Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menilai sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih kurang. Hal itu tidak terlepas dari kinerja KPU sendiri serta antusiasme para pemilih. Bagaimana seharusnya KPU dan para pemilih terkait penyelenggaraan Pemilu, berikut petikan wawancara kebebasaninformasi.org dengan KIPP, Willi Sumarlin.

Menurut KIPP apakah KPU sudah maksimal mensosialisasikan visi dan misi capres dan cawapres 2014?

Kalau dari segi keterbukaan informasi sih sudah, yaitu dengan menampilkan visi dan misi kandidat  di website KPU, namun hal itu tentu belum cukup untuk menjangkau seluruh masyarakata Indonesia, selain itu KPU juga mangadakan debat kandidat yang disiarkan oleh televisi, tapi hal itu tentu tidak cukup karena ada segmen – segmen lain yang membutuhkan pertemuan tatap muka dalam rangka melihat dan atau mendengar visi dan misi kandidat misalnya di dearah – daerah terpencil, di komunitas adat dan lain lain.

KPU akan menyusutkan jumlah TPS di seluruh Indonesia. Penilaian KIPP apa KPU sudah maksimal mensosialisasikan info ini kepada para hak pilih? Kalau belum, apa usulan untuk KPU?

Sebenarnya mengenai TPS ini bisa dilihat di DPT, dan seharusnyan ya bisa dilihat di PPS atau kelurahan–kelurahan, namun karena kesibukan warga apalagi di Jakarta, saya rasa jarang masyarakat atau warga yang mengecek namanya di DPT. Selain itu masyarakat juga bisa mengecek namanya di DPT di website KPU.

Menurut saya sosialisasi mengenai perubahan jumlah TPS masih kurang, baru akan disampaikan oleh petugas pada saat mereka menyerahkan surat undangan. Bisa jadi pemilih yang tidak tahu TPS berubah akan datang ke lokasi TPS yang lama, kemudian baru dari situ dikasih tahu lokasi TPS yang baru, tentu saya ini akan membuat waktu lebih lama, saya kira perlu dilakukan sosialisasi secepatnya, agar pemilih tahu lokasi TPS. Selain itu perlu peran aktif dari masyarakat itu sendiri untuk mengecek namanya di DPT, apakah mereka sudah terdaftar dan di TPS berapa mereka akan menggunakan hak pilih.

Berdasarkan pengalaman Pileg lalu, bagaimana KIPP menilai kinerja KPU?

Menurut saya belum optimal, memang secara umum proses pemungutan suara berjalan baik, namun pada saat perhitungan suara di beberapa TPS masih dijumpai kekurangpahaman petugas mengenai surat suara sah, misalnya surat suara dicoblos pada nama parpol dan caleg yang seharusnya dihitung satu kali, dihitung dua kali. Kemudian ada di salah satu TPS ketika terjadi selisih bukan di hitung ulang melainkan diundi kemudian hasilnya ditambahkan pada suara parpol yang keluar dalam undian, ketidakprofesionalan petugas pada saat penghitungan suara ini menghambat rekapitulasi di tingkat nasional walaupun pada akhirnya dapat selesai tepat waktu.

Selain itu masih terdapat kasus tertukarnya surat suara, di Jakarta KIPP memantau ada 5 TPS yang dilakukan pemungutan suara ulang karena surat suara tertukar (di wilayah Jakarta timur).

Kalau belum maksimal, apa yang mesti diperbaiki dari kinerja KPU untuk Pilpres?

Saya rasa semuanya perlu dilakukan perbaikan agar tidak terulang kekurangan pada saat pileg.

Beberapa waktu lalu, di media online KIPP menyebutkan ada KPPS yang tidak profesional sebagai panitia penyelanggara, bagaimana pada Pilpres nanti? Itu di Jakarta, bagaimana di tempat lain?

Salah satu bentuk ketidakprofesionalanya itu seperti dicontohkan di atas, mungkin bisa disisati dengan melakukan proses rekrutmen penyelenggara (mengganti petugas yang kurang maksimal), kemudian melakukan bimbingan teknis untuk semua petugas KPPS.

Tidak menutup kemungkinan peristiwa serupa terjadi di tempat lain, namun karena fokus pemantauan kami di wilayah Jakarta itu hanya potret kecil (dari sekitar 17.000 TPS kita hanya memantau 100 TPS)

Soal kecurangan Pemilu, apa ada peluang untuk itu? Bagaimana cara menanggulangi atau meminimalisirnya secara bersama-sama, baik KPU, partai, para pemilih atau masyarakat?

Potensi kecurangan selalu ada, salah satucaranya dengan memberikan pemahaman (pendidikan politik) mengenai kesadaran anti politikuang. Atau dengan kampanye bersama tolak politik uang.