REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–Tiga LSM menemukan beragam fakta dari  58 kali studi banding  atau dari 143 kali kunjungan ke luar negeri yang dilakukan oleh alat kelengkapan (tidak termasuk Badan Kerja Sama Antar Parlemen/BKSAP) pada keanggotaan DPR periode 2004-2009.

”Kami menemukan beragam fakta yang sangat mempertaruhkan resiko keefektifitasan studi banding. Kami mempertanyakan pula dimana letak urgensi serta kemampuan studi banding selama ini sebagai alat bantu mendapatkan data dan informasi,” papar Ade Irawan, dari Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam siaran pers bersama, Ahad (8/5).

Selain ICW, siaran opers tersebut juga ditandatangani oleh Ronald Rofiandri dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) serta Roy Salam dari Indonesia Budget Centre (IBC).  ”Dari 143 kali kunjungan ke luar negeri tersebut, 3 (tiga) laporan saja yang dipublikasikan oleh (hanya) satu alat kelengkapan, yaitu Komisi III,” papar Ade.

Menurutnya, dilihat dari isi laporan, terdapat perbedaan dari segi format, muatan, dan bobot informasi yang disajikan. Bahkan untuk studi banding yang ke Swedia, hanya tersedia satu lembar laporan, yang tidak lebih dari sekedar deskripsi singkat kegiatan dan jadwal.

Kondisi yang serupa dapat ditemukan juga pada laporan studi banding Panja Rancangan Undang-Undang (RUU) Hortikultura  ke Belanda yang hanya terdiri atas 2 (dua) halaman. ”Yang pasti, keduanya juga tidak menjelaskan secara rinci bagaimana kaitan antara temuan dan hasil telaah selama studi banding dengan capaian terakhir substansi RUU,” tambahnya.

Dikatakan Ronald dari PSHK, laporan studi banding (BURT ke Maroko, Jerman, dan Perancis atau studi banding (Panja RUU Kepramukaan ke Korea Selatan, Jepang, dan Afrika Selatan, atau studi banding  Badan Kehormatan (BK) ke Yunani adalah contoh laporan yang hingga saat ini belum dipublikasikan secara resmi melalui situs www.dpr.go.id.

Minggu, 08 Mei 2011 19:01 WIB