Informasi adalah salah satu aset yang sangat penting yang dimiliki oleh sebuah organisasi. Pengelolaan informasi sebagai aset atau sumber daya organisasi ini (seperti halnya sumber daya manusia dan keuangan) tentunya sangat penting dilakukan untuk memenuhi kebutuhan informasi manajemen baik secara strategis maupun operasional. Gray (seperti yang dikutip Ramjaun, 2000: 2) menjelaskan bahwa informasi adalah sesuatu yang dibutuhkan seseorang untuk diketahui dan diterapkan dalam melaksanakan pekerjaannya agar sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya baik oleh orang itu sendiri maupun oleh organisasinya.
Khususnya untuk lembaga/badan publik, akses terhadap informasi yang dimilikinya kini semakin terbuka dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disebut UU KIP). Pada Pasal 2 ayat 1 menjelaskan bahwa “setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik”. Kemudian dipertegas dengan Pasal 4 ayat 1 bahwa “setiap orang berhak memperoleh informasi publik dengan ketentuan undang-undang ini”. Dari dua ayat tersebut sudah cukup jelas bahwa memang masyarakat berhak untuk mengetahui aktivitas informasi yang berlangsung di badan/lembaga publik.
Kemudian yang dimaksud dengan lembaga/badan publik menurut UU KIP ialah;
Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri (Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 Pasal 1 ayat 3).
Terkait dengan adanya undang-undang tersebut, secara langsung atau tidak langsung badan/lembaga publik yang termasuk dalam kategori di atas harus mengelola informasi yang dimiliki dengan sebaik mungkin. Hal ini nantinya berkaitan dengan kemudahan akses bagi masyarakat yang membutuhkan informasi tersebut.
Fakta yang terjadi di lapangan, masih banyak badan/lembaga publik yang pengelolaan informasinya belum optimal ataupun sudah menggunakan standar aturan baku tetapi belum secara menyeluruh terlaksana dengan baik. Hal ini tentunya memerlukan suatu proses evaluasi sistematis, khususnya terkait dengan kebutuhan dan penggunaan informasi yang tercipta dengan sebuah pembuktian yang ditunjukkan oleh pengguna dan dokumen yang ada untuk memperkuat keberadaannya dalam memberikan kontribusi bagi tujuan organisasi. Proses inilah yang dikenal dengan istilah audit informasi (Henczel, 2001).
Audit informasi dilakukan untuk memahami bagaimana sebuah lingkungan informasi (dalam hal ini pengelolaan informasinya) tepat sesuai dengan misi dan visi organisasi. Dengan dilakukan audit informasi terhadap kebutuhan dan penggunaan informasi pada sistem yang berjalan, maka akan diketahui informasi apa saja yang perlu dihasilkan sebagai output dari sistem yang akan dikembangkan tersebut. Pada akhirnya pelaksanaan audit informasi ini akan menghasilkan rekomendasi sebagai bahan masukan dalam merumuskan sebuah kebijakan informasi tentang pengembangan sistem informasi manajemen bagi organisasi bersangkutan.
Kemudian berkaitan dengan manfaat (atau lebih tepatnya tujuan) audit informasi di atas, ketika pengelolaan informasi yang berlangsung di masyarakat sudah relevan dengan misi dan visi organisasinya, pastinya akan lebih memudahkan bagi lembaga tersebut dalam memberikan transparansi akses informasi yang dimilikinya kepada publik/masyarakat. Selain itu karena menghasilkan rekomendasi, yang tentu diperoleh dari temuan-temuan saat mengevaluasi, akan bisa mendapatkan solusi bagi pengembangan managemen informasi dalam badan/lembaga publik tersebut.
Ilmu Perpustakaan dan Informasi, UI 2009