PDAM Samarinda4

Ilustrasi.

Info telp kantor PDAM Pengaduan Pelayanan PDAM

Kontrak kerja sama antara PAM Jaya dengan dua konsorsium swasta, yaitu PT Palyja dan PT Aetra, dinilai telah merugikan negara dan masyarakat. Untuk itu, PAM Jaya didesak harus membuka kepada publik, isi kontrak kedua perusahaan tersebuttersebut.

Muhammad Reza dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA) mengatakan, sejak kontrak diteken pada 1997, tidak ada perbaikan berarti dalam hal layanan air di Jakarta. Justru menurutnya, tarif air semakin naik dan PAM Jaya pun terus merugi.

“Semua ini berawal dari kontrak dan pengelolaan yang penuh rekayasa dan juga penuh dengan kerahasiaan,” kata Reza, dalam konferensi pers di Jakarta, hari ini.

Selain itu, Reza meminta laporan hasil audit BPKP terkait pelaksanaan kerja sama dengan dua perusahaan asal Inggris dan Prancis tersebut juga dibuka.

“Juga terkait proyeksi keuangan yang digunakan dalam menetapkan besaran imbalan air (biaya yang harus dikeluarkan PAM Jaya untuk setiap pekerjaan yang dilakukan swasta),” kata Reza.

Reza menuturkan, pada 3 Oktober lalu, koalisi sudah mengajukan permohonan dibukanya informasi tersebut. Akan tetapi PAM Jaya menolak mempublikasikannya, dengan alasan adanya larangan membuka informasi tersebut di dalam kontrak kerja sama PAM Jaya dengan Palyja-Aetra.

Namun, pada September 2012, Komisi Informasi Pusat (KIP) memerintahkan PAM Jaya membuka dokumen-dokumen tersebut. PAM Jaya lantas mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) meminta agar keputusan KIP dibatalkan. PAM Jaya berdalih tidak bisa mempublikasikan karena tengah melakukan renegoisasi kontrak dengan Palyja-Aerta.

Atas tindakan PAM Jaya tersebut, koalisi pun akan memberikan jawaban ke PUTN. Koalisi juga akan mengajukan gugatan warga negara soal adanya pembiaran swastanisasi layanan air yang sejatinya menjadi domain publik.

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Sumber Daya Air No.7/2004, pengaturan soal air harus dilakukan oleh pemerintah dan tidak bsa dikuasakan kepada pihak swasta. Selain itu, biaya pengelolaan sumber daya air juga harus transparan dan melibatkan unsur masyarakat dalam penghitungannya.

Kenyataannya, kata Reza, sejak 1997, tanpa persetujuan publik dan lelang umum, pengelolaan air dilakukan oleh dua perusahaan swasta, yaitu PT Palyja dan PT Aetra. Pengelolaan air dipercayakan ke pihak swasta lantaran PAM Jaya dinilai mempunyai kinerja yang buruk, baik secara teknis maupun keuangan.

Nyatanya pula, setelah di bawah penanganan swasta, PAM Jaya tak kunjung mendapatkan untung. Dengan kata lain, kontrak dengan dua perusahaan swasta tersebut justru merugikan PAM Jaya. Padahal dalam kontrak tersebut, Palyja-Aetra dijamin potensi keuntungan, risiko dan pengembalian modal sebesar 22 persen setiap tahunnya, (juga) jaminan kenaikan tarif setiap bulan.

Masih menurut Reza, sementara itu, PAM Jaya juga harus mengongkosi management fee berupa biaya hidup para pekerja asing yang pada tahun 2007 mencapai Rp7 miliar. Alhasil, akibat kontrak kerja sama tersebut, PAM Jaya mengalami kerugian Rp1,3 triliun pada Desember 2011.

Sementara dari sisi masyarakat, menurut Reza lagi, mereka terbebani dengan tingginya harga untuk memperoleh air senilai Rp6.800 per meter kubik. Padahal berdasarkan hasil perhitungan BPK, harga idealnya adalah Rp4.800.

sumber: detik.com