JAKARTA – Imparsial, The Indonesian Human Rights Monitor atau lembaga monitoring hak asasi manusia di Indonesia, menyatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen yang saat ini tengah dibahas DPR-Pemerintah, melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yaitu Pasal 17 mengenai keberatan publik terhadap kerahasiaan informasi.
Menurut Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti di Jakarta, Minggu (10/4/2011), dalam hal kerahasiaan informasi rancangan undang-undang tersebut tidak menyebutkan mengenai mekanisme keberatan publik untuk meminta informasi terkait hasil kerja intelijen karena selalu beralasan dirahasiakan.
Padahal, jika rahasia tersebut juga menyangkut kehidupan masyarakat, tetap harus dipublikasikan. Poengky juga menyesalkan proses pembahasan rancangan undang-undang yang akan diselesaikan Juli 2011 ini tidak transparan. Masyarakat tidak tahu poin-poin apa saja yang perlu dikritisi.
“Sampai sekarang belum pernah disosialisasi kepada masyarakat juga. Baru rancangan sudah tidak transparan. Oleh karena itu, perlu diingatkan bahwa dalam Undang-undang KIP diatur mengenai mekanisme keberatan yang bisa disampaikan ke Komisi Informasi. Seharusnya RUU Intelijen terkait keberatan publik tentang kerahasiaan informasi juga mengikuti UU KIP,” ungkap Poengky.
Ia berpendapat, masyarakat juga perlu mengetahui mengenai isi rancangan ini karena nantinya implementasi dari Undang-Undang Intelijen akan bersentuhan langsung dengan masyarakat. “Kita juga protes, ini RUU-nya dibuat diam-diam. Jangan kejar tayang saja, masyarakat tidak dilibatkan. Padahal, masyarakat juga perlu tahu, pasal mana yang disetujui dan mana yang tidak,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Poengky meminta pemerintah dan DPR menilik kembali poin-poin keterbukaan informasi dalam Rancangan Undang-Undang Intelijen dan tidak terburu-buru untuk mengesahkannya. Hal ini agar masyarakat juga dapat memberikan masukan untuk undang-undang tersebut.
Sementara itu, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers Agus Sudibyo, mengharapkan pemerintah dan DPR membuka diri terhadap berbagai masukan sehingga nantinya Undang-Undang Intelijen tersebut tidak mengancam kemerdekaan pers, demokrasi, dan hak asasi manusia.
”Undang-Undang Intelijen ini harus menjamin kebebasan pers dan kemerdekaan warga negara. Wartawan setiap hari kan berurusan dengan lembaga-lembaga resmi. Jangan sampai wartawan dikriminalkan dengan UU ini,” ujar Agus dalam diskusi bertema ”UU Intelijen, Kemerdekaan Pers dan HAM” yang diselenggarakan Bali TV di Jakarta, Jumat (8/4).
Selain Agus Sudibyo, tampil juga sebagai pembicara adalah fungsionaris Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid dan anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Ramadhan Pohan. Undang-Undang Intelijen ini dikhawatirkan Usman Hamid menjadi pembenar tindakan Badan Intelijen Negara untuk menginterogasi orang tanpa didampingi pengacara.
”Terkait kewajiban personel intelijen, kalau dia diperintah untuk membunuh, dia berhak untuk menolak tugas tersebut dan bisa berbicara di pengadilan. Dalam keadaan tertentu, rahasia negara perlu dibuka, misalnya dalam kaitan pembunuhan Munir, saat dipanggil pengadilan personel intelijen tidak ada yang hadir,” kata Usman Hamid.
Karena draf UU Intelijen ini dirasa mengancam kebebasan pers dan hak asasi manusia, menurut Agus Sudibyo, sebaiknya semua kalangan, termasuk pers dan aktivis HAM, turut mengawasi perjalanan RUU Intelijen. ”Daripada UU tidak jadi, dan kemudian diamandemen, lebih baik sejak sekarang RUU itu diperbaiki. Bagaimana seharusnya pengawasan fungsi intelijen? Warga negara juga harus dimungkinkan untuk melakukan pengawasan,” kata Agus.
Dia mengimbau kepada komunitas pers untuk memberi perhatian kepada RUU Intelijen karena wartawan paling berpotensi mendapat masalah dari penerapan UU ini. ”Bagaimana masukan dari perspektif kebebasan pers, hal-hal terkait itu akan segera kami usulkan agar diakomodasi dalam UU Intelijen,” kata Agus Sudibyo. (Cok)