Surat PM Australia, Tony Abbott kepada Presiden Yudhoyono merupakan dokumen publik yang bersifat terbuka. Satu minggu adalah waktu yang cukup bagi istana untuk mempertimbangkannya.

Demikian pendapat mantan Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP), Alamsyah Saragih, yang disampaikan kepada penulis, Selasa siang (26/11), terkait munculnya desakan dari sejumlah pihak, antara lainWk Ketua Komisi I DPR RI, Tb.Hasanudin yang meminta Presiden SBY membuka ke pubik isi surat Abbot. Yang diminta untuk dibuka ke public, hanya substansinya saja karena sudah menjadi konsumsi publik. Alasan lain, agar jangan sampai ada fitnah kepada SBY.

Pihak istana Sabtu lalu mengungkapkan, Presiden yudhoyono sudah menerima surat PM Abbot sebagai balasan surat SBY sebelumnya yang meminta penjelasan Australia terkait terbongkarnya kasus penyadapan oleh intelijen negeri itu terhadap Presiden, Ibu Negara dan sejumlah pejabat tinggi.

Alamsyah mengemukakan, jika surat Abbott tak dibuka, memburuknya hubungan diplomasi kedua negara berpotensi dijadikan ajang tawar-menawar elit untuk kepentingan pribadi mereka. Apa lagi mejelang tahun politik 2014 hampir semua partai dan elit politik membutuhkan logistik besar.

Akuntabilitas kebijakan publik, termasuk kebijakan luar negeri di dalamnya, adalah salah satu basis pertimbangan kepentingan publik dalam UU Keterbukaan Informasi Publik (no.14/2008). Dalam hal ini, kata Alamsyah, apakah jika informasi itu ditutup ribuan WNI di Australia dapat mengambil keputusan yang akurat untuk menentukan nasib mereka ke depan?

Juga, apakah warga negara yang sedang melakukan kerja sama bisnis dapat mengambil keputusan akurat untuk menentukan kelangsungan kerja sama mereka?

‘’Apakah jika informasi ditutup, publik dapat mengetahui bahwa tidak ada upaya-upaya penyelesaian bawah tangan oleh elit yang berpotensi merugikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat?’’Tanya Alamsyah lagi.

Sadap-menyadap merupakan hal yang biasa terjadi di dunia mata-mata. Hal yang tidak biasa terjadi adalah ketika penyadapan tersebut bocor ke public. Setelah SBY menyurati Abbott, banyak pihak menyarankan PM Australia itu meniru langkah Obama manjawab kanselir Jerman Angela Merkel. Persoalan kemudian muncul, kata Alamsyah, ketika Abbot membalas surat SBY, publik ingin mengetahui isi surat tersebut, namun istana memilih bungkam.

Alamsyah membeberkan, pasal 11 UU KIP mengatur, bahwa seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya adalah informasi terbuka. Termasuk juga informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum. Pernyataan mengenai kebijakan ‘diplomasi tegas’ yang telah disampaikan SBY kepada publik melalui akun twitternya adalah salah satu contoh.

Namun pasal 17 huruf f UU KIP melarang membuka informasi yang dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri. Salah satunya adalah korespondensi diplomatik antar negara. Bagaimana memaknai ini?

Menurut Alamsyah, hanya suatu korespondensi diplomatic yang apabila dibuka dapat merusak kepentingan hubungan luar negeri, yang layak dirahasiakan. Jika tak memiliki konsekuensi negatif tersebut, maka korespondensi itu bersifat terbuka.

Apakah jika SBY membuka surat Abbot kepadanya berarti SBY telah melanggar Undang-Undang? ‘’Tidak sesederhana itu tentunya,’’ kata Alamsyah, ‘’Karena UU KIP memberikan kewenangan untuk melakukan apa yang disebut sebagai pertimbangan berdasarkan kepentingan publik yang lebih luas (balancing public interest). Kerahasiaan dalam UU KIP adalah untuk melindungi kepentingan publik. Jika kerugian publik menjadi lebih besar akibat kerahasiaan tersebut, maka informasi tersebut harus dibuka.’’

Kebijakan diplomatik yang dambil SBY tentunya bukanlah hak eksklusifnya sebagai individu. Suatu kebijakan public, kata Alamsyah, harus memenuhi syarat-syarat akuntabilitas, karena kebijakan tersebut niscaya akan menyangkut suatu kepentingan publik. ‘’Atas pertimbangan ini pula, mengapa UU KIP mengatur transparansi dalam kebijakan public,’’ demikian Alamsyah. (ras)

Sumber: http://www.harianterbit.com, 26 November 2013