29 Jan 07 – Dukungan ICT untuk Layanan Informasi Publik
Warta Pengawasan, 8 Desember 2006
“..Media dan kebebasan informasi merupakan salah satu alat untuk memerangi korupsi (anticorruption Tools)…”
Oleh: Daryanto*)
Bahwa kebebasan memperoleh informasi merupakan hak asasi

manusia dan merupakan salah satu ciri terpenting dalam negara demokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka (open government). Inilah kalimat awal RUU KMIP (Rancangan Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik) yang kalau nantinya diundangkan pasti banyak institusi pemerintah yang harus bekerja ekstra guna membenahi pola kerja berikut pola sikap dan mentalnya.
Bagaimana dan sejauh mana unit kerja pemerintah/lembaga negara menyiapkan diri menyongsong terbitnya UU KMIP tersebut? Mungkinkah kantor layanan publik mampu mengemban amanah UU tersebut tanpa mengetahui secara persis informasi ’macam mana’ yang dibutuhkan publik? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu kita berpikir jernih dan bersikap arif. Kalau pertanyaan tersebut itu sudah bisa dijawab, maka hal yang menarik adalah ‘media apa’ yang paling praktis dan efektif untuk menjembatani serah terima informasi publik tersebut.

Sebelum dilanjutkan pembahasannya, ada baiknya kita simak pernyataan presiden Bank Dunia Mr. Paul Wolfowitz ketika berpidato di kalangan pengemuka dunia yang inti-nya adalah perlunya dipahami bahwa ’media’ dan ’kebebasan informasi’ merupakan salah satu alat untuk memerangi korupsi (Anticorruption Tools, ref: www.freedominfo.org).

Ditekankan juga, bahwa Bank Dunia berjanji akan meningkatkan investasinya untuk mendorong reformasi hukum, reformasi layanan publik, media, dan layanan penyampaian informasi kepada publik. Apa kata kuncinya? “informasi (untuk) publik”.

Kemudian pada bulan lalu, tepatnya 28 September 2006, lebih dari 30 negara di dunia ini yang tergabung dalam komunitas peduli kebebasan informasi (lihat gambar:1), secara serempak merayakan International Right to Know Day 2006 di mana gerakannya mendorong kepedulian publik dalam rangka memperjuangkan hak mengetahui (to know) informasi. Lagi-lagi, kata kuncinya adalah ‘informasi untuk publik’.

Kebebasan memperoleh informasi publik merupakan elemen penting untuk mengoptimalkan ‘pengawasan publik’ terhadap jalannya roda organisasi pemerintahan dan lembaga-lembaga negara sebagaimana diamanahkan oleh RUU KMIP. Artinya, jika kondisi seperti berjalan dan disadari penuh oleh masyarakatnya, serta didukung komitmen kuat dari pihak penyelenggara negara, maka sulit bagi ‘oknum’ untuk coba-coba korupsi. Jangankan korupsi uang, korupsi ‘waktu’ pun diniscayakan mustahil. Inilah kondisi ideal sungguh didambakan oleh masyarakat manapun.

Berbicara mengenai perolehan informasi, tidaklah lepas dari peran dan kemajuan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, khususnya di era global seperti sekarang ini. Infrastruktur ICT (information and communication technology) diharapkan dapat membantu mempermudah perolehan dan pertukaran informasi dari pemerintah ke rakyatnya atau sebaliknya. Beranjak dari sinilah kemudian muncul apa yang disebut dengan e-Gov (electronic government), yaitu kepemerintahan yang memanfaatkan tekologi informasi dan komunikasi elektronik. Aktivitas tata kelola pemerintahnya disebut e-Governance.

Lalu bentuk konkrit e-Gov itu seperti apa sehingga masyarakat (publik) tahu bahwa pemerintahnya benar-benar layak memperoleh sebutan pemerintah yang sudah ber- e-Gov? Inilah yang sering membingungkan banyak pihak. Pernah seorang kawan di lingkungan pemerintahan menyatakan bahwa institusinya sudah menjalankan e-Gov karena sudah memiliki website atau situs. Mereka beranggapan bahwa dengan diluncurkannya situs berisikan profile kantor dan segala aktivitasnya berarti institusinya sudah membuka diri ke publik dan berarti juga sudah ber e-Gov. Hmm.. tidak sesederhana ini kawan! Profile tadi hanyalah salah satu dari sekian banyak hal yang layak atau boleh dilihat publik.

Namun, yang terpenting adalah adakah layanan-layanan yang mestinya dapat diberikan ke publik, memang benar-benar dapat diperoleh di situs tersebut? Tidak hanya sekedar ‘di-tayang’ (di-published), melainkan juga harus ada yang bisa direspon, khususnya jika ada pihak konstituen (pengakses resmi) yang meminta jasa layanan tersebut. Thus, ada proses interaksi antara pihak pemberi dan penerima yang dapat dinikmati masyarakat pengguna jasa. Tidak boleh berhenti sampai di sini, tetapi harus ada plus-nya, yaitu plus harus aman, harus mudah, dan harus murah.

Contoh e-Gov yang ternyata belum sepenuhnya dijalankan secara baik adalah seperti gambaran ini. Sebuah rumah sakit pemerintah, terletak di lingkungan yang menurut saya masyarakatnya sudah melek internet dan rata-rata punya telpon, ternyata sistem antrian berobat-nya sungguh sangat konvensional.

Bayangkan, rakyat yang mau berobat ke poliklinik harus antri sejak pagi-pagi buta (red: subuh) untuk mengambil nomor urut berobat. Betul-betul antri di depan pintu gerbang poliklinik sambil dijaga satpam. Sudahlah begitu, calon pasien (kebanyakan sudah lanjur usia) masih harus berlelah-lelah menunggu dilayani dokter paling cepat pukul 09:00 dan apes-nya bisa sampai pukul 11:00 siang. Uuhh.. menyedihkan.

Di sisi lain, rumah sakit ini punya situs dan bahkan punya jaringan komputer. Lalu di mana letak e-Gov nya? Nah, di sinilah kawan, saya mulai bermimpi. Suatu saat nanti, kiranya saya bisa menelepon dan berharap bisa langsung dijawab oleh petugas atau mesin penjawab otomatis juga boleh, dan saya mendapatkan ‘nomor urut’ sekaligus saya diberi informasi ‘pukul berapa’ akan mendapat giliran dilayani dokter. Wah… , ini baru e-Gov, tidak perlu buang-buang energi untuk sekedar mendapatkan nomor kartu berobat dan menentukan waktu dilayani. Skenario ke dua adalah saya buka internet, lalu akses ke situs rumah sakit tersebut, dan saya bisa mendapatkan ‘nomor antrian’ serta dapat ‘memilih waktu’ yang dapat saya sesuaikan dengan jadwal rutin saya, syukur-syukur langsung tahu siapa dokter yang akan melayani saya, Nah… ini baru e-Gov! Adakah rumah sakit pemerintah yang tertantang untuk menjalankan program ini. Jawaban klasiknya adalah ’belum siap’ infrastruktur. Menurut saya, infrastruktur bisa diupayakan. Namun yang paling penting adalah niat dan kemauan hati untuk membuat yang terbaik. Itu harus ditanamkan dan dijalankan di hati setiap insan pelayan publik.

Memang ada yang berpendapat bahwa infrastruktur ICT merupakan kendala. Kalau ini ukurannya, maka tak satupun negara berkembang mampu meluncurkan e-Gov secara komprehensif. Sinyalemen ini janganlah diartikan bahwa mereka pasti tidak bakalan punya e-Gov. Sebetulnya mereka bisa memulai dari hal-hal yang sederhana dahulu, misalnya mengembangkan aplikasi-aplikasi yang bernuansa e-Gov sambil menunggu kesiapan infrastruktur IT secara memadai.

Sektor yang bisa didulukan untuk dibenahi adalah sektor yang dominan layanan publiknya,seperti kesehatan/rumah sakit, pertanahan, dan perijinan. Di sini ICT dapat dimanfaatkan untuk memberikan layanan publik dengan cara memanfaatkan situs, menyelenggarakan perkantoran otomatisasi, layanan jasa via telepon/SMS, dan sejenisnya. Di sisi lain, produktivitas pun dapat meningkat, biaya operasional murah, dan pelayanan prima tercapai. Dan yang lebih penting adalah ’mata rantai korupsi’ dapat diputus.

*) Penulis adalah pengamat & praktisi IT
Sumber diposting dari : http://www.bpkp.go.id/warta/index.php?view=757