Nampat Silangit, Mahasiswa UPB.

IMG_2612

Awal permasalahan yaitu tahun 2011, di awal perkuliahan di semester 5, UTS, kami mengalami perubahan sistem ujian dari tadinya secara manual essay test menjadi online. Sewaktu manual itu, ujian kami adalah essay test. tapi setelah online itu menjadi multiple choice. Saya tidak setuju dengan metode ujian secara multiple choice, karena saya adalah mahasiswa Fakultas Hukum (FH). Seharusnya tes di FH itu, bagaimana meneliti sebuah kasus dan penyelesaiannya, bukan diperlukan multiple choice, itu kurang cocok.

Dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mempunyai wewenang untuk menguji setelah pemberi materi. Di dalam pasal 51 huruf (e) dan (f), disebutkan bahwa dosen diberi kuasa oleh UU untuk menilai serta memberi kelulusan. Setelah tahu itu saya pun komplain dan menghadap ke dosen. Dosen melanjutkan ke Kapolri dan kemudian Kapolri melanjutkan ke Wakil Rektor 1. Kasus ini ditanggapi. Saya disuruh memilih 2 model ujian, yaitu essay test dan multiple choice online.

Alasan Otonomi Kampus

Akhirnya, mahasiswa FH diberikan ujian secara essay test. Pada saat ujian, pengawas mengatakan kepada saya saat mengabsen, “Nampat Silangit, apapun hasil ujian kamu tidak akan ada artinya. “Wah jangan begitu Bu, tapi kalau mau begitu, silakanlah. Itu salah!” kata saya. Kami melanjutkan ujian. Pukul 14.00 WIB, hasil ujian keluar secara online. “Nilai saya jelek!” Saya print out, saya konfirmasi kepada dosen-dosen mata kuliah tersebut, apakah ini nilai mata kuliah saya?

Dosen bilang, “Kami belum pernah memberikan nilai kepada Anda dan sampai saat ini kami tidak pernah melihat lembar ujian dan lembar jawaban Anda.” Karena ini melanggar UU, Saya sarankan dosen tersebut ke Kapolri dan ke Rektor. Tapi Rektor mengatakan itu otonomi kampus.

Karena itu otonomi kampus, saya minta mimbar FH. Sebelum ke mimbar, saya pastikan lagi UU no. 14 tahun 2005 ini. Saya pun ke Kejari dan di arahkan ke 5 Jaksa. Jaksa di situ mengatakan, “Kami ini pembohong besar! Tidak ada satupun universitas dari Sabang sampai Merauke seperti itu. Bila yang kamu katakan benar, lapor ke kepolisian!”

Mimbar FH

Esok harinya, saya kembali ke kampus menghadiri mimbar FH, yang dihadiri Wakil Rektor I dari Universitas Putra Batam (UPB), dari STMI Pak Toni Wangra. Karena saya adalah wakil universitas, pada saat giliran Saya, Saya bertanya ke Pak Toni Wangra, “Maaf Pak, selama saya ketahui Rektor saya adalah Pak Adijoyo, jadi Bapak ini sebagai apa di kampus ini?” Beliau bilang “Saya ini Wakil Rektor 3 bidang IT.” Sementara di UPB itu tidak ada Wakil Rektor 3 dan saya sudah memfotokopi struktur organisasi UPB. Pak Toni mengatakan itu otonomi kampus. Bila tidak terima, saya dipersilakan melapor ke Kejaksaan, ke Polisi, dan akan ditunjukkan alamat-alamatnya.

Saya tahu bahwa universitas swasta itu di bawah oleh Kopertis, saya pun menghadap ke Kopertis wilayah 10 di Padang. Saya menghadap ke Direktur Bidang Kemahasiswaan. Saya diminta membuat pelaporan ini tertulis. Saya diminta berpikir lagi terhadap tindakan saya karena ini akan berbahaya untuk kampus.

Lalu saya kembali ke Batam dan saya persiapkan laporan tertulisnya. Tapi setelah saya buat laporan tertulisnya, tidak satupun surat laporan saya ditanggapi oleh Kopertis wilayah 10 Padang. Surat-surat tersebut memiliki nomor surat dan surat bukti tanda terima surat ada di saya.

Kemudian saya juga melapor ke Polda Kepri sebagaimana sudah dijelaskan proses hukumnya oleh Jaksa. Setelah melapor dan di-BAP, penyidik diarahkan ke Kompolres, unit 6 bagian Tipiter. Ketika saya datang, di-BAP, dan saya diminta untuk melengkapi alat bukti. Setelah saya lengkapi apa yang mereka minta, saya kemudian justru mulai dipersalahkan dan saya malah disuruh untuk mempersiapkan seluruh alat bukti.

Saya katakan bahwa UU memberikan wewenang kepada penyidik untuk bisa mengambil seluruh bukti ke kampus. Tapi saya katakan kalau memang demikian, saya siap, saya tahu jalur yang akan saya tempuh.

Menggunakan UU KIP

Oleh karena itu saya pakai UU 14 / 2008 dan saya ajukan permohonan ke UPB, 10 hari kemudian juga tidak ditanggapi, setelah itu saya ajukan keberatan dan 30 hari kemudian juga tdak ada tanggapan. lalu saya ajukan ke KI Kepri untuk proses penyelesaian sengketa informasi.

Hari pertama ajudikasi, pihak UPB tidak hadir, itu tanggal 18. Tanggal 19, saya disidang di UPB oleh beberapa Dekan dan Kapolri, saya di tanya dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Tanggal 23 saya terima surat bahwa saya sudah di DO, jadi 3 mahasiswa di DO, dan 7 orang di skorsing selama 2 semester. Alasannya karena kami melanggar statuta UPB dan merongrong nama baik UPB.

Setelah itu berlanjut persidangan di KI, UPB tidak mengakui bahwa mereka badan publik. Mereka menyatakan tidak punya sengketa dengan saya. Setelah itu pembuktian berkas-berkas, KI Kepri membuat putusan yang memenangkan kami. Setelah 14 hari saya tunggu, tidak ada respon dari UPB, rupanya UPB banding ke PN.

Banding Ke PN

Hari pertama pemeriksaan berkas, hari kedua diarahkan ke mediasi 1, 2, 3. Saya bingung kenapa ada mediasi karena mediasi adanya di KI. Karena diulur-ulur, saya lalu menghadap ke Ketua Majelis.

Ketika itu KI Prov mengadakan seminar, pembicaranya dari Hakim Agung yaitu Bpk Supandi yang mempresentasikan tentang Peraturan MA dan saya mendapat pemahaman dari situ. Setelah itu saya menghadap ke Ketua Majelis, saya bilang bahwa saya sudah bertemu dengan Hakim Agung, Pak Supandi dan ini sudah tidak sesuai dengan Peraturan MA (PerMA), saya juga berikan fotokopiannya. Pada tanggal 7 sidang pembuktian, PerMA lagi-lagi tidak dipakai. Pembuktian dari UPB semua diterima, tetapi pembuktian dari saya tidak diterima padahal saya berikan putusan KI dan foto lembar ujian yang saya dapatkan dari Polisi.

Hakim mengatakan kepada saya, bukan ini, mana aslinya? Saya sudah bilang bahwa asli dan sudah dileges oleh PP KI, artinya ini sudah sama dengan aslinya. Tapi hakim tidak menerima itu dan bersikeras untuk saya memberikan aslinya. Saya katakan bila memang begitu, akan saya siapkan.

Saya kemudian telepon Pak Arifuddin Jalal, Komisioner KI Kepri. Beliau bilang, menurut PerMA, saya tidak ada wewenang untuk mengambil Surat Putusan KI yang asli di KI.

Tanggal 8 November, saya menghadap ke ketua PN. Saya bawa media 3 orang, dan ketua PN mengatakan kepada saya, apa masalah saya. Saya sampaikan ke dia dan rupanya ketua PN sudah mengetahui permasalahan saya. Setelah itu hakim mengatakan kepada saya, kita akan suruh PN untuk memintanya (surat putusan KI yang asli). Tapi saya bilang bahwa saya akan menindaklanjuti ini ke Komisi Yudisial (KY) atas PerMA yang sudah dilanggar.

Kini, saya butuh dukungan teman-teman FoI-NI. Dukungan inilah yang membuat saya bangkit lagi. Padahal, semula saya sempat ingin menyerah. Memperjuangkan nilai ujian sama beratnya dengan memperjuangkan nilai transparansi.

Dituturkan oleh Nampat Silangit, 12 November 2013