Koalisi Freedom of Inforation Network Indonesia (FOINI) menuntut transparansi Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) dalam menyeleksi calon anggota Komisi Informasi Pusat (KIP) 2013-2017.

“Panitia Seleksi calon anggota Komisi Informasi Pusat (Pansel KIP) periode 2013-2017 telah menyelesaikan tanggungjawabnya dengan menyerahkan 28 calon anggota KIP kepada Menteri Kominfo. Namun menurut pandangan Koalisi FOINI, proses seleksi yang telah dilakukan pemerintah terkesan tertutup karena 15 hari pasca penyerahan, Pemerintah tidak juga mengumumkan ke publik nama-nama calon tersebut,” tutur Tama S. Langkun mewakili Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai anggota Koalisi FOINI dalam pernyataan persnya, Minggu (5/5/2013).Koalisi terdiri dari berbagai elemen masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti ICW, IPC, Masyarakat Informasi Banten, Masyarakat Cipta Media, PATTIRO, Perkumpulan Media Link, PATTIRO-Surakarta, PWYP Indonesia, Perkumpulan INISIATIF, PIAR NTT, PATTIRO-Malang, Pusat Studi Konstitusi-FH Undalas, PATTIRO Semarang, Sekolah Rakyat Kendal, Sloka Institute, SOMASI NTB, Transparency International Indonesia, YAPPIKA, Yayasan Ladang Media, Aceh-PATTIRO, Bojonegoro Institute, FITRA, dan lain-lain.

Ia mengatakan, ketidakterbukaan hasil seleksi tersebut tidak sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 UU KIP yang menyebut, pembentukan Komisi Informasi harus mengedepankan prinsip obyektifitas, kejujuran dan keterbukaan.

Tama juga mengatakan, Koalisi menilai 28 nama yang diserahkan Pansel ke Kemenkominfo dinilai tidak tepat. “Berdasarkan pasal 31 ayat 1 UU KIP, calon anggota Komisi Informasi Pusat hasil rekrutmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden sejumlah 21 (duapuluh satu) orang.
Artinya, upaya Kominfo memaksa pansel menyerahkan 28 calon anggota KIP sama saja menegasikan kinerja Pansel. Upaya menambah quota 7 (tujuh orang) untuk mengantisipasi calon yang mengundurkan diri sangat tidak bisa diterima, justru kami menilai pemerintah sedang berupaya memastikan wakilnya bisa ikut serta dalam uji kelayakan di DPR,” tutur Tama.

Menurut dia, kondisi itu berdampak negatif bagi proses seleksi. Pertama, membuka ruang praktek percaloan sehingga calon bersaing secara tidak sehat untuk dapat masuk dalam daftar 21 nama yang akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR.

Kedua, Indikasi intervensi pemerintah untuk menambah porsi keterwakilannya akan mereduksi keterwakilan calon komisi informasi dari masyarakat.

“Jika ini terjadi, tentu akan mempengaruhi obyektifitas putusan-putusan Komisi Informasi nantinya. Selain itu, proses tersebut menutup kesempatan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam mengawasi proses pemilihan,” kata Tama.

Koalisi juga meminta Presiden untuk segera mempercepat proses seleksi KIP. Jika komisioner tidak juga terpilih sampai dengan masa jabatan berakhir, maka Presiden harus menyiapkan Peraturan Presiden (Prepres) untuk memperpanjang jabatan Anggota KIP periode 2009-2013 yang seharusnyaberakhir pada 2 Juni 2013.

Tama mengingatkan, dalam kurun waktu tidak lebih dari satu bulan, anggota KIP akan kehilangan legitimasinya untuk mengambil keputusan atas sengketa informasi yang sedang berlangsung.Jika kondisi ini dibiarkan, bisa menyebabkan sejumlah sengekta informasi yang sekarang sedang berlangsung di KIP akan terbengkalai.