rTEMPO Interaktif, Jakarta – Lembaga pegiat dan pengkaji hak asasi manusia, Imparsial, menyatakan Rancangan Undang-Undang Intelijen menabrak konstitusi negara dan sejumlah undang-undang. “Setidaknya ada sembilan kelemahan substansial dalam RUU Intelijen,” kata Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti dalam jumpa pers di Jakarta kemarin.
Menurut Poengky, kelemahan dalam RUU Intelijen menyangkut istilah yang multitafsir, ruang lingkup penyadapan, batasan rahasia intelijen, dan kewenangan pengamanan. Kelemahan lainnya berkaitan dengan hak korban, partisipasi masyarakat, penegakan HAM, koordinasi, serta fungsi intelijen dalam kepolisian.
Selain menabrak Undang-Undang Dasar 1945, menurut Imparsial, aneka kelemahan itu bertentangan dengan sejumlah undang-undang. Yang bakal dilanggar, misalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Poengky menerangkan, RUU Intelijen, misalnya, melabrak prinsip penegakan HAM dalam Pasal 28 I UUD 1945. Pasal tersebut antara lain menjamin perlindungan atas hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, serta hak untuk tidak diperbudak dan untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum. “Prinsip HAM itu tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun,” ujar Poengky.
Sorotan Imparsial juga tertuju pada kewenangan lembaga intelijen melakukan penyadapan. Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan penyadapan harus diatur dalam ketentuan yang setingkat dengan Undang-undang. “Kewenangan penyadapan mestinya dilakukan setelah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat,” kata Poengky.
Imparsial juga mempersoalkan RUU Intelijen yang tidak mengatur mekanisme banding bagi peminta informasi yang ditolak lembaga intelijen. Mekanisme keberatan pemohon informasi itu memang telah diatur dalam Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik. Tapi, menurut Poengky, RUU Intelijen seharusnya mengakomodasi keberatan publik tersebut.
Yang tak kalah berbahaya, menurut Imparsial, RUU Intelijen tidak mengatur mekanisme komplain bagi masyarakat yang menjadi korban aparat intelijen. Tanpa mekanisme komplain bagi korban, RUU Intelijen akan menabrak hak-hak korban seperti diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. “Apalagi jika penyimpangannya sudah masuk kategori tindak pidana,” ujar Poengky.
Potensi pertentangan antarlembaga, menurut Imparsial, juga muncul seiring dengan penggunaan istilah “pengamanan” yang memberi kewenangan kepada intelijen untuk menangkap dan menahan seseorang. “Istilah ini bisa melegalisasi praktek penculikan dan tumpang-tindih dengan tugas kepolisian.” Padahal, kata Poengky, intelijen merupakan lembaga yang tidak terkait dengan proses penegakan hukum (extra judicial body).
Anehnya, menurut Poengky, dengan seabrek kelemahan tersebut, pembahasan RUU Intelijen kurang melibatkan masyarakat. Padahal salah satu syarat pembahasan undang-undang yang kontroversial adalah, “Partisipasi masyarakat yang masif.”
RUU Intelijen awalnya merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Belakangan, pemerintah memasukkan sejumlah tambahan pada draf undang-undang tersebut. Kini, draf dari kedua pihak tengah dibahas di Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR. Pemerintah memasang target agar RUU Intelijen disahkan pertengahan tahun ini.
Selain kalangan masyarakat sipil, sejumlah anggota DPR mempersoalkan pasal-pasal kontroversial usulan pemerintah, antara lain wewenang penangkapan dan penahanan yang disamarkan dengan istilah pemeriksaan secara intensif selama 7 x 24 jam.
l RIKY FERDIANTO