Minim Transparansi, Riau Rawan Korupsi

Minim Transparansi, Riau Rawan Korupsi

Cegah Pungli dengan Transparansi

PEKANBARU - Kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau menunjukkan bahwa kinerja Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dalam keterbukaan informasi publik masih rendah. Hal itu dibuktikan dengan skor keterbukaan informasi yang dilakukan di seluruh daerah provinsi Riau yang berada di bawah angka 25 persen.

Rendahnya keterbukaan informasi publik ini, menurut kajian Fitra, menjadi alasan bagi Riau menjadi daerah rawan korupsi, yang dinilai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2014 lalu.

“Kondisi pemerintah yang tertutup ini beririsan dengan tumbuh suburnya praktik korupsi terjadi di berbagai sektor. Kekhawatiran lembaga pemerintahan maupun badan publik membuka akses informasi menjadi tanda ada yang hendak ditutupi,” ujar Koordinator Fitra Riau, Usman, dalam acara Rembuk Transparansi Tata Kelola Hutan dan Lahan di Gedung Daerah provinsi Riau, Rabu, (30/11/2016).

KPK mengkategorikan bahwa tahun 2016 ini provinsi Riau merupakan satu dari tiga daerah yang masuk menjadi daerah zona merah rawan korupsi. Menurut Usman, fakta tersebut merupakan kenyataan yang memprihatinkan bagi masyarakat Riau.

Untuk mengubah stereotip bahwa Riau sebagai daerah rawan korupsi, Usman memperingatkan bahwa keterbukaan informasi untuk publik mutlak harus diperbaiki dan ditingkatkan.

“Transparansi menjadi salah satu strategi untuk mencegah korupsi di berbagai sektor termasuk dalam pengelolaan hutan dan lahan,” kata Usman.

Ia juga mengungkapkan, sengketa informasi di Komisi Informasi (KI) Provinsi Riau sejak tahun 2013 sampai 2016 menunjukkan angka yang terus mengalami peningkatan signifikan. Dari 151 sengketa informasi terdapat 102 sengketa yang berkaitan dengan dokumen atau informasi anggaran.

“Sebagian besar sengketa informasi yang diajukan merupakan informasi yang semestinya tidak harus disengketakan. Fakta ini menunjukkan badan publik khususnya pemerintah daerah belum memiliki keseriusan dalam memperbaiki kinerja pengelola keuangan yang jelas-jelas telah dinyatakan terbuka oleh undang-undang,” jelas Usman.

Rembuk transparansi yang digagas oleh Fitra Riau bersama KI Riau tersebut merupakan upaya untuk mendorong dan memastikan diperbaikinya transparansi khususnya badan publik memerintah di provinsi Riau. Salah satu titik tekan dalam persoalan transparansi Bagaimana komitmen Pemerintah ke depan dalam implementasi undang-undang Keterbukaan Informasi Publik. ()

Sumberriauonline.co.id

Pemprov DKI Diminta Terbuka Soal Dana CSR

Pemprov DKI Diminta Terbuka Soal Dana CSR

pemprov-dki-dinilai-tak-transparan-soal-dana-csr-sampai-reklamasi

Jakarta – Tim Advokasi untuk Demokrasi dan Transparansi mengajukan surat permohonan data dan informasi kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Data (PPID) Pemprov DKI terkait transparansi pengelolaan pemerintahan. Salah satu data yang diminta ialah soal penggunaan dana-dana operasional, serta dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan yang diterima Pemprov DKI

Ketua Tim Advokasi untuk Demokrasi dan Transparansi Mustolih Siradj mengatakan, surat permohonan diajukan sesuai dengan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pihaknya meminta Pemprov DKI lebih transparan dalam melaporkan penggunaan tata kelola pemerintahan di lingkungan DKI Jakarta meliputi dana-dana operasional, CSR dari perusahaan yang diterima Pemprov, dana insentif pajak dan retribusi, anggaran rumah dinas Gubernur dan Wakil Gubernur, pengelolaan APBD, kebijakan reklamasi, biaya kegiatan penggsusuran, SK mutasi dan promosi pejabat dan sebagainya.

“Tujuannya untuk meminta transparansi tentang good governance Pemprov DKI. Selama ini hanya versi sepihak Gubernur saja. Ini bagian dari control public. Kami tidak hanya akan meminta transparansi soal anggaran ini. Tapi kami juga akan meminta transparansi soal dana kampanye dari semua calon,” kata Mustolih kepada wartawan, Selasa, 29 November 2016 kemarin.

Mustolih menolak jika langkahnya dianggap politis.“Kami juga akan meminta transparansi penyelenggaraan pilkada kepada semua pasangan calon, KPU dan Panwaslu. Demokrasi akan benar-benar terwujud bila semua stakeholder mau transparan,” tegasnya.

Mustoloh berharap ada respons bagus dari PPID dengan menjawab surat permohonan dan memberikan data yang diminta. Pihaknya akan menunggu selama 30 hari kerja sejak surat permohonan diajukan pada Senin 28 November 2016.

Seandainya itu ditolak atau tidak direspons, tim akan langsung melaporkan ke Komisi Informasi Publik (KIP). Tim menilai, selama ini Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai petahana tidak terbuka dalam mengelola anggaran.

Mustolih mencontohkan, publik tidak pernah tahu mengenai siapa saja penyumbang dana CSR untuk masyarakat Jakarta, digunakan sebagai apa saja dana CSR tersebut, dasar hukum pemberian dan penggunaan CSR seperti apa, dan kompensasi yang diterima perusahaan pemberi CSR.

“Ini semua tidak jelas. Dasar hukumnya apa, peruntukannya untuk apa saja, dan kompensasi apa yang diterima. Seharusnya PPID merespons permintaan tersebut karena itu sesuai dengan UU Nomor 14/2008. Kami mau semua terbuka agar masyarakat Jakarta tahu,” lanjut Mustolih.

Selain melayangkan surat permohonan transparansi informasi ke Pemprov DKI Jakarta, tim advokasi juga mengajukan surat sama kepada Teman Ahok. Tim mempertanyakan soal badan hukum lembaga atau perkumpulan Teman Ahok, termasuk belum adanya akuntan publik yang mengaudit keuangan lembaga tersebut.

“Kemudian mengenai penggalangan-penggalangan dana yang dilakukan Teman Ahok, apakah mengikuti aturan dari Kementerian Sosial sesuai dengan UU Nomor 9/1961. Itu harus dicek,” tuturnya.

Mustolih juga memastikan tidak ada muatan politis terkait permohonan transparansi informasi ke Teman Ahok.

Sumber: sindonews.com

Mahfudz: Perpanjangan Masa Jabatan MK, Serahkan pada DPR

Mahfudz: Perpanjangan Masa Jabatan MK, Serahkan pada DPR

mahkamah-konstitusi

KebebasanInformasi.org – Mantan Ketua MK, Mahfud MD, mengingatkan agar hakim MK tidak mengadili sesuatu yang berkaitan dengan lembaganya karena bertentangan dengan etika peradilan. Hal ini terkait dengan Permohonan uji materi tentang perpanjangan masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh Hakim Binsar Gultom dan Lilik Mulyadi serta Centre of Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI)

“Jabatan, gaji, masa kerja, kenaikan pangkat, dan seterusnya tidak boleh. Itu melanggar etik,” ujar Mahfud, di Jakarta, Selasa (29/11/2016).

Ia berpendapat, jika argumentasi Pemohon dianggap benar, MK tetap tidak layak memberikan putusan. Sesuai kewenangannya, MK hanya dapat memberikan putusan apabila terdapat kesalahan dalam Undang-undang.

Menurut pandangan Mahfudz, masalah perpanjangan masa jabatan MK sebaiknya diserahkan pada keputusan politik hukum di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian, masyarakat juga dapat berpartisipasi andil memberikan pendapat dan masukan. “Diserahkan ke DPR dan masyakarat mendiskusikan. Setelah di DPR, DPR sidang apakah perlu atau tidak siapkan UU,” jelasnya.

“Jadi MK supaya tidak masuk ke hal-hal yang buat semakin dilihat sebagai lembaga dan pejabat yang tidak tahu malu kalau putuskan dirinya sendiri yang sifatnya fasilitas,” tuturnya.

Sebagaimana diketahui, dalam permohonannya Binsar dan Lilik meminta agar masa jabatan hakim MK disamakan dengan hakim MA, yakni hingga berusia 70 tahun. Sedangkan CSS UI, meminta jabatan hakim MK tidak dibatasi dengan periodisasi, yang kemudian dapat ditafsirkan bahwa jabatan hakim MK adalah seumur hidup.

Dalam penjelasannya, Direktur Litbang CSS UI Dian Puji N Simatupang, mengklarifikasikasi penafsiran tersebut. Ia mengatakan, pokok permohonan kepada MK ialah meminta masa jabatan hakim MK disamakan dengan hakim Mahkamah Agung (MA).

Ia memaparkan, pasal yang diuji adalah Pasal 4 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003). Menurut Dian, ketentuan tersebut diskriminatif karena membatasi masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK hanya boleh diemban selama dua tahun enam bulan.

Kemudian, CSS UI juga menilai pasal 22 UU 24/2003 diskriminatif karena masa jabatan hakim MK dibatasi hanya selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

“Kami meminta tidak mengikat masa jabatan lima tahun dan dipilih kembali, tetapi dipilih sampai usia pensiun, yakni 70 tahun, sebagaimana hakim Agung MA,” kata Dian, di Jakarta Rabu (30/11/2016).

Ia berpendapat, kedudukan hakim dalam peradilan mana pun tidak pernah mengenal masa jabatan dan periodesasi jabatan. Pihaknya juga berpandangan, aturan mengenai jabatan hakim MK seperti itu berpotensi membatasi MK untuk dapat menyelenggarakan peradilan yang taat pada hukum dan berkeadilan bagi masyarakat.

“Yang kami mohonkan adalah masa jabatan sampai usia pensiun dengan proses sistem prosedur yang terbuka akuntabel. Sehingga, dapat menghasilkan hakim MK yang negarawan,” terang Dian.

Ia mengklarifikasi adanya penafsiran bahwa pihaknya mengajukan uji materi dengan pokok permohonan masa jabatan hakim MK adalah seumur hidup. “Tidak ada niat, pemikiran, dan keinginan dari kami sebagai sekumpulan intelektual memohon masa jabatan hakim MK seumur hidup,tidak sama sekali,” kata Dosen Fakultas Hukum UI tersebut.

Dalam sidang lanjutan, Selasa (1/11/2016), mantan Ketua MA, Bagir Manan, selaku Ahli pemohon, menyampaikan kepada majelis persidangan bahwa pembatasan masa jabatan hakim akan memunculkan berbagai kekhawatiran yang dapat mempengaruhi sikap imparsialitas hakim dalam memutus perkara.

“Kekhawatiran diberhentikan atau tidak diangkat, atau tidak dipilih lagi,” kata Bagir, dikutip dalam persidangan.

Ia mengatakan, untuk menghindari hal itu, maka masa jabatan hakim harus cukup panjang. Bahkan, beberapa negara di dunia menetapkan jabatan hakim seumur hidup (for life).

“Dalam masa jabatan yang cukup panjang, hakim tidak dapat diberhentikan karena alasan-alasan yang bertalian dengan pelaksanaan tugasnya. Kalaupun akan diberhentikan karena alasan pelaksanaan pekerjaannya harus dengan prosedur khusus seperti impeachment,” kata Bagir. (BOW)

KPU dan KI Pusat Teken MoU untuk Wujudkan Pemilu Transparan dan Berintegritas

KPU dan KI Pusat Teken MoU untuk Wujudkan Pemilu Transparan dan Berintegritas

3574c9243a2fd17cae2338ed4c1bd52b

KebebasanInformasi – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menandatangani nota kesepahaman (memoradum of understanding/MoU) dengan Komisi Informasi (KI) Pusat di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol No.29 Jakarta, Selasa (29/11). Kerja sama dilakukan guna mewujudkan pemilu yang transparan dan berintegritas.

Dalam sambutannya, Ketua KI Pusat, John Fresly Hutahean menyampaikan terimakasih dan apresiasinya kepada KPU atas penandatanganan MoU ini. Ia menuturkan, MoU ini dilakukan demi terselenggaranya pemilu yang berintegritas dan trasnparan.

Ia mengungkapkan, selama ini, KPU telah menunjukkan komitmennya menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi dalam proses penyelenggaraan pemilu. Hal itu dapat dilihat dari berbagai terobosan yang dibuat KPU, misalnya membuka form C-1. Langkah tersebut, menurut John, menunjukan bahwa KPU menjunjung tinggi asas keterbukaan informasi dan menjalankan pemilu secara jujur adil (jurdil) dan langsung umum bebas rahasia (luber). Inilah yang

“Komitmen KPU melaksanakan prinsip-prinsip keterbukaan tercermin seperti pada Pemilu 2014, KPU membuka formulir C1 yang dapat diakses publik. Itu bentuk komitmen penyelenggara yang mandiri dan independen, sehingga KPU dapat menyelenggarakan pemilu yang luber dan jurdil,” tutur John Fresly.

“Ini akan berpengaruh pada kualitas pemilu yang berkualitas dan berintegritas,” tambahnya.

Ia juga menekankan pentingnya peran Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang melekat pada fungsi kehumasan di sekretariat KPU seluruh Indonesia. Apabila menjalankan fungsi kehumasan dengan prinsip keterbukaan, maka penyelenggaraan pemilu dapat dijalankan dengan lebih baik.

KI Pusat juga akan mendukung upaya-upaya KPU untuk membuat pemilu menjadi transparan dan berintegritas, salah satunya melalui kerjasama dalam hal keterbukaan informasi publik ini.

Sementara Ketua KPU Juri Ardiantoro, mengatakan, MoU antara KPU dengan KI Pusat merupakan salah satu langkah membangun mitra dengan institusi pemerintahan dan swasta dalam rangka menyukseskan pilkada serentak 2017 dan 2018 serta pemilu serentak 2019.

“Tahun lalu (2015), kami menjadi lembaga terbuka nomor dua setelah PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan) berdasarkan penilaian KI Pusat. Kita harapkan tahun ini menjadi yang pertama, apalagi sudah MoU dengan KI Pusat,” ujar Juri.

Ia mengharapkan, MoU ini tak berhenti di KPU RI saja. Kepada KPU di daerah, ia mengimbau, untuk segera melakukan MoU dengan lembaga-lembaga lain, termasuk KI daerah, guna memastikan pelaksanaan Pilkada yang transparan dan terbuka.

“Kita perlu memaksimalkan SDM kita, bangun kerja sama dengan berbagai pihak sehingga isu pemilu tidak menjadi monopoli kita saja,” tegas Juri. (BOW)

PPID Award Kulonprogo, Hadiah bagi Badan Publik yang Terbuka

PPID Award Kulonprogo, Hadiah bagi Badan Publik yang Terbuka

penghargaan-ppid

Kulonprogo – Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kabupaten Kulonprogo menggelar PPID Award 2016. Gelaran itu untuk memotivasi badan publik di tingkat pemerintah kabupaten (Pemkab) dalam menerapkan keterbukaan informasi sesuai Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008.

Penghargaan diberikan kepada lima PPID Pembantu. PPID Pembantu Terbaik yakni Bappeda, Dinas Kesehatan, Kecamatan Girimulyo, Dinas Pendidikan dan Dinas Koperasi dan UMKM.

Penyerahan penghargaan dilakukan di Gedung Kaca, Kompleks Setda Kulonprogo (28/11). Hadir dalam acara itu, Kepala Bagian TI dan Humas Ariadi, selaku Ketua Penyelenggara PPID Award 2016. Kemudian Asisten Pembangunan Triyono, mewakili Penjabat Bupati Kulonprogo dan Komisioner Komisi Informasi (KI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Ariadi menjelaskan, penghargaan diberikan dengan kriteria penilaian yang hampir sama dengan PPID Award di pusat maupun provinsi. “Kami seleksi web-nya, pelaksanaan informasi, maupun inovasi masing-masing PPID dan respons aduan,” kata Ariadi.

Pertanyaan dan aduan masyarakat secara online juga terakses di PPID Utama, KemenPAN RB dan ke Sekretariat Kepresidenan. Diakui ada beberapa yang dinilai kurang aktif, karena ada beberapa hambatan, salah satunya karena kapasitas SDM.

Aduan melalui online sangat baik membangun komunikasi dengan masyarakat. Ajang penghargaan ini diharapkan akan dapat memacu PPID Utama dan PPID Pembantu sehingga semakin baik.

“Diharapkan, era keterbukaan informasi ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya, sehingga tidak ada kebuntuan informasi dari pemerintah dengan masyarakat,” ujarnya.

Sumber: radarjogja.co.id