JAKARTA: Sedikitnya 11 perusahaan pemilik Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) belum terbuka soal pendapatan maupun pembayaran pajak dengan belum diserahkannya laporan Extractive Industries Transparancy Initiative (EITI) hingga akhir bulan lalu.

Data Sekretariat EITI yang diperoleh Bisnis menunjukkan terdapat 19 perusahaan batu bara yang belum menyerahkan laporan keterbukaan informasi itu, di antaranya adalah 11 perusahaan pemilik PKP2B. Sedangkan sisanya adalah perusahaan pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Perusahaan-perusahaan PKP2B itu adalah Bahari Cakrawala Sebuku (Kota Baru, Kalimantan Selatan); Borneo Indobara (Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan); Interex Sacra Raya (Pasir, Kalimantan Timur); Kartika Selabumi Mining (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Kideco Jaya Agung (Pasir, Kalimantan Timur); Mandiri Intiperkasa (Nunukan dan Bulungan, Kalimantan Timur); Multi Harapan Utama (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Multi Tambangraya (Buntok, Kalimantan Tengah); Nusantara Thermal Coal (Jambi); Riau Bara Harum (Indragiri Hilir, Riau) dan Senamas Energindo Mulia (Kota Baru, Kalimantan Selatan).

Sedangkan perusahaan-perusahaan pemilik IUP adalah Barajaya Utama (Berau, Kalimantan Timur); Binamitra Sumberarta (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Bukit Baiduri Energi (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Fajar Bumi Sakti (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Gema Rahmi Persada (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur); Harfa Taruna Mandiri (Barito Utara, Kalimantan Tengah); Kayan Putra Utama Coal (Kutai Kartanegara, Malinau, Kalimantan Timur); dan Transisi Energi Satunama (Samarinda, Kalimantan Timur).

Aturan mengenai transparansi industri ekstraktif diatur melalui Peraturan Presiden Nomo 20/2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif. Dalam Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, BP Migas serta perusahaan industri ekstraktif menyerahkan laporannya kepada Tim Transparansi melalui Tim Pelaksana.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Sahala mengatakan belum diserahkannya laporan itu terkendala masalah teknis, terutama menyangkut persoalan keuangan karena soal persepsi. Dia memaparkan asosiasi sangat mendukung transparansi di sektor batu bara.

Menurut Supriatna, pihaknya  juga meminta pemerintah seharusnya bisa mempublikasikan pendapatan di sektor tersebut yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan yang telah melaporkan keterbukaan informasi pendapatan dan pajaknya.

“Transparansi sangat penting karena kalau tidak terbuka, artinya kami mengakui ada yang disembunyikan,” ujar Supriatna ketika dikonfirmasi Bisnis di Jakarta, Selasa (26/06/2012). “Pemerintah juga seharusnya mempublikasikan pendapatan mereka dan perusahaan yang telah menyerahkan laporan EITI.”

Dia menuturkan perusahaan yang tidak menyerahkan laporan EITI juga tak memiliki sanksi yang jelas, melainkan hanya hukuman moral dari media massa dan masyarakat.  Supriatna juga menghimbau agar perusahaan-perusahaan berskala besar lebih dahulu memberikan contoh sehingga diikuti oleh korporasi kecil berikutnya.

Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan pihaknya mempertanyakan sejumlah perusahaan yang belum menyerahkan laporan EITI. Dia mengungkapkan perusahaan itu bisa dianggap sebagai pihak yang tidak menerapkan good mining practices.

“Salah satunya adalah taat terhadap peraturan yang ada di dalam negaranya,” kata Maryati ketika dikonfirmasi Bisnis di Jakarta, Selasa (26/06/2012). “Masyarakat akan mempertanyakan mengapa mereka belum menyerahkan laporan itu?”

Dia menuturkan selain masalah pendapatan, PWYP juga mendorong agar perusahaan tambang terbuka soal kontrak kerja mereka dengan pemerintah. Keterbukaan dokumen kontrak dinilai berguna untuk pengawasan publik.

 

Anugerah Perkasa

http://www.bisnis.com/articles/11-perusahaan-pkp2b-tak-transparan-soal-pendapatan-and-pajak