Setiap 3 Mei diberbagai negara dibelahan dunia yang menjalankan pemerintahan dengan sistem demokrasi memperingatai Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Preedom Day). Diakui di antara pilar demokrasi adanya kebebasan pers di negara itu.
Pada 3 Mei 2001, saat memperingati tiga tahun World Press Preedom Day di Indonesia, Aliasi Jurnalistik Indonesia (AJI) Medan , satu di antara organisasi yang lahir dari produk rezim Orde Reformasi melaksanakan seminar. Tema seminar Kebebasan Pers di Era Transisi Menuju Demokrasi. Pertemuan itu pada akhir acara menyimpulkan, kebebasan pers harus terus diperjuangkan, karena kekuasaan cenderung korup dan sangat takut terhadap kebebasan pers.
Pada kenyataannya memang pemerintah Orde Reformasi dalam berbagai kesempatan menerbitkan produk undang-undang baru, dan produk undang-undang itu selalu saja terjadi tumpang tindih (over laving) dengan undang-undang yang lalu. Sehingga banyak pihak bertanya kemana arah demokrasi Indonesia.
Sebab sejarah mencatat saat rezim Orde Lama, bangsa ini mengenal demokrasi terpimpin, dan kini demokrasi macam apa lagi.
Lahirnya undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) dan UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di dalam kedua undang-undang ini ada yang mengatur konten (isi) pemberitaan yang diberitakan media (pers). Padahal pers telah memiliki undang-undangnya sendiri yaitu UU tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Over laving bukan sesuatu yang tidak disengaja. Sebab undang-undang itu lahir melalui mekanisme perdebatan yang alot antara DPR-RI dengan pemerintah (kementerian) yang berkaitan menyampaikan produk undang-undang itu, untuk disahkan parlemen.
Over laving bukan sesuatu yang tidak disengaja. Sebab undang-undang itu lahir melalui mekanisme perdebatan yang alot antara DPR-RI dengan pemerintah (kementerian) yang berkaitan menyampaikan produk undang-undang itu, untuk disahkan parlemen.
Berikunya masih berupaya mengkebiri pers dengan produk undang-undang tentang Pemilu tahun 2004. Produk pemerintah itu juga mengatur cara menyajikan berita tentang Pemilu kepada pers baik cetak maupun elektronik.
Di antara isi undang-undang itu disebutkan , media pers harus berlaku adil kepada semua peserta Pemilu dalam pemberitaan kampanye dengan menyediakan rubrik khusus.
Parahnya lagi undang-undang itu mengatur pula soal kampanye, bila partai politik A menjadi hedline media cetak, partai plitik B, C , D dan seterusnya harus mendapat hedline. Selain itu bila partai politik A iklannya dengan space sekian besar, partai B, C, D dan seterusnya juga mendapatkan space yang sama.
Padahal di dalam kedua undang-undang ini ada yang mengatur konten (isi) pemberitaan yang diberitakan media (pers). Padahal pers telah memiliki undang-undangnya sendiri yaitu UU tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Over laving bukan sesuatu yang tidak disengaja, sebab undang-undang itu lahir melalui mekanisme perdebatan yang alot antara DPR-RI dengan pemerintah yang berkaitan akan disetuji prodek undang -undang itu.
Ini mengingatkan kepada pelaku pers dan pengguna informasi bahwa peringatan dini AJI Medan saat itu membenarkan adagium kekuasaan cenderung korup. Karenanya pemerintah (kekuasaan)selalu mencari cara menutup atau mengkebi ri saluran-saluran demokrasi dan kebebasan pers.
Berupaya Mengkebiri Pers
Berikunya masih berupaya mengkebiri pers dengan produk undang-undang tentang Pemilu tahun 2004. Produk pemerintah itu juga mengatur cara menyajikan berita tentang Pemilu kepada pers baik cetak maupun elektronik.
Di antara isi undang-undang itu disebutkan , media pers harus berlaku adil kepada semua peserta Pemilu dalam pemberitaan kampanye dengan menyediakan rubrik khusus.
Parahnya lagi Undang-undang itu mengatur pula soal kampanye, bila partai politik A menjadi hedline media cetak, partai politik B, C , D dan seterusnya harus mendapat hedline. Selain itu bila partai politik A iklannya dengan space sekian besar, partai B, C, D dan seterusnya juga mendapatkan space yang sama.
Pada hal memberitakan/menyiarkan suatu berita bergantung pada nilai berita (news value). Pengetahuan jurnalistik telah menjadi disiplin ilmu. Ini berarti ada aturan-aturan yang baku. Jadi soal layak, penting atau hedline yang mengetahui hal itu adalah pelaku pers itu sendiri.
Produk undang-undang terus diupayakan mengatur pers, ini dilakukan agar ada celah mengembalikan pers itu seperti saatnya rezim Orde Baru. Pergantian rezim Orde Reformasi yang mengusung demokrasi ternyata masih juga berupaya membungkam pers.
Bahkan jika perangkat undang-undang itu masih juga belum bisa mengkebiri kebebasan pers, maka upaya-upaya memojokkan pres oleh pejabat publik, birokrasi, para pesohor dengan menyebut pers salah kutip.
Of the record, hanya untuk konsumsi wartawan yang biasanya dilakukan pemerintah, pejabat publik, pesohor (seleberiti dan lainnya) tak berlaku lagi. Namun mereka berupaya memojokkan pers dengan mengatakan peryataannya dipelintir.
Selain itu masih ada pejabat /peguasa yang melecehkan pers, peristiwa ini baru saja terjadi di Pematang Siantar, Provinsi Sumatera Utara. Walikota Siantar, Holaman Sitorus, dituding melecehkan pers dan LSM dengan peryataan, pers dan LSM menghambat proses pembangunan dan demokrasi. Akibarnya pelaku pers di Siantar meminta klarifikasi, dan bila walikota tak mau akan diadukan ke Polres Siantar.
Membungkam pres juga dilakukan kelompok-kelompok masyarakat dengan mendatangi kantor media cetak untuk minta meralat pemberitaan yang dirasakan dari kelompok itu tidak cocok dengannya. Bahkan baru-baru ini anak SMA yang melakukan tawuran dan diliput pres berani melakukan kekerasan terhadap wartawan. Selain itu upaya mengkrimininalisasi pers juga dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pres.
Namun catatan baik dari perjalanan dinamika Pers Nasional yaitu pada Hari Pers Nasional (HPN) ke-66 yang berlangsung di Provinsi Jambi pada 9 Februari 2012, Dewan Pers dan Polri telah melakukan Momerandum of Understanding (MoU), bahwa Polri menghargai dan mendukung sepenuhnya Kemerdekaan Pers.
Kesepahaman yang disaksikan Prsiden RI, Susilo Bambang Yudoyono, berisikan dan mengatur, untuk menegakkan hukum dan perlindungan kemerdekaan pers, polisi akan meminta Dewan Pers mengkaji apakah laporan atau pengaduan tersebut masih dalam ruang lingkup Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau tidak.
Bila masih dalam kode etik akan diselesaikan oleh Dewan Pers sesuai dengan mekanisme yang ada. Sebaliknya jika kasus tersebut sudah berada pada wilayah hukum sepenuhnya menjadi kewenangan polisi untuk mengambil tindakan.
Dalam kasus-kasus yang menyangkut delik pers, polisi akan berpedoman kepada UU No 40 tahun 1999 tentang Pers, dan berkaitan dengan itu Dewan Pers menyediakan ahli-ahli tentang pers kepada polisi. Kesepahaman itu adalah momentum agar terwujud pers yang sehat, dan wartawan dengan standar kompetensi.
Menurut catatan Dewan Pers dari 829 unit perusahaan pers, hanya 30 persen yang sehat, selebihnya tidak sehat. Selain itu sebagian wartawan Indonesia belum memenuhi standar kompetensi wartawan. Janji Dewan Pers yang akan melakukan sidak kepada perusahaan media cetak dan elektronik harus terus dilakukan sampai standarisasi kompetensi wartawan ditiap unit usaha itu terwujud.
Hari Kebebabasan Pers Sedunia pada 3 Mei yang juga diperingati di Indonesia jangan terpaku pada serimonial. Tapi inilah saatnya mengevaluasi sudah terwujudkah kebebasan pers sebagaimana yang dicita-citakan negara-negara demokrasi.***
Oleh : Ardani.
http://www.analisadaily.com/news/read/2012/05/03/48834/mengukur_kualitas_pers_nasional_pada_hari_kebebasan_pers_sedunia/#.T6OrEVKpRiI