KBR68H – Pemberlakuan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) telah memasuki usia dua tahun. UU itu mulai diberlakukan pada 30 April 2010. UU ini lahir untuk memberi jaminan kepada masyarakat Indonesia dalam memperoleh informasi publik. Utamanya sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam mengawasi pembangunan.
Namun pada pelaksanaannya UU KIP kurang maksimal. Banyak masyarakat dan badan publik tak paham soal tujuan dan pelaksanaan UU ini. Buktinya baru 14 provinsi yang membentuk Komisi Informasi Provinsi. Misalnya di Lampung, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Gorontalo dan lainnya. Sementara PPID yang terbentuk baru sekitar 137 dari total 600-an badan publik. Hal ini pun diakui Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Ramly Amin Simbolon. ”Banyak kepala daerah dan badan publik yang abai, belum care,” ujar Ramly Amin Simbolon.
Keterbukaan informasi di badan publik yang tak berjalan ini pun menjadi catatan LSM Transparansi Anggaran FITRA. Koordinator Riset dan Pengembangan LSM FITRA, M Maulana mengatakan dari 118 Kementerian Lembaga yang dimintai informasinya oleh FITRA, sebanyak 45% belum memberikan respon terhadap permintah FITRA. Padahal informasi yang diminta adalah sesuatu yang harus diketahui masyarakat. ”Rencana kegiatan, pelaksanaan anggaran, salinan DIPA dan laporan realisasi anggaran. ”Informasi anggaran adalah sesuatu yang menjadi hak rakyat. Rakyat harus tahu soal penggunaan anggaran negara,” tutur M. Maulana.
Birokrasi Jadi Penghambat
Badan publik memiliki suatu sistem yang disebut birokrasi. Birokrasi mempunyai sistem yang sangat panjang dan berbelit-belit. Sistem inilah yang menyebabkan terhambatnya keterbukaan informasi bagi masyarakat. Padahal keterbukaan informasi menuntut cepat, sederhana dan biaya ringan. “Ini diatur di UU KIP, UU ini berbenturan dengan sistem yang sudah terbangun bertahun-tahun,” sebut Koordinator Riset dan Pengembangan LSM FITRA, M. Maulana. Kata M. Maulana, permintaan informasi jadi makin panjang dan lama bila berurusan dengan pemimpin suatu badan publik. ”Suka di pingpong ke sana ke mari, menunggu persetujuan ini dan itu,” ungkap M. Maulana.
Menurut Maulana, dalam semangat keterbukaan informasi, masyarakat bisa mendapatkan informasi yang dimintai paling cepat 10 hari kerja atau paling lambat 17 hari kerja. ”Lebih cepat lebih bagus, proses rantai birokrasi yang bikin jadi terhambat, birokrasi itu patuh dengan pimpinannya,” sebut M. Maulana. Penyediaan informasi bagi masyarakat padahal sangat mudah. Cukup dilakukan oleh bagian humas bila Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). ”Melekatkan fungsi dari humas itu saja,” ujar M. Maulana. Komisi Informasi Pusat hanya bisa berlaku sebagai wasit. Bila birokasi jadi penghambat keterbukaan informasi. ”Adukan saja ke badan publik yang bersangkutan, kalau tak ditanggapi baru ke KIP,” ucap Ramly Amin Simbolon.
Wajib Terbuka
Semua badan publik yang menggunakan anggaran negara, seperti APBN, APBD, bantuan masyarakat dan juga internasional harus menyediakan informasi bagi masyarakat. Keterbukaan informasi jadi keharusan dalam hal ini. Pasalnya dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberikan jaminan soal akses dan keterbukaan informasi di badan publik. Bukan hanya informasi yang diminta tapi juga yang tak diminta. Menurut Komisioner Komisi Informasi Pusat Ramly Amin Sibolon, informasi yang dikecualikan dan bersifat rahasia pun bisa di buka ke publik. ”Demi kepentingan masyarakat atau orang banyak,” tukas Ramly Amin Simbolon. Dalam UU Keterbukaan Informasi Publik ada sanksi bagi badan publik yang tak memberikan informasi bagi masyarakat. ”Pidana 1 tahun, denda Rp 5 juta,” sebut Ramly Amin Simbolon. Namun bila ada yang melanggar yang diutamakan adalah pendekatan persuasif. ”Kita tegor, kita ingatkan dulu,” ucap Ramly Amin Simbolon.
Evaluasi dan Perbaikan
Komisi Informasi Pusat akan terus melakukan evaluasi dan perbaikan terkait pelaksanaan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Caranya dengan mengawasi dan memantau badan publik dan juga pemimpin daerah. ”Apakah mereka memahami dan menjalankan UU ini atau tidak,” ujar Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Ramly Amin Simbolon. Sosialisasi, diskusi publik dan bimbingan teknis soal UU KIP akan dilakukan sampai ke pelosok daerah. ”Kita terapkan sosialisasi yang lebih terukur,” kata Ramly Amin Simbolon. Tak hanya itu saja, KIP akan mendorong pemerintah pusat untuk sama-sama menjalankan amanat UU KIP.
Bagi pemerintah daerah yang masih tertutup akan informasi cobalah untuk lebih terbuka. ”Gak gampang memang, dulu penguasa sekarang pelayanan, menyediakan informasi buat masyarakat, kemauan politik di sini dibutuhkan,” tutur Ramly Amin Simbolon. Menurut Ramly Amin Simbolon, tugas berat yang mesti dilakukan Komisi Informasi Pusat terkait pelaksanaan UU KIP adalah mendidik masyarakat soal hak mereka terhadap informasi. ”Kita dorong masyarakat untuk lebih banyak memohon infromasi, masih banyak lho informasi yang bisa diminta masyarakat, soal iuran yang tiap kali ajaran baru sekolah, kan harus diperjelas tujuan dan kegunaannya,” tutup Ramly Amin Simbolon.
Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
http://www.kbr68h.com/perbincangan/diskusi-lepas/24052-dua-tahun-pelaksanaan-uu-kip-terseok-seok