Air

“Tidak semua tempat di ibukota mendapat aliran PDAM. Di kompleks tempat tinggalku, Komplek Ruko Taman Palem, di daerah Cengkareng, menggunakan Air WTP. Apa itu air WTP? Itu lho: Water Treatment Plant, a facility that performs water purification. Airnya kotor tetapi harganya oleh pengelolanya  dinaikkan dari Rp 7.500/m3 menjadi Rp 10.500/m3. Naik 40 %. Luar biasa.  Warga beberapa kali komplain ke pengelola namun tetap tidak digubris. Air yang datang kotor sekali dan bau. Terkadang malah ada cacingnya. Padahal warga butuh untuk mandi, cuci baju, cuci piring, cuci sayur.
Adakah solusi untuk kami yang merindukan air bersih?”  (Sentosa, Kompasiana)

Semenjak reformasi bergulir isu privatisasi menjadi wacana yang hangat di tengah masyarakat. Tak terkecuali privatisasi sektor air. Di Jakarta misalnya, pada 1998 layanan air resmi berpindah tangan dari  PAM Jaya (perusahaan air milik publik) ke PT. PAM Lyonaise Jaya (Palyja) dan PT. Thames  PAM Jaya (TPJ) –sekarang PT Aetra. Dengan konsesi kontrak selama 35 tahun, pengelolaan air resmi berpindah ke pihak swasta.

Kondisi tersebut tentu mengkhawatirkan bagi publik. Mengingat pada 2005 MK telah memutuskan bahwa air merupakan barang publik. “Di Indonesia air merupakan barang publik, yang memilki fungsi ekonomi dan sosial. Fungsi ekonomi tidaklah sama jika air dijadikan komoditas. Yang berlaku adalah biaya jasa pengelolaan air. Biaya pengelolaan tidak boleh memasukkan ongkos produksi,” jelas Muhammad Reza Sahib, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA) di Jakarta (15/03).

Reza menambahkan bahwa kenaikan tarif air dinilai tidak rasional dari Rp.4000/m kubik menjadi Rp.7000/m kubik. Publik tidak tahu apa dasarnya. “Yang muncul adalah klaim sepihak dari swasta” Tegasnya. masyarakat perlu memperoleh informasi yang jelas apa dasar kenaikan tersebut. Oleh karena itu, KRUHA meminta informasi ke PDAM pada Oktober 2011. Tapi sayang, permintaan tersebut ditolak sehingga masuk ke proses ajudikasi di Komisi Informasi (KI). Sejumlah informasi yang diminta dikabulkan oleh KI sedang sebagiannya ditolak.

Tapi tampaknya perjuangan KRUHA belum berakhir. Pasalnya, PDAM belum memberikan informasi sebagaimana yang diperintahkan oleh KI. Malah mengajukan banding ke Peradilan Tata Usah Negara (PTUN), meski ditolak. Kini, perkara sengketa ini di-kasasi-kan di Mahkamah Agung (MA) oleh PDAM. Mereka berargumen bahwa informasi yang diminta tidak bisa dipenuhi karena dokumen kontrak dan khawatir akan diajukan ke Arbritase Internasional oleh swasta. Lagipula saat ini masih dalam proses negosiasi ulang. “Kami akan menunggu proses tersebut. Namun sikap kami tetap, air adalah hak publik,” ungkap Reza.

Tampaknya KI menjadi salah satu pintu untuk advokasi kepentingan gerakan masyarakat atas hak atas air ini. “Informasi tersebut menjadi pintu masuk audit umum atau sosial. Bahwa kerjasama ini bermasalah. Banyak unsur korupsinya. Masyarakat perlu tahu,” pungkas Reza. Untuk memperkuat gerakan, saat ini KRUHA bersama organ masyarakat sipil lainnya telah mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) atas kerja sama PDAM Jaya dengan dua operator air minum. []