Di tengah hebohnya Ujian Nasional SMA, ada 11.443 siswa yang dinyatakan tidak lulus. Memang, tingkat kelulusan siswa SMA dalam Ujian Nasional sebesar 99,2 persen atau meningkat tipis dibanding tahun lalu 99,04 persen. Bayangkan, jika satu dari 0,78 persen yang tidak lulus itu adalah anak anda, adik anda, atau anda sendiri. Atau jika pun anak anda lulus, apakah ada jaminan dia akan bisa lulus pada ujian masuk sekolah atau universitas berikutnya? Salah satu problem di institusi kita adalah soal transparansi.

Ada sebuah inspirasi menarik dari Thailand. Tahun 1998, dunia pendidikan Thailand heboh. Seorang ibu, Sumalee Limpa Awart, menuntut Demonstration School of Kasetsart University, sekolah menengah ternama di Bangkok, untuk membuka rekapitulasi tes masuk siswa baru. Sumalee tidak terima anaknya dinyatakan gagal tes masuk sekolah. Tuntutan Sumalee ditolak. Sengketa berlanjut ke Official Information Commission (OIC) Thailand.

Setelah kasus dipelajari saksama, OIC memutuskan rekapitulasi tes masuk siswa baru harus dibuka. Sekolah tetap menolak. Masalah pun menjadi bahasan pada rapat kabinet. Menteri Urusan Pendidikan Thailand memutuskan, Demonstration School harus membuka lembar jawaban semua peserta tes masuk. Ketika dibuka, nilai tes masuk anak Sumalee memang tidak memenuhi syarat. Namun terungkap adanya berkas-berkas sumbangan berbau “suap” dari orangtua yang menginginkan anaknya diterima di sekolah itu.

Setelah kasus Sumalee, Menteri Urusan Pendidikan Thailand memerintahkan penyelenggara pendidikan memperbaiki mekanisme tes saringan masuk (Aa Sudirman, 2000).

Problem lain, tidak ada produk hukum yang mengatur kewajiban lembaga atau pejabat pemerintah untuk memberikan informasi. Pengakuan terhadap hak publik atas informasi ada dalam Amandemen Kedua UUD 1945 dan 17 undang-undang sektoral. Namun yang diatur hanya hak publik atas informasi, bukan kewajiban lembaga publik untuk memberikan informasi. Tidak ada kekuatan hukum untuk memaksa pejabat publik melayani permintaan informasi dari masyarakat.

Beberapa orangtua siswa dari kalangan terpandang merasa dipermalukan kasus Sumalee. Mahkamah Agung Thailand yang memperkuat posisi Sumalee menegaskan, “Berdasar Pasal 58 OIA (UU Kebebasan Informasi Thailand), tiap warga negara berhak melihat, menerima, dan memiliki dokumen yang telah dikuasai pejabat publik.”

Kasus Sumalee begitu kontekstual dengan pengalaman Indonesia. Kita baru saja diguncang “gempa” ujian nasional, kebijakan yang tidak disosialisasikan dengan baik dan tidak disiapkan matang. Heboh ujian nasional disusul hiruk pikuk penerimaan siswa baru. “Budaya titipan” pada tahun ajaran baru masih terjadi. Diterima atau tidaknya calon siswa memang menjadi hak prerogatif sekolah. Namun mengapa tidak ada transparansi, tidak ada peluang mempertanyakan mekanisme saringan siswa baru. Kita telah memiliki UU Keterbukaan Informasi Publik, adakah yang berminat memanfaatkannya seperti seolah Sumalee?

(Disadur dengan beberapa kontektualisasi dari Tulisan Agus Sudibyo)