Rencana melakukan revisi Undang-Undang No.7 Tahun 2007 tentang Sumber Daya Air amat diperlukan. Sebab UU No7 tahun 2004 belum berpihak kepada masyarakat, hanya lebih menguntungkan kalangan penguaha.
Hal itu disampaikan Poppy Susanti Dharsono, Anggota DPD RI dari daerah Pemilihan Jawa Timur, pada Rapat Tim Kerja Rencana Undang-Undang (RUU) Perubahan UU No 7 /2004 tentang Sumber Daya Air, Rabu (13/4) di Gedung DPD RI/MPR RI Senayan Jakarta.
Poppy menambahkan, ada tiga hal yang membuat perlunya revisi UUSumber Daya Air. Pertama, UU No 7/2004 tidak memihak kepada rakyat sebab tidak sesuai dengan roh UUD 1945, dimana pada pasal 33 menjelaskan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besana untuk kepentingan rakyat.
Kenyataannya beberapa pasal, diimplementasikan dengan tafsiran lain. Misalnya, ketentuan Pasal 26 ayat 7 UU SDA yang berbunyi, “Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air dan dengan melibatkan peran masyarakat”. Dengan demikian, seharusnya pengelolaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai pengusahaan sumber daya air benarbenar diusahakan oleh Pemerintah Daerah dengan berlandaskan pada ketentuan Pasal 26 (7) UU SDA. Peran serta masyarakat yang merupakan pelaksanaan asas demokratisasi dalam pengelolaan air harus diutamakan dalam pengelolaan PDAM, karena baik buruknya kinerja PDAM dalam pelayanan penyediaan air kepada masyarakat mencerminkan secara langsung baik buruknya negara dalam melakukan kewajibannya untuk memenuhi hak asasi atas air.
PDAM harus diposisikan sebagai unit operasional negara dalam merealisasikan kewajiban negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 UU SDA, dan bukan sebagai perusahaan yang berorientasi pada keuntungan secara ekonomis. Besarnya biaya pengelolaan sumber daya air untuk PDAM harus transparan dan melibatkan unsure masyarakat dalam penghitungannya. Dalam peraturan pelaksanaan UU SDA perlu dicantumkan dengan tegas kewajiban Pemerintah Daerah untuk menganggarkan dalam APBD-nya sumber pembiayaan pengelolaan sumber daya air.
Kedua, dalam revisi, harus semua pihak dan terintegarasi dengan instansi lainnya seperti Lingkungan Hidup, Pekerjaan Umum, Pertanian, Bappenas, dan Kantor Lingkungan Hidup. Ketiga, perlu sosialisasi secara luas kepada masyarakat dan pemerintah harus menyediakan dana yang cukup dan berkelanjutan.
Satu hal penting yang tak boleh diabaikan, yaitu adanya perspektif keterbukaan informasi publik, dalam pengelolaan sumber daya air. Berbagai kasus buruknya pelayanan PDAM di berbagai daerah di Indonesia, merupakan dampak dari ketertutupan. Publik tidak mengetahui berapa sebenarnya biaya operasional PDAM, sehingga harga yang dijual bukanlah untuk kepentingan komersil dengan angka yang tidak rasional. Publik tidak mengetahui karena memang tertutup.
Karena itulah diperlukan inisiatif warga untuk meminta informasi terkait hal ini, sebagaimana yang dilakukan Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air di Jakarta. Apa yang terjadi? Data itu pun tak diberi. Karena tak diberi, maka pemohon informasi mengajukan sengketa berlangsung di Komisi Informasi Pusat, yang saat ini telah memasuki tahap ajudikasi. Hal yang sama perlu dilakukan warga di berbagai daerah lainnya.
Hal ini, patut menjadi pertimbangan serius Tim Kerja RUU Sumber Daya Air, yang terdiri dari terdiri dari 17 orang anggota DPD RI masing-masing Ir H Bambang Susilo, MM (Ketua Komite II), Matheus S. Pasimanjeku, SH (Maluku Utara), Mursyid (Nanggroeh Aceh Darussalam, Iswandi A.Md (Lampung), I Kade Arimbawa (Bali), Ishak Mancan, SH (Papua Barat), Ir Abraham Liyanto (Nusa Tenggara Timur), Hj. Noorhari Astuti, S.Sos (Bangka Belitung), Poppy Susanti Dharsono (Jawa Tengah), Hj. Hairiah, SH, MH (Kalimantan Barat), Djasaren Purba, SH (Kepulauan Riau), Drs H Bahar Ngitung (Sulawesi Selatan), Prof Dr H Mohammad Surya (Jawa Barat), Baiq Diyah Ratu Ganefi, SH (Nusa Tenggara Barat), Vivi Effendy (DKI Jakarta) dan Pdt. Elion Numbery, STh (Papua). (HM)