Perkuat Implementasi OGP, Masyarakat Sipil Adakan Pertemuan Nasional

Perkuat Implementasi OGP, Masyarakat Sipil Adakan Pertemuan Nasional

Jakarta, Kebebasaninformasi.org – Sejumlah organisasi masyarakat sipil dari berbagai daerah di Indonesia melaksanakan pertemuan nasional untuk memperkuat koordinasi dalam mengawal pelaksanaan Open Government Partnership (OGP) di masa pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Pertemuan yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 19-20 November 2014 ini akan membahas isu strategis yang nanti akan disampaikan kepada pemerintah.

Acara ini akan membahasa 3 tantangan utama yang harus direspon oleh masyarakat sipil di Indonesia: pertama, memastikan agenda OGP dilaksanakan dan menjadi prioritas dalam pemerintahan yang baru. Kedua, memastikan bahwa OGP tidak hanya menjadi suatu inisiatif internasional, namun juga inisiatif nasional dan lokal yang berakar pada kebutuhan untuk memecahkan masalah-maslah dalam negeri. Ketiga, CSO di Indonesia memerlukan pola koordinasi yang efektif seklaigus representatif.

Salah satu pelaksana acara ini, Ahmad Faisol, menyatakan pertemuan ini akan merumuskan kesepakatan antar organisasi masyarakat sipil supaya program OGP ini membumi dan bermanfaat untuk masyarakat.”Nanti akan membuat rencana aksi dan pegangan untuk isu-isu yang akan di advokasikan oleh CSO (masyarakat sipil)” paparnya.

Direktur Eksekutif Medialink ini menegaskan ada beberapa isu strategis yang sudah dikelompokkkan dan akan dibahas secara mendetil dalam pertemuan nasional ini. “Isu strategis itu adalah anggaran dan transformasi kepajakan, keterbukaan parlemen dan keterbukaan politik, penegakan hukum dan peradilan, pembangunan desa, dan pelayanan publik” tegas Faisol.

Lebih lanjut Faisol menyatakan, selama ini implementasi OGP di pemerintah masih sebatas lips service. Pelaksanaan OGP terkesan dipaksakan dan tidak tuntas. Sementara di kalangan masyarakat sipil hanya beberapa di antaranya yang mendorong dan melakukan advokasi ini.

“OGP ini memang kurang membumi, harapan kami adalah menjadikan OGP ini sebagai gerakan nasional dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat” pungkasnya.

Bahas UU KIP, MK Minta Pemohon Perjelas Kerugian Konstitusional

Bahas UU KIP, MK Minta Pemohon Perjelas Kerugian Konstitusional

Sejumlah anggota Komisi Informasi Pusat dan Daerah menganggap bahwa Pasal 29 UU KIP bertentangan sifat kemandirian Komisi Informasi. Oleh sebab itu, mereka melakukan uji materiil terhadap undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Senin, (10/11/2014) MK menggelar sidang pertama perakara tersebut dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Dalam sidang tersebut MK memberikan beberapa nasihat.

Majelis yang dipimpin oleh Ahmad Fadlil Sumadi tersebut masih menilai argumentasi dalam berkas permohonan belum fokus dan tidak mengerucut pada kerugian konstitusional.

“Jadinya ini tidak karuan. Saudara akan menghadapi pembentuk UU, bahkan ahli. Ini bukan menang atau kalah, tetapi bagaimana Saudara meyakinkan bahwa permohonan ini benar-benar persoalan konstitusionalitas,” jelas Ahmad Fadlil Sumadi saat persidangan.

Tak hanya Fadli, Hakim Aswanto pun meminta agar permohonan harus dielaborasi dengan uraian fakta yang terjadi hingga pada kesimpulan para pemohon mengalami kerugian konstitusional secara aktual. “Nah, ini perlu dielaborasi sedemikian rupa, termasuk bisa dielaborasi dengan fakta yang terjadi ketika menangani 772 sengketa. Apakah betul-betul ada kerugian konstitusional secara spesifik ketika menangani 772 itu. Ini kan, penanganan 772 itu kan, tidak dalam waktu yang singkat, tapi sudah sekian lama,” saran Aswanto. (Risalah sidang lengkap dapat dilihat di link berikut: KLIK)

Tidak Mandiri

Dalam kesempatan yang sama kuasa hukum pemohon, Veri menilai Komisi Informasi sebagai lembaga semi peradilan yang memutus sengketa antara Badan Publik dengan pemohon informasi publik seharusnya menjadi lembaga mandiri dan independen seperti dimaksud Pasal 23 UU KIP. Artinya, dalam menjalankan tugasnya, Komisi Informasi seharusnya dilepaskan dari kepentingan (pemerintah) dan pihak yang berperkara.

Sesuai Pasal 23 UU KIP menyebutkan Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU dan aturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layananinformasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi, dan atau ajudikasi non litigasi.

Sayangnya, pengaturan kesekretariatan yang melibatkan pemerintah seperti diatur Pasal 29 UU KIP tidak mendukung independensi pelaksanaan tugas Komisi Informasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip kemandirian Komisi Informasi sebagai lembaga kuasi peradilan. “Meski didesain sebagai lembaga mandiri masih ada pengaturan yang tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ini terlihat dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (4),” tegasnya seperti dilansir hukumonline.com.

Oleh sebab itu, para pemohon meminta Pasal 29 ayat (2), (3), (4), (5) UU KIP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut: (2) Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh kesekretariatan Komisi Informasi Pusat; (3) Sekretariat Komisi Informasi Pusat dipimpin oleh Sekjen yang diusulkan oleh Komisi Informasi Pusat kepada presiden; (4) Sekretariat Komisi Informasi Provinsi dilaksanakan oleh sekretaris yang diusulkan oleh Komisi Informasi Provinsi kepada Komisi Informasi Pusat; dan (5) Sekretariat Komisi Informasi kabupaten/kota dilaksanakan oleh sekretaris yang diusulkan oleh Komisi Informasi kabupaten/kota kepada Komisi Informasi Provinsi.

Data Rentan Bocor, KIP Dukung Moratorium e-KTP

Data Rentan Bocor, KIP Dukung Moratorium e-KTP

Jakarta, Kebebasaninformasi.org – Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo menyatakan akan menghentikan sementara (moratorium) program e-KTP.  Program yang sudah dijalankan semenjak Menteri Dalam Negeri Gamawan fauzi ini dihentikan karena beberapa alasan.

Pertama, menurut Tjahyo, Kemendagri perlu melakukan evaluasi terhadap kualitas dan kuantitas data. Kedua, perlu juga melakukan evaluasi soal sistem dan teknologi kartu e-KTP. Ketiga, evaluasi soal pelaksanaan pelayanan publik dan sistem administrasi induk. Keempat, kemendagri perlu mengevaluasi sistem keamanan dan data e-KTP. Dan kelima, menginventarisasi ulang ketersediaan perangkat dan blanko.

Tjahyo juga mengungkapkan bahwa aplikasi e-KTP masih dikembangkan oleh pihak developer di luar negeri. “Pengembangan aplikasi dilakukan secara remote dari luar sehingga muncul potensi data kependudukan diambil oleh pihak yang tidak berhak,” ujar Tjahjo seperti dilansir detik.com.

Server di Luar Negeri

Tjahyo menyatakan bahwa data e-KTP merupakan data kependudukan dan bagian dari data rahasia negara. “Hak warga yang harus dijamin pemerintah” tegasnya.

Saat ini pihak kementrian dalam negeri sudah menemukan beberapa kejanggalan terkait proyek yang menghabiskan anggaran pemerintah sebanyak 6,7 Triliun Rupiah tersebut. Salah satunya adalah adanya dugaan server seluruh data e-KTP berada di luar negeri.

“Kami masih pastikan di mana server itu berada. Sekarang masih simpang siur,” kata dia.

Ada E-KTP Palsu

Selain itu, pihak Kementrian Dalam Negeri juga telah menemukan e-KTP palsu yang beredar di masyarakat. Belum diketahui secara pasti apa modus pemalsuan e-KTP ini. Pihak Kementrian Dalam Negeri masih mendalami kasus tersebut.

E-KTP palsu tersebut, dinyatakan, sangat mirip dengan yang asli. Mempunyai tampilan dan desain yang sama persis. Bahkan hologram keamanan yang menjadi ciri khas e-KTP pun bisa dibuat sangat mirip.

“Hologramnya asli, bisa terbaca. Tapi itu palsu,” kata Tjahjo.

Tjahyo, menyatakan ada dua pabrik yang diduga menggandakan e-KTP palsu tersebut yang berlokasi di China dan Perancis.

Dukung Moratorium

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi Informasi Pusat, Rumadi Ahmad, meminta Kementerian Dalam Negeri menangguhkan pembuatan Kartu Tanda Penduduk Elektronik alias e-KTP karena server yang dipakai adalah milik negara lain. Rumadi khawatir terjadi kebocoran data penduduk. “Server tersebut rentan diakses pihak lain untuk berbagai kepentingan,” kata Rumadi dalam siaran pers, Sabtu, 15 November 2014.

“Ini mengkhawatirkan, karena mengancam pertahanan bangsa. Data kependudukan merupakan data pribadi. Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi kebenaran dan kerahasiaannya,” ujar dia.

Menurut Rumadi, Kementerian Dalam Negeri paling bertanggung jawab melindungi data kependudukan, sebagaimana Undang-Undang Adimistrasi Kependudukan. “Jika benar data kependudukan rentan diakses negara lain, itu artinya Indonesia menyerahkan data kependudukan ke negara lain,” katanya, dikutip tempo.co.

 

BPS Siap Lengkapi Data dan Perbaiki Layanan

BPS Siap Lengkapi Data dan Perbaiki Layanan

Jakarta,-Berkaitan dengan ketentuan Undang-Undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Badan Pusat Statistik terus melakukan upaya untuk menyesuaikan dengan aturan yang ada. Salah satu caranya membuka informasi data seluas-luasnya melalui website.

“Menurut saya mungkin belum seratus persen, tapi kita terus melengkapi informasi di sana,” ungkap Kepala BPS Dr. Suryamin ketika ditemui kebebasaninformasi.org selepas diskusi Open Indonesia Forum (OIF) dengan tema “Integritas Layanan Informasi BPS” yang akan diselenggarakan PATTIRO Rabu, (17/9) di Akmani Hotel, Jakarta Pusat.

Menurut dia, di website yang berlamat di bps.go.id tersebut BPS sudah mengunggah banyak data yang paling tua data statistik tahun 1978. “Kita bagi di dalam subyek, misalkan data kependudukan, perekonomian, pertanian. Di sana ada sekelompok subyek untuk kependudukan, untuk ekonomi ada inflasi ada ekspor impor, kemudian untuk pertanian ada produk petani, jumlah petani, luas pertanian, jenis-jenis tanaman, segala macam sudah ada di situ,” terangnya.

Tapi memang, kata dia, tidak sampai pada data mikro semisal alamat seseorang karena data yang diunggah BPS adalah data yang anonymus, tidak boleh terdeteksi sampai ke tingkat itu.

Ia meminta pada masyarakat untuk mengunjungi website tersebut serta memanfaatkan data-datanya. Ia juga berharap supaya bisa bekerja sama dengan mengisi angket dan memberikan masukan untuk pelayanan website tersebut.

“Silahkan, kalau ada data BPS atau minat supaya data tersebut ada di BPS itu disampaikan karena bisa jadi data tersebut tidak ada di BPS,” tambahnya.

Untuk itu, pihaknya sudah melakukan sosialisasi pada masyarakat melalui pertemuan-pertemuan, pameran, membagi-bagikan brosur, serta seminar-seminar.

Sejauh ini, lanjut dia, dari sisi pendidikan, pengguna BPS masih didominasi mahasiswa untuk makalah dan skripsi serta anak sekolah menengah atas untuk tugas akhir. “Itu paling banyak. Tapi kalau ingin melihat lebih jelas siapa yang mengakses data BPS, silakan kunjungi website kami, di situ ada keterangannya,” imbuhnya. (AA)

Lembaga Mandiri Ditunjukkan dengan Anggaran Mandiri

Lembaga Mandiri Ditunjukkan dengan Anggaran Mandiri

Komisi Informasi (KI) terus didorong untuk menjadi lembaga yang mandiri untuk menjalankan fungsinya dengan maksimal. Selama ini lembaga tersebut, terutama dalam anggaran, masih menginduk pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Alhasil, lembaga tersebut mendapat banyak hambatan.

Untuk mengetahui bagaimana hambatan-hambatan Komisi Informasi yang tidak mandiri dari sisi anggaran, kebebasaninformasi.org mewawancarai Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Dian Puji N. Simatupang di di Hotel Harris, Jakarta, Jumat (29/8) selepas Diskusi Ahli tentang Perencanaan Anggaran Negara yang diselenggarakan Indonesia Parliamentary Center. Berikut petikannya

Dari sisi ahli keuangan, apa usulan Anda untuk kemandirian Komisi Informasi?

Sebaiknya Komisi Informasi punya  anggaran sendiri di dalam APBN karena dia konsekuensi sebagai lembaga yang melaksanakan sebagian fungsi urusan pemerintahan. Dia punya nomenclatur tersendiri. Jadi tidak menginduk pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Apa anggaran menunjukkan kemandirian sebuah lembaga?

Pasti , bahwa kemandirian itu kan ditunjukkan dengan anggaran. Kalau tupoksinya mandiri, tapi anggarannya tidak mandiri, berarti dia bukan badan yang mandiri. Padahal tugas dan fungsinya mandiri. Berarti konsekuensi terhadap anggaran harus yang mandiri juga sehingga dia punya ketersediaan anggaran yang tidak diikat oleh lembaga lain.

Kenapa pemerintah menetapkan KI dalam posisi semacam itu?

Nah, itu patut dipertanyakan dulu mengapa. Jadi paradoks, di satu sisi di pasal 29 itu dinyatakan sebagai badan atau lembaga mandiri, tetapi di sisi lain, anggaranyya di Kementerian Kominfo, di tempatkan di situ lho. Kemandiriannya dimana kalau begitu. Jadi paradoks begitu ya antara dia sebagai mandiri.

Dari secara ahli keunganan itu salah?

Oh iya, pasti itu tidak konsisten. Jadi kalau ada suatu lembaga dinyatakan lembaga mandiri, berarti kan nomenclatunya berarti dia punya basis anggaran yang juga sendiri karena dia kan tupoksinya itu bersifat tidak ada persedian lain untuk melaksanakan tugas dan fungsinya begitu. Itu secara keuangan memang sangat bergantung kepada UU-nya. Kementerian Keuangan kan bergantung Undang-Undangnya bilang begitu ya tidak mau memberikan.

Dengan statusnya yang tidak mandiri seperti, dampak gangguan terhadap kinerja Komisi Informasi itu bagaimana?

Pasti besar pengaruhnya karena bagaimanapun optimalisasi tujuan si lembaga sangat bergantung pada besaran anggaran fleksibilitas dari penggunaan anggaran itu. Kalau misalnya pembatasan itu dibatasi lembaga, optimalisasi tugas dan fungsi ya pasti terbatas.

Terus bagaimana sebaiknya?

Usulan pertama sebaiknya, mengusulkan ke Kementerian Komunikasi untuk membuat surat ke Kementerian Keuangan untuk mengusulkan Komisi Informasi memiliki dana operasional dalam rangka menyelesaikan sengketanya. Itu kan Menteri Keuangan akan menyampaikan kepada presiden untuk diterbitkan Kepres tentang dana operasionalisasi dana sengketa di Komisi Informasi. Nah, itu akan lebih meringankan Komisi Informasi dalam menyelesaikan sengketa informasi karena dananya sudah siap sedia. Jadi tidak tergantung oleh yang lain-lain.

Yang kedua adalah tentu perubahan Undang-Undang Keterbukaan Infromasi Publik (KIP), dengan menyatakan bahwa anggaran KIP tidak lagi di Kementerian Kominfo, tetapi memiliki anggaran tersendiri di APBN. Kepres dana operasialisasi dan perubahan UU KIP. Dua itu yang sangat mungkin dan efektif. Kalau RUU kan jauh dan lama banget, tapi kalau Kepres bisa dengan administrasi.  Kepres bisa langsung tanpa UU karena itu wewenang pemerintah. Nanti, mungkin kalau Kepres ditetapkan sekarang pada saat Jokowi bisa pada masa anggaran berikutnya sudah bisa.

Kemungkinannya dengan pemerintahan baru bagaimana untuk itu?

Ya kita berharap ada perubahan politik paradigma baru memahami bahwa keterbukaan informasi cepat dan lebih baik. Jokowi kan kan katanya menekankan e-budget segala macam e, e, begitu, itu kan maksudnya akses yang sangat mudah. Itu salah satunya dengan penguatan Komisi Informasi.

Idealnya, lembaga seperti Komisi Informasi itu per tahun mendapat anggaran berapa?

Ya itu tergantung porsinya dan ruang lingkup kewenangan ideal dan tidak idealnya. Tapi intinya memang bergantung profesionalitas kinerjanya. Begini saja, sepanjang dia bisa melaksanakan tugas dan fungsinya dengan ketentuan Undang-Undang, ya itu harus dipenuhi. Selama ini sudah tidak terpenuhi, juga ada batasan karena dibatasi kementerian induknya.

Dari sisi ahli keuangan apa pentingnya UU No 14 2008 untuk konteks Indonesia?

Penting sekali dalam rangka, bahwa akuntabilitas dan transparansi dengan undang-undang ini maka jelas akses publik terhadap penanggungjawaban anggaran semakin besar sehingga anggaran APBN untuk mencapai tujuan bernegara juga semakin besar.