Dokumen TPF Munir Wajib Diarsipkan ke ANRI

Dokumen TPF Munir Wajib Diarsipkan ke ANRI

munir-12-tahun-web

KebebasanInformasi.org – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) telah memanangkan gugatan dalam sengketa informasi dengan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) terkait dengan dokumen hasil penyeledikikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian Munir. Dalam Putusan KIP Nomor 025/IV/KIP-PS-A/2016 tanggal 10 Oktober 2016, Komisi Informasi (KI) Pusat menyatakan dokumen tersebut merupakan informasi yang harus diumumkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kemensetneg wajib mengumumkan dan memberikan dokumen ini kepada publik.

Namun hingga kini, Kemensetneg bersikukuh bahwa dokumen tersebut tidak berada dalam penguasaan lembaganya. Presiden Joko Widodo pun turun tangan dengan memerintahkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo untuk melakukan penelusuaran di mana keberadaan arsip tersebut. Sementara pihak KontraS berencana membawa masalah ini ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN), jika dalam waktu 14 hari pasca putusan, dokumen TPF Munir tidak juga ditemukan.

Menanggapi kasus tersebut, Kepala Bagian (Kabag) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Gurandhika menyatakan, dokumen TPF Munir merupakan dokumen yang wajib diarsipkan di ANRI. Sebab, ini adalah arsip atau dokumen yang menggunakan anggaran negara dalam proses pembuatannya. Lembaga yang wajib mengarsipkannnya adalah lembaga pencipta dokumen tersebut.

“Yang menciptakan itu lembaga mana, apakah setneg atau mana, diserahkan kepada siapa?,” tanya Gurandhika, di Jakarta, Rabu (19/10)

Ia mengaku, hingga saat ini belum ada pihak yang menyerahkan dokumen tersebut ke ANRI. “Kalau sudah diserahkan ke ANRI dan menjadi hak publik untuk tahu, tentu bisa diakses,” ujarnya.

Ia juga mempertanyakan, apakah dokumen tersebut telah selesai digunakan. Jika belum, maka belum dapat disimpan sebagai arsip statis oleh ANRI. “Kalau penanganan kasusnya belum selesai, kita tidak bisa memintanya. Kalau kasus itu sudah selesai, urusan sudah selesai, prosesnya sudah ketahuan, maka lembaga itulah yang harus menyerahkan ke ANRI. Atau bisa kita yang buru-buru ambil. Tapi kalau masih jadi perdebatan masyarakat, masih banyak kepentingan penyidikan, dan segala macam, artinya masih  dalam proses pemeriksaan seperti itu, tidak bisa,” paparnya. (BOW)

Tata Kelola Arsip Tentukan Kualitas DIP Badan Publik

Tata Kelola Arsip Tentukan Kualitas DIP Badan Publik

Tata Kelola Arsip dan DIP

KebebasanInformasi.org – Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelengaraan negara yang terbuka ialah terpenuhinya hak publik untuk memperoleh informasi. Hak atas informasi ini menempati posisi yang amat vital karena menyangkut kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara. Semakin terbuka penyelenggaraan negara maka semakin dapat dipertanggungjawabkan. Hak publik atas informasi ini juga sangat relevan sebagai upaya peningkatan kualitas keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik.

Untuk memberikan pelayanan informasi publik secara optimal, badan publik memiliki kewajiban untuk menyediakan Daftar Informasi Publik (DIP), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dengan DIP, badan publik memiliki catatan yang jelas, rinci, dan sistematis tentang informasi publik yang dapat dipertanggungjawabkan. DIP juga menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengetahui informasi apa saja yang berada dalam penguasaan badan tersebut. Di sisi lain, DIP membantu efektifitas kerja pada badan publik terkait.

Keberadaan dan ketersediaan DIP ini sangat bergantung pada tata kelola kearsipan yang dimiliki badan publik. Namun hingga saat ini, tata kelola arsip pada lembaga atau kementerian kita secara keseluruhan belum dapat dikatakan baik. Kondisi tersebut terungkap dalam diskusi antara FoINI dengan Arsip Nasional Indonesia (ANRI), Rabu (19/10).

Kepala Bagian (Kabag) Hubungan Masyarakat (Humas) ANRI, Gurandhika, dalam kesempatan itu mengatakan, pengelolaan arsip harus dimulai dari hulunya, yakni unit-unit kerja terkecil. Dari situ akan dihasilkan produk berupa arsip aktif atau arsip yang masih sering digunakan. Arsip aktif ini kemudian dikumpulkan oleh tiap-tiap kementrian/lembaga untuk menjadi DIP. “Jadi tata kelolanya memang harus dimulai tertib sejak awal,” ujarnya.

Ketika arsip di tiap hulu sudah tertib, dapat dipastikan lembaga/kementerian memiliki DIP yang baik dan lengkap. “Yang diminta masyarakat adalah informasi akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Mau tidak mau sumbernya adalah arsip,” kata Gurandhika. (BOW)

Foto: tempo.co

Koalisi Sipil Minta Gubernur Anulir Tim Seleksi Komisi Informasi Sulteng

Koalisi Sipil Minta Gubernur Anulir Tim Seleksi Komisi Informasi Sulteng

KIP

PALU – Sejumlah lembaga masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Sipil Sulawesi Tengah (Sulteng) meminta Gubernur Sulteng Longki Djanggola, untuk menganulir Tim Seleksi (Timsel) rekruitmen komisioner Komisi Informasi (KI) Sulteng untuk periode 2016-2019. Permintaan itu antara lain dilandasi atas tidak transparannya proses pembentukan Timsel.

“Menurut peraturan Komisi Informasi itu, tahapan seleksi sudah akan berakhir pada 16 Oktober 206 ini. Tapi satupun informasi yang terkait dengan tim seleksi tidak tersebar ke publik. Ada apa ini.?” tanya koordinator Koalisi Sipil Sulteng, Muhammad Subarkah, Jumat (7/10/2016).

Ia mengatakan, dalam Peraturan Komisi Informasi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Informasi, memang tidak terdapat kewajiban untuk mempublikasikan proses pembentukkan tim seleksi oleh pemerintah, yang ditetapkan oleh gubernur. Namun jika dilihat dari semangat atau spirit Undang-Undang Keterbukaan Informasi Nomor 14 Tahun 2008 yang ingin mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan, maka seyogyanya pemerintah Provinsi Sulteng mempublikasikan kepada publik terkait proses pembentukkan tim seleksi serta siapa saja mereka.

Ia juga menerangkan, sesuai Peraturan Komisi Informasi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Informasi pasal 8 poin 1, persyaratan umum untuk menjadi calon tim seleksi merupakan warga negara Indonesia (WNI), memiliki integritas, tidak tercela dan bukan anggota partai politik dalam jangka lima tahun terakhir.

Di bagian persyaratan khusus disebutkan, untuk menjadi calon tim seleksi unsur akademisi, yakni berpendidikan paling rendah strata dua (S2) dan memiliki pengetahuan di bidang keterbukaan informasi publik. Selanjutnya, poin 3, persyaratan khusus untuk menjadi calon tim seleksi unsur pemerintah adalah pejabat struktural eselon dua atau lebih tinggi, termasuk memiliki pengalaman di bidang keterbukaan informasi publik. Poin 4, persyaratan khusus untuk menjadi calon tim seleksi unsur masyarakat, yakni, tokoh masyarakat dan memiliki pengetahuan tentang informasi publik.

“Pertanyaannya,  sudahkah semua unsur tersebut terwakili dan benar-benar memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk 2 orang unsur akademisi, 1 orang unsur pemerintah, 1 orang unsur masyarakat dan 1 unsur KI Pusat?” gugatnya.

Ia menegaskan, jika poin itu tidak terpenuhi, maka patut diduga prosedur tidak dijalankan sesuai mandat yang tertuang dalam Peraturan Komisi Informasi, sangat tidak mencerminkan keterbukaan informasi, dan publik tidak mendapat ruang untuk memberikan masukan bahkan saran kepada pemerintah terkait Timsel yang terbentuk.

“Mestinya pemerintah lebih terbuka dan tim seleksi sekiranya juga berpedoman pada peraturan komisi informasi dimana salah satu tahapannya mengumumkan pendaftaran melalui dua surat kabar lokal dan media massa elektronik selama tiga hari berturut-turut, selambat-lambatnya dua hari kerja sebelum pendaftaran dibuka,” tandasnya.

Selain itu Koalisi Sipil Sulteng, yang beranggotakan Jatam, PBHR, LPSHAM, Sulawesi Community Foundation, AJI Palu dan YTM, meminta kepada Gubernur untuk menganulir Timse yang sudah dibentuk. Selain karena dinilai bekerja secara ‘diam-diam’, ketidakterwakilan unsur-unsur sebagaimana amanat Peraturan KI tidak terpenuhi.

Ia menegaskan, koalisi masyarakat sipil akan mengawal semua tahapan proses seleksi sebagai bagian peran aktif masyarakat dalam mendorong pemilihan calon komisi informasi yang benar-benar memiliki semangat dan integritas dalam menjalankan mandat Undang-undang Keterbukaan Informasi Nomor 14 tahun 2008. []

sumber : kabarpalu.net

Buruknya Tata Kelola dan Kesadaran, Hambat Kebijakan Pemerintah ‘Satu Data’

diskusi Anri dengan FoINI

KebebasanInformasi.org – Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC), Ahmad Hanafi, mengungkapkan pemerintahan tengah menggalakkan kebijakan Satu Data atau One Data, yang salah satu tujuannya mempermudah akses publik dalam memperoleh data yang dibutuhkan. Namun itu sulit diimplementasikan akibat masih buruknya tata kelola data dan arsip di banyak kementerian/lembaga.

Kondisi tersebut diamini oleh Gurandhika, Kepala Bagian (Kabag) Humas ANRI, saat menerima kunjungan dari rekan-rekan yang tergabung dalam FoINI, Rabu (19/10). Ia menuturkan, sebagai lembaga kearsipan nasional, ANRI memiliki aplikasi dengan konsep hampir serupa dengan Satu Data yang digagas Pemerintah.

“Kami (ANRI) punya sistem yang disebut Jaringan Informasi Kearsipan Nasional (JIKN). JIKN itu mirip satu data, dimana masyarakat bisa mengakses data yang dibutuhkan dalam satu sistem kearsipan,” terang Gurandhika.

Melalui JIKN ini, ANRI membentuk simpul-simpul terdiri dari kementerian dan lembaga di seluruh Indonesia yang telah mendaftarkan diri. Tetapi sistem tersebut kurang maksimal karena minimnya kesadaran maupun antusias dari tiap-tiap lembaga/kementerian.

Hingga saat ini, baru 40 dari seluruh badan publik di Indonesia yang terdaftar dalam JIKN. Harapannya, seluruh kementerian dan lembaga yang ada baik, nasional maupun daerah bisa segera menjadi satu simpul dalam JIKN tersebut.

Perlu diketahui, arsip-arsip yang tersedia di JIKN adalah arsip statis, yakni arsip yang sudah sudah selesai penggunaannya. Sedangkan untuk arsip dinamis atau arsip yang masih aktif digunakan oleh lembaga/kementerian terkait, ANRI menyediakannya melalui Sistem Informasi Kearsipan Nasional (SIKN). (BOW)

Ferry: Rekam Medis adalah Informasi yang Dikecualikan

Ferry: Rekam Medis adalah Informasi yang Dikecualikan

Ferry

KebebasanInformasi.org – Komisioner KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, menjelaskan, salah-satu syarat bagi bakal pasangan calon untuk melaju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ialah sehat jasmani dan rohani. Oleh karena itu, sebelum resmi ditetapkan sebagai pasangan calon, mereka wajib mengikuti tes kesehatan.

Dalam pelaksanaan tes kesehatan tersebut, KPU berkoordinasi dengan IDI, BNN, dan Himpsi. Ketiganya kemudian merekomendasikan rumah sakit dan para dokter untuk menjalankan pemeriksaan. Selanjutnya, KPU akan mendapatkan hasil pemeriksaan, apakah bakal calon yang bersangkutan layak atau tidak layak, mampu atau tidak mampu secara jasmani dan rohani untuk menjalankan aktivitas sebagai calon kepala daerah.

“KPU tidak punya otoritas untuk masuk pada wilayah menentukan apakah pasangan calon itu sehat atau tidak sehat. Yang punya otoritas itu adalah dokter di rumah sakit yang ditunjuk,” ujar Ferry, di ruang kerjanya, Jumat (14/10) lalu.

Ia menerangkan, informasi rinci hasil tes kesehatan bakal pasangan calon ini termasuk dalam informasi yang dikecualikan. Publik hanya dapat mengatahui sebatas bahwa calon yang bersangkutan layak atau tidak layak, mampu atau tidak mampu secara jasmani dan rohani untuk menjadi calon kepala daerah.

“Hal-hal lain di luar itu, khususnya terkait dengan hasil pemeriksaan dokter dan rekam medisnya, itu adalah informasi yang dikecualikan, sesuai dengan SK yang sudah kami keluarkan,” jelas Ferry.

Ia menegaskan, rekam medis ini merupakan data pribadi sehingga hanya dokter dan orang bersangkutan yang dapat mengaksesnya. Sementara orang atau pihak lain baru bisa memperoleh data tersebut apabila seizin atau dengan persetujuan orang yang bersangkutan.

“Tentunya publik harus memahami bahwa hasil rekam medis itu adalah informasi yang dikecualikan,” kata Ferry.

“Itu adalah data pribadi. Data-data yang terkait dengan kesehatannya secara pribadi. Kalau pun orang per orang ingin mengetahui, maka harus dengan persetujuan orang yang bersangkutan,” papar Ferry.  (BOW)