Ratusan warga Desa Karangwangi, Kec. Mekarmukti, Kab. Garut yang mengurus sertifikat tanah melalui program sertifikat massal yang difasilitasi pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kab. Garut, merasa kecewa. Pasalnya, mereka merasa dibohongi pihak BPN Kab. Garut dan panitia pembuatan sertifikat.
Sebelum dilakukan pengukuran, pihak panitia disaksikan petugas BPN Kab. Garut melakukan musyawarah dengan warga. Hasilnya disepakati, pemilik tanah dipungut uang secara bervariasi tergantung luasnya. Bagi mereka yang memiliki lahan di bawah 50 are kena pungutan Rp 350 ribu.
Selanjutnya, pemilik lahan dengan luas 50 are dipungut Rp 500 ribu, di atas 50 are sebesar Rp 800 ribu, dan pemilik tanah seluas 1 hektare dibebani biaya sebesar Rp 1 juta. Setiap pemilik tanah diharuskan menyetor uang muka kepada panitia dan sisanya bisa dicicil.
“Kami bersyukur, lahan milik kami bisa dilengkapi surat-surat yang sah sehingga legalitasnya diakui secara hukum. Oleh karena itu, kami sangat mendukung program tersebut,” jelas Darmudin (47), tokoh masyarakat setempat saat dihubungi “GM” via ponselnya, Senin (13/2).
Bagi warga, program pembuatan sertifikat secara massal itu menjadi peluang yang sangat berharga. Oleh karena itu, mereka tidak merasa keberatan saat panitia pembuatan sertifikat melalui musyawarah yang dilaksanakan di Kantor Desa Karangwangi, memutuskan adanya pungutan disesuaikan dengan luas lahan.
Lebih jauh Darmudin mengatakan, saat ini sebanyak 252 sertifikat sudah selesai dan diberikan kepada warga secara bertahap. Bagi warga yang sudah melunasi pungutan, sertifikatnya langsung diberikan. Namun, bagi yang belum melunasi, sertifikatnya ditahan petugas BPN.
“Sertifikat milik saya masih ditahan petugas BPN dengan dalih belum melunasi pembiayaan. Tanah milik saya luasnya sekitar 49 are. Dengan demikian, saya dibebani biaya sebesar Rp 350 ribu. Namun, saya masih punya sisa angsuran sebesar Rp 150 ribu,” lanjut Darmudin.
Yang membuat warga merasa kesal, pihak panitia memungut biaya lebih. Bagi pemilik tanah dengan luas di bawah 50 are misalnya, mereka harus membayar sebesar Rp 500 ribu. Bahkan, ada beberapa diantaranya yang sudah membayar uang muka namun tanahnya tidak dilakukan pengukuran.
Hal itulah yang memicu ketidakpuasan warga sehingga menimbulkan perselisihan. Pada akhirnya, warga mengetahui program pembuatan sertifikat secara massal tersebut sama sekali tidak dipungut biaya alias gratis. Bahkan, menurut informasi yang diterima Darmudin, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 700 ribu per sertifikat.
“Terus terang saja, selama ini kami merasa dibohongi oleh petugas BPN dan panitia. Pembuatan sertifikat massal yang harusnya gratis malah dipungut biaya. Oleh karena itu, kami meminta pemerintah melakukan tindakan,” imbuhnya.
Sementara itu, Kasi Sengketa, Konflik, dan Perkara BPN Kab. Garut, Yadi Suhudi mengaku tidak tahu-menahu adanya kejadian itu. Sebab, kepanitiaan pada program sertifikat massal merupakan bentukan pihak desa. BPN sendiri tidak punya wewenang untuk mengintervensi desa apalagi sudah adanya undang-undang otonomi daerah.
Kendati demikian, dia mengakui untuk pendaftaran, pengukuran, dan surat-surat sama sekali tidak dipungut biaya kecuali untuk pembelian materai. Namun, jumlahnya tidak sebesar itu. Namun demikian, dia berjanji akan melakukan tindakan tegas jika ada oknum petugas yang terlibat.
(aji)**
http://www.klik-galamedia.com/index.php?id=201202141100352