iya ada di Kompas saat itu. Saya lupa persisnya. Dia (SBY) prihatin karena TPF ini kan perpanjangan tangan presiden, jadi kalau kita melaksanakan tugas kita dikendalikan presiden. Kita lapor hambatan yang kita temukan, kita lapor ke presiden. Termasuk kita bilang sudah mengundang tiga kali untuk berdialog, sesuai informasi yang kami dapat. Tapi beliau enggak mau.

Akhirnya Hendropriyono, Muchdi, Bambang Irawan mau diperiksa penyidik Polri?

Setelah itu kan penyidikan lanjutan dilanjutkan Pak BHD (Bambang Hendarso Danuri).

Apa betul mereka sudah diperiksa?

Saya kurang paham kalau soal itu. Saya tidak ikut campur lagi.

Pemeriksaan dilakukan diam-diam?

Ya itu informasi. Dia tidak mau dengan kita (TPF) mungkin mau dengan polri, bisa saja kan?

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Hendropriyono dan lainnya tidak diberikan ke TPF?

Bisa saja BAP mereka yang diperiksa itu setelah kita (TPF) bubar.

Selama TPF bertugas, tidak diberikan BAP pemeriksaan Hendropriyono dan lainnya?

Jadi begini, kita kan mencari fakta, diskusi dengan penyidik. Waktu kita bertugas data nol, maka kita temui penyidik, dialog. Kita minta tolong gelar perkara. Dari gelar perkara, kita catat apa yang sudah mereka lakukan dan apa yang akan mereka lakukan dan yang menjadi hambatan. Tugas TPF memback up mereka. Misalnya, mereka akan masuk tapi tidak punya akses, kita karena punya keppres jadi bisa masuk. Kita ke BIN bisa masuk, Garuda bisa.

TPF mengalami kendala mengakses informasi di BIN?

Ini kan lembaga yang mesti kita hormati dan sayangi. Begitu banyak jasanya kepada negara. Ingat, lembaga ya, bukan oknumnya. Kalau lembaga itu digugat, saya juga berkeberatan. Lembaga itu kita harus lindungi karena bertugas mengamankan, mencari informasi, mengamankan negara, beri informasi tentang semua yang berkaitan negara. Kalau di dalamnya ada Muchdi, Bambang Irawan, bukan dia bertindak membawa bendera BIN. Itu abuse of power. Dalam jabatan tersebut, dia menggunakan fasilitas dan segala macam. BIN sendiri saya yakin enggak (terlibat). Memang kalau kita masuk ke BIN tidak sembarangan. Seorang deputi saja belum tentu bisa masuk ke deputi lain. Mereka punya sandi sendiri.

Di laporan akhir, TPF memaparkan kesulitan mengakses data dan informasi di BIN, apa betul?

Memang betul. Kan tidak semua bisa kita obok-obok. Garuda bisa lah, tapi BIN enggak mungkin. Tapi apa permintaan kita, dikasih. Beda di Garuda, tidak ada rahasia. Makanya kita dapat surat perintah palsu dan segala macam. Jadi beda. Daerah itu (BIN) sangat rahasia.

Dalam laporan akhir TPF sempat disinggung bahwa Munir sudah masuk daftar operasi sejak 2002. Apa betul?

Ya kami temukan, ada yang mengatakan bahwa Munir coba dibunuh dengan tiga cara. Pertama diracun di kantornya, tapi cara ini gagal. Kedua, coba ditabrak, tapi juga gagal. Ketiga, ya yang diracun di pesawat.

Itu yang kita dapat selama penyidikan. Waktu diperdalam kita dapat. Waktu itu saya kan jadi ketua tim lagi kami telusuri lebih dalam lagi dan didapatkan informasi ini. Kita periksa orangnya. Banyak perkembangannya.

Informasi itu dari siapa?

Orangnya enggak bisa disebut, takut dibunuh. Tapi kan kita ambil pengakuannya, tapi enggak kita sebut orangnya.

Apa benar Munir ke Belanda membawa dokumen pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia?

Hahaha…saya enggak ngerti soal itu. Saya enggak tahu. Itu kan berarti sudah masuk motif. Kalau motif tanya rekan KontraS, imparsial. Saya sebagai anggota polisi enggak bisa. Saya enggak ngerti yang seperti itu. Karena itu enggak berdasar bukti. Kalau rekan-rekan KontraS memprediksi demikian, mungkin mereka punya data. Itu kan rekan mereka. Bisa saja kan, kenapa ini begini, kenapa begitu. Dihubung-hubungkan. Kalau saya, apakah dia (Munir) benar bawa dokumen, saya jawab tidak tahu.

Sumber merdeka.com

Di balik Temuan TPF Munir yang Tak Diungkap ke Publik

Di balik Temuan TPF Munir yang Tak Diungkap ke Publik

Sumber: Merdeka.com

Sumber: Merdeka.com

Jakarta – Marsudhi Hanafi masih ingat betul peristiwa penyerahan dokumen laporan akhir Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir, kepada Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Merdeka, 23 Juni 2005. Marsudhi yang mengenakan jas hitam didampingi (Alm) Asmara Nababan mengenakan jasa berwarna cerah. Ada pula Usman Hamid, Hendardi, Rachland Nashidik, dan Kamala Tjandrakirana. Marsudhi duduk bersebelahan dengan (Alm) Asmara Nababan.

SBY yang saat itu belum setahun menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, didampingi Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Kapolri Dai Bachtiar dan Andi Mallarangeng yang saat itu menjadi jubir istana.

Marsudhi tidak hanya membawa anggota TPF, tapi juga sebundel dokumen laporan akhir pencarian fakta atas meninggalnya aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib. Ada enam salinan yang dibawa Marsudhi. Secara simbolik, satu dokumen diserahkan Marsudhi kepada Presiden SBY.

“Yang jelas dokumen yang kita serahkan, enam-enamnya asli. Yang diserahkan enam dokumen itu disiapkan untuk Jaksa Agung, kepolisian, Menkum HAM, Mensesneg,” ujar Marsudhi kepada media di Jakarta, Jumat (28/10).

Usman Hamid menyerahkan dokumen itu pada staf istana lalu diberikan kepada pejabat terkait. SBY yang mengenakan jas berwarna abu-abu mempersilakan Marsudhi menyampaikan laporan akhirnya. Marsudhi hanya membacakan resume atau kesimpulan akhir dan rekomendasi TPF

Di antaranya, kematian Munir diduga berkaitan dengan aktivitasnya melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) dan kritik kerasnya terhadap lembaga telik sandi. TPF menyimpulkan kematian Munir disebabkan oleh pemufakatan jahat yang melibatkan pihak tertentu di Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara (BIN). Namun pemufakatan jahat itu belum bisa terbuka secara jelas karena TPF kesulitan mengakses informasi dan dokumen BIN. Sehingga TPF belum bisa memastikan keterlibatan mantan petinggi BIN dalam pembunuhan Munir.

TPF merekomendasikan agar presiden membentuk tim baru dengan mandat dan kewenangan yang lebih kuat. Tujuannya agar bisa menembus dinding kokoh BIN dalam upaya pencarian informasi. Rekomendasi lain, Presiden diminta memerintahkan Kapolri melakukan penyelidikan mendalam terhadap Indra Setiawan (mantan Dirut Garuda Indonesia), Ramelgia Anwar, AM Hendropriyono (Kepala BIN), Muchdi PR (Deputi V BIN), dan Bambang Irawan (agen BIN) terkait kemungkinan peran mereka dalam pemufakatan jahat pembunuhan Munir.

Usai mendengar laporan Marsudhi, SBY menyampaikan ucapan terima kasih kepada TPF karena sudah bekerja dengan baik. Marsudhi melanjutkan dengan memperkenalkan anggota TPF yang hadir di hadapan SBY. Begitu sebaliknya, SBY bergantian memperkenalkan kabinetnya yang ikut dalam pertemuan itu. “Pertemuan enggak lama, antara 15-30 menit,” kata Marsudhi.

Setelah itu SBY mempersilakan Marsudhi didampingi Sudi Silalahi untuk memberikan keterangan pers. Di hadapan wartawan, Marsudhi menceritakan poin-poin pertemuan dengan SBY. Namun dia tidak membeberkan temuan TPF dan isi laporan akhir. TPF tidak berwenang membuka temuan itu ke publik. Pemerintah berkewajiban menyampaikan laporan itu ke publik.

“Memang ada kewajiban menyampaikan ke publik, memang harus terbuka. Harus diketahui publik. Yang menyampaikan pemerintah. Tidak harus presiden, orang sering salah. Pemerintah itu bisa presiden dan kabinetnya,” ujar Marsudhi.

Mantan Seskab dan Mensesneg Sudi Silalahi berdalih, pemerintah SBY tidak mengumumkan hasil temuan TPF kepada masyarakat karena masuk kategori pro-justitia. Temuan TPF tetap ditindaklanjuti secara hukum.

“Jika dulu pemerintahan Presiden SBY belum membuka ke publik karena masih diberlakukan sebagai pro-justitia guna kepentingan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, kepentingan tersebut kini sudah tidak adalagi,” kata Sudi Silalahi di Cikeas.

Marsudhi sejalan dengan Sudi. Langkah hukum terhadap pihak BIN dan Garuda Indonesia yang terlibat dalam kasus pembunuhan Munir, seharusnya bisa dipandang sebagai sebuah pengumuman kepada publik bahwa temuan TPF ditindaklanjuti. Tapi dia memahami jika masyarakat menunggu pemerintah mengumumkan temuan TPF lantaran ada tertera bahwa laporan TPF harus diungkap ke publik secara terbuka.

“Sebenarnya ada yang ditangkap, lalu divonis, itu sebenarnya sudah pengumuman. Apalagi yang mesti diumumkan? langsung penindakan,” kata Marsudhi.

Mantan anggota TPF, Hendardi tidak begitu puas dengan penindakan yang sudah dilakukan di era pemerintahan SBY. Apalagi aktor intelektual di balik pemufakatan jahat pembunuhan Munir belum tersentuh hukum. Pollycarpus hanya aktor lapangan alias eksekutor. Setidaknya ada empat level yang mesti dijangkau penyidik. Tapi semua seolah tak bisa menyentuh level tertinggi. Tidak heran jika banyak yang menilai pemerintah hanya setengah hati menuntaskan kasus ini.

“Memeriksa Muchdi, tapi kemudian lepas dari pengadilan. Jadi karena apa? Ini karena politik. Ada posisi tawar kuat bagi mereka untuk tidak diselidiki,” kata Hendardi di kantornya.

Hingga rezim SBY berakhir dan berganti pemerintahan baru, aktor intelektual pemufakatan jahat pembunuhan Munir belum terungkap. Wajar saja jika pemerintahan Jokowi didesak kembali membuka temuan TPF dan menindaklanjutinya. Tapi pemerintah berdalih dokumen laporan akhir temuan TPF tidak tersimpan di istana negara, sehingga belum bisa ditindaklanjuti. Bola panas kembali dilempar ke pemerintahan SBY.

Sudi Silalahi mengakui, naskah laporan akhir TPF Munir hingga saat ini sedang ditelusuri keberadaannya. Sebelum pemerintah SBY berakhir, dokumen-dokumen negara yang penting sudah diseleksi, dikumpulkan lalu diserahkan kepada lembaga kepresidenan dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Tapi Sudi tidak ingat betul apakah laporan akhir TPF Munir ada di salah satu dokumen itu.

Saat mantan pejabat pemerintahan SBY sibuk mencari keberadaan dokumen itu, ada yang mengirimkan fotokopi naskah yang dimaksud. SBY dan anak buahnya langsung melakukan kesesuaian dan otentifikasi dokumen tersebut. SBY memanggil Marsudhi ke kediamannya di Cikeas, Bogor, Senin (24/10).

“Untuk memastikan dokumen, saya secara moral harus bertanggungjawab juga. Ada anggota kabinet. Sebelumnya mungkin mereka rapat dulu, lalu mungkin mereka merasa perlu panggil saya. Jadi saya hadir,” kata Marsudhi.

Dia mulai menjelaskan pada SBY seluk beluk laporan tersebut. Laporan itu dipastikan tidak mengalami perubahan atau penyuntingan dalam bentuk apapun. Tidak ada yang ditambah atau dikurangi. Marsudhi yakin isi dokumen itu sesuai yang diserahkan pada SBY lebih dari 10 tahun lalu. Dia yakin tidak ada unsur kesengajaan dari peristiwa hilangnya dokumen laporan akhir TPF.

“Untuk kepentingan apa dia (SBY) hilangkan itu? tidak ada. Kalau perlu dan tidak melanggar aturan, dia bagi-bagikan itu. Enggak masuk akal dibilang menghilangkan,” ucap Marsudhi.

Sudi juga bereaksi keras atas tudingan penghilangan dokumen yang mengarah pada pemerintahan SBY. Dia berdalih tidak ada urgensi atau kepentingan apapun untuk menghilangkan laporan itu. Apalagi sejumlah penindakan dan proses hukum sudah dilakukan terhadap mereka yang disebut-sebut terkait kasus pembunuhan Munir. Menurutnya, jika keputusan pengadilan tidak memuaskan, maka tidak harus mengatakan pemerintahan SBY setengah hati menindaklanjuti temuan TPF.

“Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan barangkali dianggap memiliki kewenangan yang luas, tetapi Presiden Republik Indonesia tidak memiliki hak dan kewenangan konstitusional misalnya untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, dan harus diadili, dan kemudian harus dinyatakan bersalah,” katanya.

Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf justru punya analisa dan pandangan berbeda. Dokumen laporan akhir TPF kasus kematian Munir bisa jadi sengaja dihilangkan. Sebab, pembunuhan Munir merupakan pembunuhan politik yang melibatkan operasi bersifat rahasia, terencana, dan bersekongkol.

“Artinya ini suatu operasi khusus yang bekerja untuk menghilangkan dokumen ini dengan harapan ini akan jadi hambatan untuk proses hukum. Bisa juga ini bagian dari komoditas politik untuk tidak memeriksa. Itu semua kemungkinan,” jelas Al Araf di kantornya.

Upaya membuka tabir gelap pembunuhan Munir tak boleh berhenti. Dia mengkritik Sudi Silalahi yang membeberkan tindak lanjut proses hukum yang dilakukan di era pemerintahan SBY. “Keterangan dari mantan Seskab era SBY, Sudi Silalahi menyebutkan bahwa rekomendasi TPF telah dijalankan oleh SBY, adalah pernyataan yang tidak benar,” tutupnya.

Sumber: merdeka.com

Jika Hilangkan Dokumen Kasus Munir, SBY Bisa Dipidana

Jika Hilangkan Dokumen Kasus Munir, SBY Bisa Dipidana

SBY Jika Hilangkan Dokumen TPF Munir

Jakarta – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan pihak yang pertama yang dimintai pertanggungjawaban jika keberadaan dokumen Tim Pencari Fakta Kasus Munir sebagai dokumen negara tidak ditemukan keberadaannya.

“Jika hasil investigasi TPF kematian Munir tidak ditemukan di Sesneg dan tidak diketahui lagi keberadaannya, maka orang pertama yang harus dimintai pertanggungjawaban secara pidana adalah SBY yang waktu itu sebagai Presiden telah menerima dokumen hasil investigasi tersebut,” kata Petrus di Jakarta, Sabtu (22/10).

Petrus mengatakan Yusril Ihza Mahendra dan Sudi Silalahi sebagai pejabat Menteri Sesneg dan Seskab masa pemerintahan SBY telah mengaku bahwa dokumen temuan hasil investigasi TPF kematian Munir telah diterima oleh Presiden SBY. Namun, sayangnya, kata dia, SBY tidak pernah umumkan dan tidak serahkan dokumen tersebut untuk disimpan oleh Mensesneg.

“Tindakan SBY tersebut harus dipandang sebagai bukti bahwa SBY-lah satu-satunya yang harus bertanggung jawab jika dokumen negara yang sangat sensitif dan berharga itu hilang dan tidak ada yang mau mengaku di mana keberadaannya,” tandas dia.

TPDI, kata Petrus memberi waktu 14 (empat belas) hari kepada SBY untuk menjelaskan secara resmi kepada negara di mana dokumen TPF kematian Munir disimpan dan mengapa tidak dimumkan ke publik. Penjelasan SBY, menurutnya akan dijadikan dasar untuk penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut.

“Publik bisa saja menduga bahwa sikap diam SBY dan tidak segera mengumumkan temuan TPF kematian Munir mengindikasikan bahwa SBY sesunggguhnya sedang melindungi orang penting di internal Inteligen Negara yang diduga terlibat dalam kasus kematian Munir,” pungkas dia.

TPDI juga, lanjut Petrus mendesak Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk membentuk tim penyelidik dan penyidik untuk menemukan kembali dokumen hasil investigasi TPF kasus Munir sekaligus memproses hukum siapa yang menyembunyikan atau membuatnya menjadi hilang. Menurutnya, siapapun terbukti menghilangkan dokumen tersebut dengan tujuan melindungi pelaku lainnya, maka pihak yang bersangkutan termasuk SBY juga harus dihukum, karena negara kita adalah negara hukum.

“Jika ada yang bilang Presiden Jokowi harus bertanggungjawab atas hilangnya dokumen tersebut, maka itu harus dimaknai tanggung jawab untuk mempidana dan mempenjarakan siapapun yang menghilangkan dokumen tersebut, termasuk jika terbukti SBY yang menghilangkan, maka hukum harus ditegakan tanpa pandang bulu,” pungkas dia. []

Sumber: beritasatu.com