Rabu 02/06/2010 – M. Yamin Panca Setia

Sejumlah aktivis organisasi sipil yang bergerak dalam pemantau pendidikan mendatangi Komisi Informasi Pusat (KIP). Mereka mengadukan soal keengganan sejumlah pejabat di instansi pendidikan dalam memberikan informasi terkait penggunaan anggaran pendidikan yang bersumber dari uang negara.

“Kami khawatir pengelolaan anggaran yang sangat besar di Kementerian Pendidikan Nasional hingga dinas pendidikan di daerah, perguruan tinggi dan sekolah, sangat tertutup. Itu berpotensi diselewengkan,” kata Ade Irawan, Koordinator Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), mendampingi sejumlah organisasi sipil saat menemui Ketua KIP Alamsyah Siragih di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta beberapa waktu lalu.

Sejumlah organisasi sipil yang menemui Alamsyah antara lain Education Care, Garut Goverment Watch, Serikat Buruh Tanggerang, Koalisi Pendidikan, dan sebagainya. Mereka mengharap agar publik dapat mengontrol penggunaan dana pendidikan yang dialokasikan dari APBN.

Dari fakta di lapangan, Ade mengatakan, pengawasan penggunaan anggaran pendidikan tidak berjalan efektif karena pemerintah selalu berdalih informasi anggaran terkait dengan rahasia negara yang tidak dapat diakses publik. Tak hanya itu, Ade mengatakan, guru dan orang tua juga sulit mengakses informasi seputar penggunaan anggaran di sektor pendidikan.

“Ketertutupan informasi itu menjadikan korupsi dapat dilakukan secara masif,” ujar Ade.Dari temuan sejumlah organisasi sipil pemantau pendidikan, diketahui jika orang tua murid dan guru tidak dilibatkan dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Dokumen RAPBS yang menjadi panduan satu kegiatan sekolah pun tidak bisa diminta orang tua. Kepala sekolah hanya menyosialisasikan biaya-biaya yang akan ditanggung orang tua. Monopoli atas APBS tersebut memudahkan kepala sekolah untuk memanipulasi keuangan sekolah. Aktivis juga mempertanyakan alokasi anggaran yang lebih banyak mengalir ke kantor kepala sekolah, mulai dari tunjangan jabatan, kesejahteraan, transportasi, komunikasi, serta konsumsi.

Sementara dari hasil riset ICW terhadap APBS di beberapa daerah, proporsi untuk kepentingan kepala sekolah dan dinas pendidikan, jauh lebih besar dibandingkan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar. Perbandingannya bisa mencapai 70 berbanding 30 dari total anggaran sekolah. Banyak pengalaman serupa yang dialami organisasi sipil lainnya.

nstitut Studi Arus Informasi (ISAI) pernah mengalami kendala saat melakukan permintaan informasi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan TNI. ISAI menemukan kondisi kekurangsiapan lembaga-lembaga tersebut untuk melakukan permintaan pelayanan informasi.

Permintaan informasi di KPK terkait daftar gaji komisioner dan profil perusahaan pemenang tender misalnya, tidak mudah diberikan oleh lembaga pemerantasan korupsi ini. Setelah menunggu lebih dari dua minggu, KPK akhirnya memberikan informasi yang diminta oleh ISAI terkait daftar gaji komisioner. Terkait profil perusahaan pemenang tender, KPK tak memberikannya dengan alasan merupakan rahasia.

ISAI juga pernah meminta dokumen kepada TNI hasil penyelidikan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dan hasil penyelidikan Komisi Penyelidik Nasional karena dokumen ini penting untuk membuka informasi kepada masyarakat terkait dengan sejumlah pihak yang melakukan pelanggaran HAM. Lain dari itu, permintaan kedua dokumen ini pun terkait dengan adanya upaya DPR-RI untuk membuka kembali kasus yang lama mengendap.

Di Sidoarjo, Jawa Timur, korban lumpur Lapindo mengalami persoalan serupa. Mereka sulit memperoleh informasi terkait bencana yang dialami. Koalisi untuk Keadilan Korban Lapindo pernah mengajukan permintaan informasi kepada sekitar 25 badan publik di Jakarta, Surabaya, dan Sidoarjo.

Informasi yang diminta mencakup dokumen-dokumen tentang kondisi kerawanan dan rencana mitigasinya, anggaran, langkah-langkah yang telah dilakukan, laporan-laporan ahli yang menjadi landasan keputusan, dan hal-hal terkait lainnya.Ternyata tidak mudah memperoleh informasi yang diminta.

Dari sekitar 25 badan publik, hanya beberapa yang merespons, yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Sosial, Badan Pertanahan Pusat (BPN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur.

Ketertutupan badan-badan publik memang kerap dipersoalkan. Padahal, asas transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara diatur dalam UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Apa yang dipersoalkan aktivis pemantau pendidikan harus ditindaklanjuti oleh pemerintah. Tuntutan mereka akan transparansi penggunaan anggaran negara wajib ditindaklanjuti.

Apalagi, tepatnya 1 Mei 2010 ini, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) resmi berlaku. Berdasarkan Pasal 64 ayat (1), UU tersebut mulai berlaku dua tahun sejak tanggal diundangkan. Sebagaimana diketahui, UU KIP ditetapkan pada Rapat Paripurna DPR tanggal 30 April 2008. Dengan begitu, wajib hukumnya semua instansi pemerintah membuka diri kepada publik yang ingin mengetahui segala informasi.

Tidak Siap

Namun, hingga menjelang deadline (batas waktu) berlakunya UU tersebut, sebagian besar badan publik seakan tutup mata atas amanat UU tersebut. Hingga 30 April 2010 lalu, belum ada satu pun badan publik yang menyatakan kesiapannya. Bahkan, ada saja pejabat yang masih mengadopsi prinsip ketertutupan informasi atas nama rahasia negara.

“Kita mendengar pernyataan dari Kepala Pusat Penerangan TNI dan Menteri Pertahanan yang akan menutup informasi di intitusinya yang masuk kategori dikecualikan. Meskipun hal tersebut merupakan wewenang badan publik, tapi juga memperlihatkan rendahnya semangat badan publik untuk membuka informasi seperti diamanatkan oleh UU KIP”, kata Ahmad Faisol, Direktur Media Link di Jakarta, kemarin.

Anggota Komisi I DPR RI, Tantowi Yahya juga menyatakan banyak badan publik di tingkat pusat yang tidak siap dalam mendorong keterbukaan informasi kepada publik. Padahal, Tantowi menilai, pemerintah sudah diberi waktu dua tahun untuk menyiapkan segala keperluan guna memastikan terlaksananya UU KIP.

Di level pemerintah daerah, lebih kacau lagi. Masalahnya karena hingga kini belum ada Komisi Informasi Provinsi. “Sampai sekarang belum ada komisi informasi provinsi,” kata Faisol.

Padahal, dalam Pasal 64 ayat (1) UU KIP menyatakan, sejak UU mulai diberlakukan 30 April 2010, maka batas waktu untuk pendirian Komisi Informasi Provinsi (pasal 60) juga paling lambat dua tahun sejak diundangkanya UU tersebut diundangkan. Dengan begitu paling lambat 30 April 2010. Pemerintah kabarnya baru menyiapkan pembentukan Komisi Informasi Publik di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan.

Faisol juga mengatakan, lembaga-lembaga yang mengelola informasi masih belum memiliki standar pelayanan informasi seperti yang ditetapkan oleh UU KIP. “Banyak yang belum punya unit khusus pelayanan permintaan informasi, belum ada petugas khusus yang melayani jika ada permintaan informasi, standar operasional pelayanan, hingga klasifikasi informasi yang boleh diberikan atau yang tidak,” katanya.

Selain itu, mereka juga masih mengabaikan pentingnya untuk memublikasikan secara proaktif informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti bencana alam, peperangan, dan sebagainya. Faisol mencontohkan, minimnya informasi tentang keamanan tempat tinggal korban lumpur Lapindo menjadi bukti hal tersebut. Lembaga yang punya otoritas seperti menutup mata atas kenyataan korban lumpur.

Alamsyah Saragih mengingatkan akan sanksi pidana yang diatur dalam UU KIP. Menurut dia, bagi para pihak yang menghambat publik mendapatkan informasi, sanksi paling berat dijatuhi pidana satu tahun penjara dan denda Rp5 juta. “Kalau menghambat informasi itu cuma satu tahun denda Rp5 juta, tapi kalau merusak bisa dua tahun denda 10 juta. Tapi kalau informasi dirahasiakan lalu dibocorkan bisa tiga tahun.”

Namun, Alamsyah mengaku jika sanksi yang diatur dalam UU KIP tidak seberat dibandingkan UU Informasi dan Transaksi Elektroni (ITE). Menurut dia, apa pun bentuk pelanggaran yang dilakukan pejabat publik, maka sanksinya hanya satu tahun penjara. “Sanksi satu tahun penjara, tetapi karirnya akan hancur dan itu menakutkan juga,” katanya.

UU KIP memastikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Pasal 11 ayat 1 huruf d menyatakan informasi yang wajib disediakan oleh badan publik adalah seluruh rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran badan publik.

UU KIP juga memberikan jaminan akses informasi masyarakat dengan mengatur tata cara pelayanan informasi oleh badan publik, termasuk lembaga pemerintah yang anggaran.

Hak publik mendapatkan informasi juga merupakan amanat konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 menegaskan, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Hak publik mengetahui informasi dari badan publik juga bagian dari fungsi pengawasan publik atas penyelenggaraan negara yang menggunakan anggaran negara.

Siap Mengawal

Karena itu, sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam FOI Network Indonesia akan terus mengorganisasi gerakan masyarakat untuk terus-menerus meminta informasi dari badan publik, melakukan evaluasi secara regular pelaksanaan UU KIP, termasuk mengeluarkan rekomendasi kebijakan bagi badan publik untuk perbaikan pelayanan permintaan informasi.

“Pada tahap pertama ini, FOI Network Indonesia akan mengkhususkan pada upaya mendorong pemberian informasi proaktif oleh badan publik yang menyangkut hak dasar, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta lingkungan,” kata Danardono Sirajudin Koordinator Nasional, FOI Network Indonesia.

Pihaknya juga akan memperluas keanggotaan dengan merangkul beragam latar belakang serta proaktif memperkenalkan UU KIP dan manfaat penggunaannya ke berbagai kelompok dan komunitas yang ada. FOI Network Indonesia juga akan melakukan kerja sama dan tukar pengalaman dengan komunitas FOI Network internasional lainnya, dalam jaringan FOI Network Indonesia.

myaminpancasetia.wordpress.com, 01/05/2010