Senin 28/06/2010 – Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik atau yang sering disebut sebagai UU KIP, secara efektif telah diberlakukan mulai tanggal 30 April 2010. Berlakunya UU KIP tersebut tentu saja akan memberikan berbagai macam implikasi sebagaimana lazimnya apabila suatu kebijakan terutama setingkat UU diterapkan di daerah.

Apabila dilihat secara konteks hubungan antara pemerintah daerah dan warganegaranya, secara garis besar implikasi penerapan UU KIP tersebut melekat pada dua pihak, yaitu penyelenggara pemerintahan daerah dan masyarakat atau publik.
Pada pihak penyelenggara pemerintahan daerah, ada beberapa implikasi penerapan UU KIP, penyelenggara pemerintahan daerah dan masyarakat atau publik, seperti kesiapan pemerintah daerah untuk mengklasifikasikan informasi publik menjadi informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, informasi yang wajib diumumkan serta merta.

Kemudian dengan diterapkannya UU KIP, semua urusan tata kepemerintahan berupa kebijakan-kebijakan publik, baik yang berkenaan dengan pelayanan publik, pengadaan barang dan jasa pemerintah, penyusunan anggaran pemerintah, maupun pembangunan di daerah harus diketahui oleh publik, termasuk juga isi keputusan dan alasan pengambilan keputusan kebijakan publik serta informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan publik tersebut beserta hasil-hasilnya harus terbuka dan dapat diakses oleh publik.

Konsekuensinya adalah aparatur pemerintahan atau badan publik harus bersedia secara terbuka dan jujur memberikan informasi yang dibutuhkan publik. Bagi sebagian atau mungkin seluruhnya dari aparat pemerintah atau badan publik kondisi ini merupakan hal yang belum atau tidak terbiasa untuk dilakukan, tetapi harus dihadapi sejalan dengan penerapan UU KIP.

Penerapan UU KIP berdampak pada terbukanya akses bagi publik untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik, terbukanya akses bagi publik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembuatan kebijakan publik, termasuk didalamnya akses untuk pengambilan keputusan dan mengetahui alasan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Sejalan dengan hal tersebut adanya penerapan UU KIP mengakibatkan daya kritis masyarakat atau publik terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan terutama pelayanan publik semakin meningkat dan diperkirakan tingkat penilaian atau pengaduan masyarakat atau publik terhadap kualitas layanan publik juga semakin meningkat. Dan hal tersebut dapat meningkatkan minat dan keinginan masyarakat untuk berperan serta dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai hak-hak mereka dalam pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah, juga bisa dikatakan sebagai implikasi penerapan UU KIP. Sehingga apabila suatu saat terjadi ketimpangan atau permasalahan dalam pelayanan publik, maka akan banyak pengaduan masyarakat berkaitan dengan kualitas pelayanan publik tersebut.

Dengan melihat berbagai implikasi yang telah disebutkan di atas, maka timbul suatu pertanyaan sejauh mana kesiapan pemerintah daerah dalam mengantisipasi berbagai implikasi tersebut, paling tidak adalah selama satu tahun sejak UU KIP efektif diterapkan ada langkah-langkah baik itu berupa kebijakan maupun penguatan kelembagaan pemerintah daerah untuk meminimalkan benturan (baca : konflik) yang terjadi akibat implikasi penerapan UU KIP.

Sesuai amanat UU KIP, langkah awal yang harus dilakukan untuk kesiapan pemerintahan daerah dalam penerapan UU KIP adalah pada tingkat pusat, propinsi, dan jika diperlukan pada tingkat kabupaten/kota harus dibentuk Komisi Informasi, yaitu lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang¬Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik, dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi. Saat ini ada beberapa propinsi yang sudah membentuk Komisi Informasi, salah satunya adalah Propinsi Jawa Tengah.

Pembuatan aturan atau kebijakan mengenai Mekanisme Pengelolaan Pengaduan Masyarakat dalam Layanan Informasi Publik, merupakan langkah lanjutan sejalan dengan pembentukan Komisi Informasi, karena sebagai mana ditegaskan pada pasal 26 ayat (1) huruf a UU KIP, tugas Komisi Informasi adalah menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam UU ini.

Dan lingkup tugas di atas merupakan satu kesatuan mekanisme pengelolaan pengaduan.
Kewajiban pemerintahan daerah untuk mengklasifikasi berbagai informasi publik di daerah, memberikan suatu konsekuensi pada struktur pemerintahan daerah yaitu kebutuhan untuk membentuk Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) yang mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk pengelolaan layanan dan penyebaran informasi, terutama dalam mewujudkan layanan informasi publik yang terpadu dan satu pintu.

Karena dengan adanya UU KIP, maka dapat diartikan bahwa layanan informasi publik juga merupakan salah satu layanan kepada publik yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah. Layanan informasi publik yang terpadu dan satu pintu bertujuan untuk memaksimalkan layanan informasi publik oleh pemerintah daerah dan pengelolaan data serta informasi dari badan-badan publik, sehingga badan-badan publik tersebut dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsi utamanya tanpa terganggu oleh berbagai urusan yang berkaitan dengan layanan informasi publik.

Pada beberapa kabupaten/kota penamaan instansinya berbeda-beda, ada yang menamakan Dinas Layanan Informasi, Dinas Informasi dan Komunikasi, Kantor Pelayanan Informasi, atau nama lain yang sejenis baik itu berbentuk badan, dinas, maupun kantor bahkan unit.

Untuk mengantisipasi meningkatnya daya kritis masyarakat atau publik terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam hal penilaian atau pengaduan masyarakat atau publik terhadap kualitas layanan publik, serta tuntutan transparansi atau keterbukaan dalam informasi yang berkaitan dengan proses Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, maka perlu ditetapkan beberapa kebijakan yang berhubungan dengan Mekanisme Pengelolaan Pengaduan Masyarakat, baik dalam Pelayanan Publik maupun dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Pembuatan atau penetapan kebijakan mengenai Mekanisme Pengelolaan Pengaduan Masyarakat baik dalam Pelayanan Publik maupun Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah tersebut, bertujuan agar setiap pengaduan masyarakat mengenai pelayanan publik maupun Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dapat dikelola atau ditangani dengan baik dan benar, mulai dari pendokumentasian pengaduan sampai dengan proses penyelesaian permasalahan yang diadukan.
Kebijakan mengenai Mekanisme Partisipasi

Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan juga dibutuhkan dalam rangka mengantisipasi adanya implikasi meningkatnya minat dan keinginan masyarakat untuk berperan serta dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, yang secara substansi inti mengatur sarana atau media dan aturan main yang dapat memfasilitasi minat dan keinginan masyarakat untuk berperan serta dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, mulai dari partisipasi dalam perencanaan pembangunan dan proses penyusunan anggaran pembangunan daerah, sampai dengan pemantauan pelaksanaan program pembangunan dan pemanfaatan anggaran pembangunan.

Dengan banyaknya hal yang harus dilakukan untuk kesiapan pemerintahan daerah dalam penerapan UU KIP, terlihat bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah, tetapi paling tidak dalam satu tahun ini sudah harus ada kemauan, upaya, dan inisiatif dari berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat sipil secara bersama-sama untuk mewujudkan berbagai hal seperti yang telah disampaikan di atas sebagai upaya untuk menciptakan suatu tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.

Rivan Prahasya, Transparency International Indonesia (TII)